Mengenai Saya

Selasa, 14 Mei 2013

Agama Sebagai Produk Perubahan Sosial ( Revisi )



( by : Rasiman )
A.PENDAHULUAN
            Islam merupakan salah satu agama yang di dalamnya mengajarkan kepada manusia tentang begitu sakral dan urgen-nya hidup bermasyarakat sosial. Ajaran-ajarannya banyak yang mengindikasikan kepada mu’amalah, zakat, fardhu kifayah, toleransi dan yang lainnya yang kesemuanya itu adalah menggambarkan begitu perlu hidup saling memberikan keuntungan bagi sesama manusia, dengan kata lain bersimbiosis mutualisme. 
Agama yang kita miliki ini adalah sebagai penuntun hidup dalam menjalani hidup dan kehidupan. Dalam konteks ini, bahwa agama erat hubungannya dengan kehidupan sosial. Hal ini merupakan cerminan dari bukti pelaksanaan ajaran agama setiap insan, karena agama  menjadi pusat perubah sosial (center social changer).
            Agama adalah sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan- dewa dan sebagainya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang telah bertalian dengan kepercayaan itu (Dessy Anwar, 2001 : 18 )[1]. Perihal Tuhan, dewa dan sebagainya yang dimaksud penulis adalah Allah SWT.  Dengan agama yang dianut-diamalkan, akan memancarkan sebuah perasaan keberagamaan-the religon feelling. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan perasaan keagamaan adalah perasaan yang menyertai manusia untuk selalu melakukan perbuatan yang sesuai dengan agama[2].
            Produk-lazim dikenal dengan produksi adalah hasil, penghasilan : barang-barang yang dibuat atau dihasilkan ( Dessy Anwar, 331 )[3]. Yang dimaksud barang-barang dalam konteks ini adalah berbagai nilai-nilai, doktrin, dogma atau perilaku tertentu akibat dari pengamalan dan pengalaman sebuah ritual keagamaan.
            Perubahan merupakan sesuatu hal yang pasti (terjadi, dan akan terjadi), hal mana sudah diketahui oleh manusia sejak zaman dahulu, yang diungkapkan mereka melalui kata-kata “ Panta Rei “ ( bahasa Belanda : alles verandert) dan dalam -bahasa Inggris : everything changes)[4].
            Menurut James Cameron, perubahan itu disebut “ Avatar “ , artinya cakupan inisiatif perubahan dengan menggunakan kecakapan dalam penetapan tujuan, pelatihan, bimbingan, delegasi maupun pemberdayaan untuk dapat secara aktif mengubah perilaku dan keahlian[5].
Berbagai perubahan dalam hidup, mutlak dibutuhkan untuk ke arah perkembangan yang lebih baik. Di dalam mengadakan perubahan itu, manusia perlu untuk bekerja keras, optimisme dan bersangka baik kepada Allah. Adapun perubahan yang diharapkan adalah perubahan dalam perilaku, perubahan dalam sistem nilai, perubahan cara berfikir dan perubahan dalam sikap-attitude changes.
            Di dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia agar senantiasa mengadakan perubahan, yaitu :
اِنَّ اللهَ لَايُغَيّرُمَا بِقَوْمٍ حَتّى يُغَيّرُوْامَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya : “ Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”[6].
            Menurut Rusli Amin, bahwa perubahan itu  hijrah, yaitu suatu perpindahan secara menyeluruh yang menyangkut berpindah tempat, berpindah bidang, berpindah sistem kerja, berpindah objek yang diolah, maupun berpindah cara berfikir[7].  Untuk berhijrah itu, bukan perkara yang mudah karena hijrah mengandung banyak konsekuensi moral, baik dalam pengambilan sebuah keputusan yang tepat atau sebuah perhitungan yang matang. Meskipun demikian, hijrah akan dapat dilaksanakan jika dalam diri kita tumbuh semangat juang untuk memikirkan kepentingan yang lebih luas. Perpindahan dari satu lingkungan kehidupan sosial tertentu kepada kehidupan sosial yang lain, membutuhkan  suatu kemampuan dan keinginan, sebagai alat yang dapat dijadikan mata rantai penuntas keterbelakangan[8].
Untuk sampai kepada suatu perubahan, memerlukan waktu yang cukup lama, yang menurut Darwin disebut evolusi. Evolusi adalah suatu perubahan atau pertumbuhan secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang cukup lama[9].Untuk mengadakan perubahan kearah yang lebih baik, memerlukan pemikiran dan kajian kembali terhadap dogma  agama yang syarat dengan kesakralan dan kemurnian-puritan, kalau dalam agama Islam kita perlu berfikir kembali-rethinking Islam terhadap ajaran agama  untuk diterapkan di dalam kehidupan sosial, karena jika hubungan sosial tidak dibina dengan baik, maka  akan menimbulkan peristiwa penentangan sosial-politik terhadap penguasa untuk perubahan yang lebih baik,  yang menurut Ibnu Qoyyim Ismail bahwa pemimpin dan gerakan  perubahan itu tidak lain adalah kalangan ulama, para haji, dan guru-guru ngaji[10].
Sejalan dengan perubahan di atas, Jalaluddin Rumi berkata bahwa bila anda mengubah kinerja anda, anda mengubah nasib anda. Dan bila anda mengubah nasib anda, anda mengubah hidup anda[11].           
            Menurut Abuddin Nata (2011 : 44)  bahwa sosial itu berasal dari bahasa Inggris “social” yang secara harfiah berarti pertemuan silaturrahmi, ramah tamah, sedangkan dari bahasa arab kata sosial itu merupakan terjemahan dari kata isyrirakiyah yang berasal dari kata isytaraka yang berarti partnership (perkawanan), participation (ikut serta), sharing (ikut andil), joining (ikut serta), community (masyarakat), kemudian menjadi isytirakiyah yang socialism (paham tentang kemasyarakatan. Dia menjelaskan secara gamblang tentang definisi sosial adalah perilaku manusia yang berkaitan dengan hubungan antara sesama manusia, tolong-menolong, kerja sama, ikut serta dan kepedulian kepada orang lain[12]. Di dalam ilmu sosial, Abuddin Nata juga mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling terkait. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya suatu hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadi proses tersebut [13],  fenomena sosial tersebut dapat menguntungkan bagi tegaknya dominasi kekuasaan[14].
            Menurut Sidi Gazalba (1978 : 192) sosial adalah pergaulan serta hubungan manusia dan kehidupan kelompok manusia terutama kehidupan masyarakat yang teratur[15], yang dapat dilakukan dengan jalinan silaturrahmi diantara keluarga dan sahabat adalah kodrat manusia sebagai mkhluk sosial[16].
            Menurut Hasan sadily mendefinisikan bahwa Sosiologi, adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan  antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup dalam tiap persekutuan hidup manusia[17].
            Menurut Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut yang di dalamnya juga dibahas tentang proses-proses sosial yang mengingat bahwa pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia[18].           
Sejalan dengan definisi dan pendapat para pemerhati sosial di atas, dapat dikatakan bahwa agama sebagai produk perubahan sosial adalah suatu keyakinan terhadap nilai-nilai, dogma atau doktrin tertentu,  hasil dari pengamalan dan pengalaman melalui penetapan tujuan, pelatihan, bimbingan, delegasi dan pemberdayaan doktrin dalam waktu yang lama, menimbulkan  keinginan dan spirit hidup untuk kerja keras,  optimisme, dan bersangka baik kepada Tuhan  dalam mengadakan berbagai perubahan, baik itu perubahan perilaku-attitue,  sistem nilai,  atau perubahan cara berfikir, sehingga pergaulan serta hubungan manusia dalam kehidupan suatu kelompok manusia  menjadi teratur dan akan terwujud baldatun, thayyibatun, warabbun ghafur.
 Nilai-nilai, dogma atau doktrin tertentu menjadi sebuah norma, yang menurut A. Luthfi Hamidi berarti aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam msyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan kendali tingkah laku yang sesuai dan diterima[19].
            Atas dasar di atas, dapat penulis sampaikan beberapa permasalahan yang ada relevansinya dengan agama sebagai produk perubahan sosial sebagai berikut :
1.      Bagimanakah kajian agama Islam dalam produk perubahan sosial ?
2.      Prinsip-prinsip apakah yang dipakai dalam memahami agama sebagai produk perubahan sosial ?
3.      Pendekatan apakah yang dipakai dalam memahami agama sebagai produk sosial ?
4.      Metode  apa  yang dipakai dalam memahami agama sebagai produk perubahan sosial?

B.PEMBAHASAN
1.Kajian  Agama Tentang  Produk Perubahan Sosial
            Manusia ditaqdirkan oleh Allah menjadi makhluk yang saling memiliki ketergantungan satu dengan yang lainnya. Maka, manusia pun tidak mungkin meraih sukses tanpa bantuan orang lain, yang menurut Abu Al-Hasan Ali Al-Bashri Al-Mawardi bahwa salah satu bentuk pencittaan-Nya yang penuh hikmah dan pengaturann-Nya yang sangat rapi adalah menciptakan manusia dalam kondisi saling membutuhkan dan lemah[20]. Fungsi satu orang bagi orang lainnya adalah untuk  saling bantu-membantu, beri-memberi dan saling bertukar jasa. Inilah hakekat potensi sosial yang harus dikembangkan pada diri manusia[21].           
Menurut Zulfahmi, penyebab perubahan sosial dapat dikelompokkan dalam dua perspektif, yaitu materialistic factors dan idealistic factors [22].Perspektif Materialis ,Karl Marx mengemukakan teori  Marxisme,  berarti paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx tentang materialisme  yang diterapkan dalam kehidupan sosial. Marxisme lahir dari konteks masyarakat industri Eropa abad ke-19, dengan semua ketidakadilan, eksploitasi manusia khususnya kelas bahwah/kelas buruh yang  struktur organisasi dalam proses produksi dan struktur masyarakat masih bertahan pada tingkat lama yang ditentukan oleh kepentingan-kepentingan kelas atas.[23] Perspektif idealis melihat bahwa perubahan sosial disebabkan oleh faktor non material. Faktor non material ini antara lain ide, nilai dan ideologi. Ide merujuk pada pengetahuan dan kepercayaan, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu yang pantas atau tidak pantas, sedangkan ideologi berarti serangkaian kepercayaan dan nilai yang digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi bentuk tindakan di masyarakat. Disamping itu juga, bahwa di dalam kehidupan soasial memerlukan keamanan sosial dapat menjadikan sumber kehidupan manusia artinya adalah apa yang menjadi sandaran kehidupan manusia termasuk di dalamnya dimensi waktu dan tempat yang menjadi pokok kehidupan[24].
            Berkenaan dengan itu bahwa ada beberapa alasan mengapa agama dapat melakukan perubahan sosial, yaitu : Pertama,  agama mengajarkan cara berinteraksi dengan manusia. Kedua, agama  mengajarkan kejujuran dalam berinteraksi sosial yang menuntut tanggung jawab, baik itu kepada diri sendiri, kepada Allah, kepada sesama makhluk dan kepada alam sekitar agar terbentuknya lingkungan sosial yang baldatun, toyyibatun warobbun ghofur berdasarkan pada kondisi real secara empirik. Agama sebagai perubah sosial, dapat dilihat pada Teori konstruksi sosial (social construction) yang disampaikan Berger dan Lukmann merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori ini terkandung pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yangterdapat dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan (belonging)-nya sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik (Berger, 1990:1)[25].
Untuk mengkaji bahwa agama sebagai produk perubahan sosial, Abuddin Nata (2011 : 447) memberikan pandangan terhadap pokok pembicaraan di atas sebagai berikut :Pertama, Islam pada hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Islam bukan hanya mengatur hubungan baik antara manusia dengan Tuhan, melainkan juga mengatur hubungan yang baik dengan manusia dan dengan alam jagat raya. Melalui hubungan yang baik ini, akan tercipta sebuah kehidupan yang seimbang, tertib, aman, damai dan harmonis yang selanjutnya menjadi syarat bagi manusia untuk melakukan berbagai kegiatan lainnya.Kedua, ajaran Islam yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Tuhan dalam arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam ilmu tauhid, fikih dan tasawuf. Adapun hubungan manusia dengan manusia dalam arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam ilmu sosial politik. Melaui ilmu sosial, manusia selain diperkenalkan tentang bentuk-bentuk masyarakat, proses pembentukan dan cara melakukan hubungan  dan konsolidasi yang membahas hukum dan etika sosial. Demikian juga melalui ilmu politik, manusia selain diperkenalkan tentang cara mendapatkan, mengelola dan mempertahankan kekuasaan.       Ketiga,Islam memiliki ajaran yang selain berhubungan dengan kewajiban yang bersifat individual-fardhu ‘ain tetapi juga ada bersifat kolektif-fardhu kifayah. Ajaran yang kolektif ini termasuk ajaran yang berkaitan dengan masalah sosial. Keempat, dalam Al-Qur’an selain terdapat ayat-ayat yang menyuruh manusia agar saling berkenalan, melakukan kerja sama, tolong menolong dan bersinergi, juga terdapat ayat-ayat tentang perlunya taat kepada pemimpin.Kelima, dewasa ini ada keinginan yang kuat dari seluruh masyarakat di dunia untuk mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang lebih tertib, aman, damai, harmonis dan sejahtera[26].          
Agama sebagai produk perubahan sosial akan membuat pemeluknya menjadi pribadi yang memiliki kecerdasan sosial. Menurut Mulyasa ( 2009 : 186 ) bahwa pribadi yang memiliki kecerdasan sosial ditandai adanya hubungan kuat dengan Allah SWT, memberi manfaat kepada lingkungan, dan menghasilkan karya untuk membantu orang lain agar santun, peduli sesama, jujur dan bersih dalam berperilaku[27].
Selaku produk perubah sosial, agama mengajarkan tentang pergaulan hidup antara sesama makhluk dan sesama ciptaan-Nya harus dapat memberikan kontribusi yang dinamis dalam proses perubahan kesempurnaan kehidupan sosial, yang menurut Guillame De Cruf, bahwa pergaulan hidup atau warna kehidupan dari tiap-tiap anggota masyarakat bukanlah selamanya merupakan suatu tindakan statis dan permanen, tetapi perbuatan akan bervariasi sesuai dengan latar belakang, kemampuan dan keinginan individu akibat tuntutan kemajuan[28].
Karena agama sebagai produk perubahan sosial, maka menurut Ahmad Amin ( 1993 : 155) berpendapat bahwa ada perubahan rasa keberagamaan di lingkungan sosial yang akan muncul adalah : (1) saling memberikan kasih sayang mereka, gembira karena kegembiraan mereka, (2) mengambil dan memberi, artinya ia tahu bahwa ia wajib memberi sebagaimana ia mengambil, (3) tolong menolong dengan arti bahwa yang kuat menolong yang lemah, yang besar menolong yang kecil dan barang siapa menolong kepada lainnya hendaknya berusaha untuk menolongnya[29].
Berger dan Luckmann (1990:67-73) menyatakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungannya bercirikan keterbukaan dunia sehingga memungkinkan manusia melakukan berbagai aktivitas. Adanya keterhubungan manusia dengan lingkungannya seperti itu, membuat ia mengembangkan dirinya bukan berdasarkan naluri tetapi melalui banyak macam kegiatan terus-menerus penuh variasi. Maka itu, dalam mengembangkan dirinya manusia tidak hanya berhubungan secara imbal-balik dengan lingkungan alam tertentu tetapi juga dengan tatanan sosial dan budaya yang spesifik, yang dihubungkan melalui perantaraan orang-orang yang berpengaruh (significant-others). Perkembangan manusia sejak kecil hingga dewasa memang sangat ditentukan secara sosial, sehingga keanekaragaman sosial dan pertumbuhan masyarakat   tercipta sosiologi baru yaitu ekologi manusia[30].      
Menurut Kuntowijoyo bahwa untuk mempelajari agama sebagai produk perubahan sosial kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial  yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga  memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dana oleh  siapa. Yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita. etik dan profetik tertentu; perubahan tersebut didasarkan pada tiga hal, yaitu :Pertama, cita-cita kemanusiaan, kedua, liberasi dan ketiga, transendensi.Nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi), liberasi dan transendensi yang  dapat digali dari ayat tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :    Humanisasai adalah memanusiakan manusia dari  proses dehumanisasi. Liberasi adalah pembebasan manusia dari lingkungan  teknologi, pemerasan kehidupan, menyatu dengan orang miskin yang tergusur  oleh kekuatan ekonomi raksasa dan berusaha membebaskan manusia dari  belenggu yang kita buat sendiri.  Transendensi adalah menumbuhkan dimensi  transendental dalam kebudayaan.  Dalam ilmu sosial profetik, kita ingin melakukan reorientasi terhadap  epistemologi, orientasi terhadap mode of thought dan mode of inquirity, yaitu   suatu pandangan bahwa sumber ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan empirik  sebagaimana yang dianut dalam masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu. Tekstualitas agama  lebih mengafirmasi konteks perubahan sosial yang  merupakan  bentuk ajaran kehidupan yang lebih melihat kenyataan sosial, tidak hanya berupa  turunan dari langit.  Selagi manusia masih sangat dibutuhkan oleh lingkungan, sedangkan kapasitasnya belum  mengambil peranan, maka  beradaptasi dengan alam lingkungannya adalah hal yang penting.
Konsep dasar tentang sistem sosial berasal ( devired ) dari Parson (1951), kemudian pelaksanaannya teori sistem sosial yang berkaitan dengan model sistem sosial.Menurut Wahjosumidjo (2011:150) bahwa model sistem sosial memberikan petunjuk dalam suatu organesasi sebagai satu sistem sistem sosial, yaitu : pertama, sederetan unsur yang terdiri dari institusi, peran dan harapan-harapan, yang secara bersama-sama membentuk dimensi normatif sosiologis, kedua, sederetan unsur yang mencakup individu, kepribadian dan keperluan watak (need disposition) yang secara bersama-sama melahirkan dimensi kepribadian atau psikologis, ketiga, perilaku sosial sebagai hasil interaksi antara faktor institusi dengan unsur-unsur di dalamnya dengan faktor individu beserta unsur-unsurnya[31].
Menurut Nazarudin Rahman (2010 : 10 ), bahwa manusia sosial disebut Homo religius yaitu manusia memiliki rasa kasih, pemaaf, cinta dan kerinduan, rasa kedamaian serta perasaan-perasaan lainnya yang disebut dengan sifat-sifat ketuhanan, karenanya maka dalam kehidupannya manusia tidak mungkin terlepas atau luput sama sekali dari kesadaran bertuhan[32].
Untuk penghayatan terhadap agama sebagai produk perubahan sosial, maka akan memunculkan yang namnya “sahabat sejati” yang akan menemani dalam berbagai keadaan bagi suka maupun duka dengan senantiasa menjaga kejujuran, saling menghormati, berakhlak mulia yang akan senantiasa menjaga hak dan kewajiban tali persahabatan. Sahabat sejati adalah sahabat yang baik. Saudara sejati itu adalah saudara seiman, seakidah dan seagama yakni sahabat yang baik dalam kapasitas sebagai makhluk sosial, yang menurut Iqbal Hamdy ( 2006 : 150) mengatakan bahwa sahabat sejati itu adalah sahabat yang baik artinya sahabat yang harus memberikan faedah bagi kehidupan, memberikan nilai-nilai kebenaran, untuk mengarahkan menuju jalan yang lurus[33], itulah faedah sosial yang diperoleh melalui interaksi antara manusia dan sumber yang menghasilkan faedah sosial[34].
Untuk memberikan perubahan sosial masyarakat, maka agama akan mengedepankan program-program yang langsung bersinggungan dengan kehidupan masyarakat sosial pada umunya, yang langsung dapat dirasakan dan dinikmati.Program-program yang dimaksud, menurut Made Pidarta  2011 : 196 disebut Program yang sensitif, yaitu program yang mudah menyentuh hati masyarakat, dimana program tersebut menyangkut segala yang dibutuhkan dan komprehensif, maksudnya ialah program itu terpadu, terintegrasi menjadi satu kesatuan[35].

Program yang dimaksud adalah bahwa agama sebagai rahmat seluruh alam yang ajarannya mencakup tujuan kehidupan, baik untuk kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat,  mencakup aturan fardhu ‘ain atau fardhu kifayah.Program tersebut harus dipropagandakan dan dijabarkan oleh para peubah sosial yaitu para tokoh agama agar ajaran agama dapat diterima oleh masyarakat sosial secara umum. Ajaran agama yang bagus itu harus terus disebarluaskan kepada seluruh pemeluknya dan kepada lingkungan sosial yang ada di sekelilingnya sebagai konsep dasar dalam sistem sosial.
Untuk menjaga hubungan baik manusia dalam kehidupan sosial, manusia terikat oleh kewajiban untuk memberikan pertolongan dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan, memperhatikan mereka tanpa menunggu diminta lebih dulu serta mengutamakan kebutuhan-kebutuhan mereka atas kebutuhan-kebutuhan sendiri[36]. Kewajiban itu menurut saya adalah diperuntukkan untuk semua komponen dan semua lapisan  masyarakat, khususnya bagi mereka yang mampu dan mempunyai kelebihan material agar membantu mereka yang lemah, sebagaimana di dalam Islam adanya kewajiban membayar zakat untuk para dhuafa.           Tetapi, bagi mereka yang kurang mampu, materi yang diberikan oleh para dermawan harus dipergunakan sebaik mungkin sebagai modal usaha untuk mencari atau meningkatkan taraf hidup agar lebih baik, bukan sebaliknya, untuk pekerjaan meminta-minta dan justeru malas bekerja.
Menurut Fathul Anas (2010:25) mengungkapkan bahwa perubahan-perubahan dalam hidup sangat diperlukan agar terjadi perkembangan yang lebih baik untuk menciptakan perubahan itu manusia harus kerja keras dan bersungguh-sungguh karena allah akan mengubah keadaan seseorang jika ia bersungguh-sungguh, sebaliknya jika bermalas-malasan, selamanya hidupnya akan selalu dalam keadaan sengsara[37]. Apa yang disampaikan oleh Fathul Anas adalah bahwa agama sebagai produk Perubahan Sosial yang merupakan agent pembahru bagi pemeluknya untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan selaku insan sosial di masyarakat.
Untuk mencapai tujuannya agama sebagai produk perubahan sosial, yakni menghasilkan integrasi yang cukup kokoh, mendorong kerja sama yang produktif dan kreatif untuk mencapai sasaran[38], maka memerlukan apa yang disebut sebagai life skill dalam beragama selaku produk perubahan sosial, dan menurut Abuddin Nata bahwa agama berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu dari manusia yang tidak dapat dipenuhi oleh lainnya, agama memaksa orang untuk menepati janji-janjinya, agama dapat membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban dengan memberikan nilai yang berfungsi menyalurkan sikap para anggota masyarakat dan menetapkan kewajiban-kewajiban sosial mereka, agama berperan membantu merumuskan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh manusia, agama menerangkan fakta-fakta bahwa nilai-nilai yang ada di masyarakat bukan sekedar kumpulan nilai yang bercampur-aduk, tetapi membentuk hierarki [39]. Hierarki tersebut bahwa menjadi muslim tidak hanya merupakan perbuatan konversi, tetapi justeru merupakan proses perkembangan kepribadian dan kesadaran[40],  proses yang berjalan seumur hidup yang mencakup proses-proses desosialisasi, resosialisasi, dan sosialisasi antisipatorik dengan prosesnya yang fitri, sebab kepribadian yang murni dalam diri seseorang tidak ingin melakukan hal-hal yang sama sekali asing bagi dirinya, ia ingin menyadari potensialnya sendiri[41].Kecakapan terhadap kesadaran diri merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga negara serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan sosialnya. Kecakapan hidup yang relevan itu oleh Dirjendikdasmen disebut kecakapan hidup generik yaitu kecakapan yang harus dimiliki oleh setiap manusia yang terdiri kecakapan personal (personal skill) dan kecakapan sosial[42]
Berbagai jenis pernik pengalaman dalam pengamalan beragama yang ada di masyarakat, menjadi hal yang menarik untuk dikaji dalam penambahan khazanah guna memahami agama secara kaffah, oleh karena itulah menurut Jaudat Sa’id bahwa topik perubahan sosial memiliki posisi prestisius dalam kajian-kajian masa kini[43], itulah tren-tren sosial, budaya, demografis dan lingkungan membentuk cara orang hidup, bekerja, memperbaiki dan mengkonsumsi[44].
Tujuan mengadakan perubahan sosial, menurut Zubaidi ( 2011 : 289 ) adalah sebagai berikut : pertama, Mengembangkan pengetahuan dasar kesosiologian atau konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya, kedua, Mengembangkan kemampuan berfikir kritis, pemecahan masalah, dan keterampilan sosial, ketiga, Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keempat, Memiliki kemampuan berkomunikasi, berkompetisi dan bekerja sama dalam masyarakat majemuk[45].
Dari berbagai teori dan kajian serta pendapat para pakar sosial tentang agama sebagai produk perubahan sosial di atas, yang penting dan perlu kita lakukan adalah mencermati lebih  mendalam bahwa agama itu merupakan tuntunan yang dapat memproduksi perubahan sosial di dalam masyarakat dalam rangka mencapai perubahan (agent of change).Apabila perubahan sosial dipahami sebagai suatu bentuk peradaban manusia  maka pada dasarnya perubahan sosial merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi sepanjang hidup. Menurut Marcel A. Boisard berpendapat bahwa Islam sebagai salah satu agama, menampakan dirinya sebagai suatu gerakan yang menekankan pentingnya kehidupan sosial[46].

2.Prinsip-prinsip Perubahan sosial

            Menurut HM.Quraish Shihab bahwa Al-Qur’an adalah sarat dengan uraian tentang prinsip-prinsip perubahan sosial yang dapat dijadikan sebagai hukum-hukum yang mengatur lahir, tumbuh dan runtuhnya suatu masyarakat[47].Tumbuh atau berkembangnya suatu masyarakat sosial bagi Al-qur’an adalah merupakan sunnatullah, artinya bahwa kepastian hukum itu tidak akan pernah mengalami perubahan.
            Menurut Abuddin Nata, prinsip-prinsip hukum sosial itu ada 7 (tujuh), yaitu :
1.      Perubahan sikap Mental, lihat Al-Qur’an Surat Ar-Ra’du [13] : 11, yang mengandung pengertian bahwa hukum kemasyarakatan merupakan hukum perubahan ( The change of Law). Bahwa konsekuensi mental manusia akan berubah dari jelek menjadi baik, dari malas menjadi rajin, dari bodoh menjadi cerdas, dari biadab menjadi beradab, dari semaunya menjadi disiplin dengan syarat adanya upaya kearah itu.
2.      Perubahan akhlak. Lihat ungkapan Syauki Bey, bahwa “Innamal umamu akhlaaqu maa baqiyat wa in hukum zahabat akhlaaqukum zahabu “ yang artinya maju mudurnya suatu bangsa sangat bergantung pada akhlaknnya, jika akhlak bangsa itu baik, maka baik pula bangsa itu, dan jika akhlak bangsa tersebut rusak, maka rusak pula bangsa itu. Seperti kerajaan Romawi dan Persia, dahulu kedua bangsa tersebut telah berkuasa selama berabad-abad karena baiknya tabiat bangsa tersebut. Namun, ketika kedua negara besar itu terjadi dekadensi moral, maka mereka terjadi kemunduran dan keruntuhan.
3.      Saling kerja sama. Jika suatu masyarakat yang di dalamnya terdapat semangat kerja sama yang harmonis dalam berbagai bidang kebaikan, maka masyarakat tersebut  dijamin akan mencapai kemajuan.
4.      Saling menghormati. Islam mewajibkan kepada setiap anggota masyarakat untuk saling menghargai antara satu dengan yang lainnya dan jangan sekali-kali mengejeknya.
5.      Manusiawi, artinya memperlakukan manusia sesuai dengan fitrahnya, baik secara fisik atau non-fisik karena manusia mempunyai kecenderungan kepada materi dan mempunyai keterbatasan.
6.      Egaliter, adalah istilah yang mengacu kepada faham yang menganggap bahwa keragaman pada manusia, seperti jender, warna kulit, suku bangsa, bahasa, budaya dan agama merupakan ciptaan Allah yang tak perlu didiskriminasikan tetapi harus tetap dijunjung tinggi.
7.Keadilan dan kebaikan. Adil atau keadilan merupakan istilah yang mengacu kepada sikap yang seimbang, atau memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan jasa dan peran yang diberikannya. Adapun kebaikan adalah sikap yang mengacu pada sikap yang menyenangkan dan membantu mengatasi kesulitan orang lain sehingga orang tersebut merasa senang[48].
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, agama akan tetap menghasilkan nilai-nilai kemanusian yang akan memberikan pengayoman dan ketenangan bathin setiap insan dimana posisi kehidupannya semakin kokoh  karena manusia selalu merasa diawasi oleh Tuhan dan akan selalu dibantu oleh manusia yang lain dalam pergaulan di masyarakat yang mengedepankan kebersamaan di dalam keyakinan beragama di masyarakat sebagai kelompok sosial.


3.Pendekatan Agama Sebagai Produk Sosial

a.      Menurut Abuddin Nata, ada 7 metode yang digunakan yaitu Pertama, Pendekatan teologis normatif yaitu memahami agama secara harfiah, maksudnya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak pada suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap yang paling benar[49] yang menurut saya pendekatan ini  kaku, statis dan terkesan terlalu saklek. Kedua, Pendekatan Antropologis yaitu upaya agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat[50]. Melalui pendekatan antropologis ini, teman saya dalam suatu diskusi  bertanya kepada saya tentang bagaimana hukum sholat jum’at yang dilaksanakan di kawasan industri dengan “triple time in a day” (3 ship )? Sebelum menanggapi masalah ini, penulis memprediksi bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya hal ini karena adanya kegiatan produksi suatu industri yang tidak mungkin ditinggalkan pada waktu kegiatan sholat jum’at karena alasan-alasan yang prinsip dan tenaga skill pada bidang produksi industri tersebut hanya dikuasai oleh orang-orang yang bergender laki-laki saja. Oleh karena itu, berdasarkan hasil Keputusan Bahtsul Masail Diniyah MUNAS NU di Ponpes Qomarul Huda Bagu Pringgarata NTB pada tanggal 17-20 Nopember 1997 memutuskan bahwa : Pada ship pertama, diwajibkan untuk melaksanakan sholat jum’at, selanjutnya untuk ship kedua dan seterusnya, bahwa sholat jum’at tidak dapat dilaksanakan, tetapi harus dilaksanakan sholat dhuhur[51]. Menurut pendapat saya, solusi yang dapat diambil adalah bahwa tenaga skill di bidang produksi-industri tidak hanya diberikan kepada kaum pria, sehingga perlu latihan dan kaderisasi untuk kaum wanita. Khusus hari jum’at, terutama menjelang sholat jum’at dimulai, tenaga kerja dalam proses industri diserahkan kepada kaum hawa’ untuk sementara, sehingga kaum laki-laki dapat melaksanakan sholat jum’at secara bersama-sama. Ketiga, Pendekatan sosiologis yaitu memahami agama dengan mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan hidup[52]. Keempat, Pendekatan Filosofis yaitu memahami agama berdasarkan cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah[53]. Kelima, Pendekatan Historis yaitu memahami agama  melihat berbagai peristiwa dengan memperhatikan tempat, waktu, tempat objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa itu[54]. Keenam, Pendekatan Kebudayaan yaitu memahami agama dengan memperhatikan budaya yang membumi di tengah-tengah masyarakat[55]. Ketujuh, Pendekatan Psikologi yaitu memahami agama dengan mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati[56].
          Yang dimaksud dengan pendekatan sosial menurut A.W Guruge (1972) adalah “ The traditional approuch to educational development by providing institutiona and facilities to meet pressure....” yakni pendekatan traditional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan-tekanan...[57].
          Mengingat begitu pentingnya pendekatan sosiologis dalam memahami suatu agama, maka Abuddin Nata mengutif pendapat Jalaluddin Rahmad dalam bukunya yang berjudul “Islam Alternatif” dimana agama yang memberikan perhatian yang cukup besar terhadap problematika sosial di masyarakat dengan alasan sebagai berikut :Pertama, dalam Al-qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar adalah masalah muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutib Jalaludin rahmat dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus-untuk satu ayat ibadah dan seratus ayat untuk muamalah (masalah sosial). Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam islam ialah adanya kenyataan bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditanggunhkan, melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perseorangan. Contohnya : sholat berjama’ah pahalanya 27 derajat, lebih tinggi dari pada sholat munfarid.Keempat, dalam islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifarahnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Contohnya bila puasa wajib di bulan ramadhan tidak mampu melakukan karena lanjut usia misalnya maka jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah.Kelima, dalam islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah. Lihatlah hadits berikut ini yang artinya : “ Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah dan seperti orang yang terus menerus shalat malam.....” HR. Bukhari Muslim)[58]
Dengan melalui pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah karena agama  santun lagi bermoral yang diturunkan untuk kepentingan sosial, yang menurut Sayid Qutb menyebut bahwa Islam sebagai salah satu agama telah berpegang  teguh dalam mewujudkan masyarakat yang bersolidaritas kepada peraturan-peraturan kesisteman tertentu, tetapi ia tidak membiarkan peraturan-peraturan itu bekerja sendiri terlepas dari motif-motif perasaan di dalam hati[59] Dalam Al-Qur’an kita jumpai ayat-ayat tertentu yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan  terjadinya kemakmuran  suatu bangsa atau yang sebaliknya. Itulah tren-tren sosial, budaya, demografis dan lingkungan  membentuk cara orang hidup, bekerja, memproduksi dan mengkonsumsi[60]
b.Menurut Ali Abdul Halim Mahmud ada 4 pendekatan Agama sebagai Produk Sosial, yaitu : (1) pendekatan evolusionisme yaitu mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat, (2) pendekatan interaksionisme yaitu memusatkan perhatian pada interaksi antara individu dengan kelompok, (3) pendekatan fungsionalisme yaitu masyarakat dipandang sebagai satu jaringan kerja sama kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah sistem yang harmonis, (4) pendekatan konflik yaitu pendekatan yang mewariskan sebuah ketegangan terus-menerus dalam sebuah fenomena setiap kelompok untuk mempertahankan dominasinya[61].

4.Metode yang digunakan dalam memahami Agama sebagai Produk Sosial

     Menurut Atho Muzhar (2011 : 47), metode penelitian sosial itu menggunakan “ Grounded Research, yaitu metode penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori melalui data yang diperoleh secara sistematik dengan menggunakan metode analitis komparatif konstant, yang mempunyai 3 (tiga) ciri-ciri yaitu : (1)adanya tujuan menemukan atau merumuskan teori, (2)adanya data sistematik, (3) digunakannya analisis komparatif konstant[62].
a.       Tujuan merumuskan teori Grounded Research, untuk menilai kegunaan suatu teori harus juga dilihat dari segi bagaimana dahulunya teori itu dirumuskan, penelitian-penelitian sosial-sosiologi untuk membuktikan kebenaran teori, teori yang didasarkan atas data yang tahan lama dan sulit diubah, teori yang dihasilkan adalah teori dasar, adanya teori verifikatif yaitu bertitik tolak dari hipotesa kemudian dilakukan pembuktian.
b.      Data yang sistematik, adalah data yang diperoleh sesuai dengan prosedur : ada persiapan, pengumpulan data, pengkodean, analisis dan penulisan laporan.
c.       Prosedur penelitian : menentukan sasaran studi dan memilih kelompok-kelompok sosial, data yang diperoleh diklasifikasikan dengan cara mencari persamaannya untuk mendapatkan “kategori-kategori”. Kategori itu adalah hasil data setelah diklasifikasi, kategori itu dicari ciri-ciri pokoknya untuk menentukan sifatnya, stelah diketahui sifatnya dihubungkan satu sama lainnya sehingga melahirkan hipotesis, hipotesis tersebut dihubungkan lagi satu sama lain sehingga melahirkan jalur-jalur kecebderungan yang umum.
d.      Analisis komparatif : membandingkan setiap datum untuk memunculkan berbagai kategori, membandingkan dan mengintegrasikan kategori dan sifat-sifatnya untuk memunculkan hipotesis dan memberi batasan teori[63].


C.KESIMPULAN

Agama sebagai produk perubahan sosial adalah suatu keyakinan terhadap nilai-nilai, dogma atau doktrin tertentu,  hasil dari pengamalan dan pengalaman melalui penetapan tujuan, pelatihan, bimbingan, delegasi dan pemberdayaan doktrin dalam waktu yang lama, menimbulkan  keinginan dan spirit hidup untuk kerja keras,  optimisme, dan bersangka baik kepada Tuhan  dalam mengadakan berbagai perubahan, baik itu perubahan perilaku-attitue,  sistem nilai,  atau perubahan cara berfikir, sehingga pergaulan serta hubungan manusia dalam kehidupan suatu kelompok manusia  menjadi teratur dan akan terwujud baldatun, thayyibatun, warabbun ghafur.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam memahami bahwa agama ebagai produk sosial adalah  prinsip perubahan sikap Mental, Perubahan akhlak, Saling kerja sama, menghormati, manusiawi, dan egaliter.
Pendekatan-pendekatan yang dipergunakan dalam kajian bahwa agama sebagai produk perubahan sosial adalah pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, filosofis, historis, kebudayaan, psikologi, traditional approuch, evolusioner, interaksionisme, fungsionalisme, dan pendekatan konflik.
Metode yang dipergunakan bahwa agama sebagai produk perubahan sosial adalah metode  Grounded research dengan ciri-cirinya sebagai berikut : adanya tujuan, data yang sistematis dan analisis data yang komparatif.






DAFTAR PUSTAKA

 Abdullah, Taufik, 1987, Sejarah dan Masyarakat, Jakarta : Balai Pustaka

Abu Al-Hasan Ali Al-Bashri Al-Mawardi, 2002, Etika Agama dan Dunia-
            Memahami Hakekat Beragama dan Berinteraksi di Dunia,  Bandung :
            Pustaka Setia

Abuddin Nata, 1993, Studi Islam Komprehansif,  Jakarta : Fajar Inter Pratama
------------------, 2012Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT.Raja Grafindo
 Al-Faruqi, Ismail, R.,1991,  Islam dan perspektif sosiologik, Surabaya : CV. Amarpress
Al-Ghazali, Imam, 1994, Menjalin Persaudaraan, Bandung : Al-Bayan
Al-Qur’an al-Karim, Surat Ar-Ra’du [13] : 11

Amin, Ahmad, 1993, Etika, Jakarta : Karya Unipress
Amin, Rusli, M., 2006,  Kiat-kiat Sukses Sebuah Pendekatan Qur’ani Untuk
            membangun Kualitas Diri & Kehidupan, Jakarta : Al-Mawardi Prima

Anas, Fathul, 2010, The Miracle of Quranic Motivation, Yogyakarta : Citra R

Anwar,Dessy, 2001, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Karya Abdi
            Tama
                     
Azizy, A.H.A, Qodri, dkk, 2002, Islam dan Lingkungan Hidup, Jakarta : Dirjen
            binbaga                     
Berger, Peter, L dan Thomas Lucmann, 1990, Tafsir Sosial atas Kenyataan,
            Jakarta : LP3S

Bert. F, Hoselitz, 1988, ed, Panduan Dasar-dasar Ilmu Sosial, Jakarta : Rajawali
Boisard, A., Marcel, 1991979, terj.,  Humanisme dalam Islam, 1980, Jakarta : Inter
            Masa
Davit, R.,  Fred., 2012, Strategic Management,  Jakartam
Departemen Agama RI, 2002, Islam dan Lingkungan Hidup, Jakarta :
            Dirjenbinbaga

Depdiknas, 2004, Indikator Keberhasilan, Jakarta : dirjendepdiknas
Davit, R.,  Fred., 2012, Strategic Management,  Jakartam pearson educatiom

Edwin B. Flippo, 1992,  Manajemen Personalia, terj., Jakarta : Erlangga
Gazalba, Sidi, 1978, Asas Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang
 Halim Mahmud, Ali Abdul,  dkk., 2001,  Tradisi Baru Penelitian Agama islam,
            Bandung : Yayasan Nuansa Cendekia

A. Luthfi Hamidi, Penguasa dan Kekuasaan : Pemikiran Politik a- Mawardi, 1996,
            Yogyakarta : Tesis IAIN Sunan Kalijaga

Hamdy, Iqbal, Menggapai Hidup Bermakna, 2006,  Jakarta : Republika

Hasan Sadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, 1983
Hasil Keputusan MUNAS NU tanggal 17-20 Nopember 1997/16-20 Rajab,
            Bahtsul Masail, di Ponpes  Qomarul Huda Bagu Pringgarata Lombok
            Tengah NTB.

Hughes Ginnett Curphy, 2012, Leadership : Enhancing The Lesson of Experience,
            terj., Jakarta : Salemba Humanika

Imarah, Muhammad, 1999, Islam dan Keamanan Sosial, Jakarta : Gema insani
Iqbal Hamdy, Menggapai Hidup Yang Bermakna, Jakarta : Republika, 2006
Made Pidarta, 2011, Managemen Pendidikan Indonesia, Jakarta : Reneka Cipta
Michael H., Hart, 1978, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah
            Dunia,  Jakarta : Dunia Pustaka

M. Newman dan B. Berkowitz, 1091, How to Be Your best Friend, New York :
            Random House

Mulyasa, 2009, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung : Rosda
            Karya

 Mursal, A. H.M Tahir, 1991, Kamus Ilmu Jiwa Agama dan Pendidikan, Bandung
            : PT. Al-Ma’arif
Mudzhar, Atho, 2011, Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Qoyim, Ibnu,  Ismali, Kiai, 1`98,   Penghulu Jawa, Jakarta : Gema Insani Press, 1997
           
Quraish Shihab, 1996, Wawasan Al_Qur’an, Bandung : Mizan
 Qutb, Sayid, 1981, Beberapa Studi Tentang Islam, Jakarta : Media Dakwah

Rahman, Nazarudin, 2010, Spiritual Building, Yogyakarta : Felicha
 Sa’id, Jaudat, 1993, Meraih Masa Depan  Upaya memperbaiki Diri, Bandung :
            Pustaka Hidayah, terj.

Soerjono, Soehanto, 1981, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : CV. Rajawali
Syaefuddin sa’ud, Udin, dkk., 2005, Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan
            Komprehensif, Bandung : Remaja Rosda Karya

Syukur, Suparman, 2004, Etika Religius, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Wahjosumidjo, 2011, Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta : Karisma Putra
            Offset

Winardi, J., 2010, Manajemen Perubahan, Jakarta : Kencana Prenada M. Group

www.Zulfahmi.co.id, Agama Sebagai Peubah Sosial,didownload tanggal 10/1/13

 Yunus, Rosman, dkk., Teori Darwin dalam Pandangan Sains & Islam, Jakarta :
            Prestasi, 2006

Zubaidi, 2011, Desain Pendidikan Karakter, Jakarta : Kencana Prenada Media






[1] Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Karya Abdi Tama, 2001, hal. 18
[2] A. Mursal H.M Tahir, Kamus Ilmu Jiwa Agama dan Pendidikan, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1991, hal.112
[3] Dessy Anwar, op.cit., hal.331
[4] J. Winardi, Manajemen Perubahan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010, Hal. 1
[5] Hughes Ginnett Curphy, Leadership : Enhancing The Lesson of Experience, terj., Jakarta : Salemba Humanika, 2012, hal. 511
[6] Al-Qur’an al-Karim, Surat Ar-Ra’du [13] : 11
[7] M. Rusli Amin, op.cit., hal.104
[8] Departemen Agama RI, Islam dan Lingkungan Hidup, Jakarta : Dirjenbinbaga, 2002, hal.9
[9] Rosman Yunus, dkk., Teori Darwin dalam Pandangan Sains & Islam, Jakarta : Prestasi, 2006, hal.20
[10] Ibnu Qoyim Ismali, Kiai Penghulu Jawa, Jakarta : Gema Insani Press, 1997
[11] Fathul Anas, The Miracle of Quranic Motivation, Jakarta : Citra Risalah, 2010, hal.26
[12] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta : Fajar Inter Pratama Offset, 2011, hlm.448-449.
[13]  Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, cet,19, 2012) hlm.39
[14] Suparman Syukur, Etika Religius, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hal. 90
[15] Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1978, hal.192
[16] Iqbal Hamdy, Menggapai Hidup Bermakna, Jakarta : Republika, 2006, Hal.134
[17]  Hasan Sadily, Sosiologi untuk masyarakat Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1983), cet.IX, hlm.1
[18]  Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : CV.Rajawali, 1982) cet.1, hlm. 18 dan 53
[19] A. Luthfi Hamidi, Penguasa dan Kekuasaan : Pemikiran Politik a- Mawardi, Yogyakarta : Tesis IAIN Sunan Kalijaga, 1996, hal 14
[20] Abu Al-Hasan Ali Al-Bashri Al-Mawardi, Etika Agama dan Dunia-Memahami Hakekat Beragama dan Berinteraksi di Dunia,  Bandung : Pustaka Setia, 2002, hal.87
[21] M. Rusli Amin, Kiat-kiat Sukses Sebuah Pendekatan Qur’ani Untuk membangun Kualitas Diri & Kehidupan, Jakarta : Al-Mawardi Prima, 2006, hal.vii
[22] www.Zulfahmi.co.id, Agama Sebagai Peubah Sosial,didownload tanggal 10/1/2013
[23] Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978).
[24] Muhammad Imarah, Islam dan Keamanan Sosial, Jakarta : Gema insani, 1999, hal.39
[25] Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentangSosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari bukuasli The SocialConstruction of Realityoleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES.
[26] Ibid. hlm. 447-448
[27]  Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung : Rosda Karya, 2009, hlm.186
[28]  H.A Qodri A. Azizy, dkk, Islam dan Lingkungan Hidup, Jakarta :Dirjen Binbaga, 2002, hlm.8
[29]  Ahmad Amin, Etika, Jakarta : Karya Unipress, 1993, hlm.155
[30] Bert.F. Hoselitz, ed, Panduan Dasar Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta : Rajawali, 1988, hlm.16
[31]  Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah,  Jakarta : Kharisma Putra Offset, 2011, hlm.150
[32]  Nazarudin Rahman, Spiritual Building, Yogyakarta : Felicha, 2010, hlm. 10
[33]  Iqbal Hamdy, Menggapai Hidup Bermakna, (Jakarta : Republika), 2006, hlm.150
[34] J. Winardi, Manajemen Prilaku Manusia, Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2004, Hal.73
[35]  Made Pidarta, Managemen Pendidikan Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2011, edisi revisi, hlm.196
[36] Imam Al-Ghazali, Menjalin Persaudaraan, Bandung : Al-Bayan, 1994, terj. Hal.17
[37] Fathul Anas, The Miracle of Qur’anic Motivation, Yogyakarta : Citra Risalah, 2010, hlm.25
[38] Edwin B. Flippo, Manajemen Personalia, Jakarta : 1992, ter., hal.93
[39] Abuddin Nata, Metodologi Studi Agama, hal. 393-394
[40] Ismail R. Al-Faruqi, Islam dan perspektif sosiologik, Surabaya : CV. Amarpress, terj. 1991, hal. 105
[41] M. Newman dan B. Berkowitz, How to Be Your best Friend, New York : Random House, 1091, hal.22
[42] Departemen Pendidikan Nasional, Indikator Keberhasilan, dirjendikdasmen,  Jakarta, 2004, hlm.3
[43] Jaudat Sa’id, Meraih Masa Depan  Upaya memperbaiki Diri, Bandung : Pustaka Hidayah, terj.,hal. 94
[44] Fred R. Davit, Strategic Management,  Jakartam pearson edycatiom, 2012Hal.127
[45]  Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011, hlm.289
[46] Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, 1980, Jakarta : Inter Masa, Bulan Bintang, hal.156
[47] Quraish Shihab, Wawasan A-Qur’an, Bandung : Mizan, 1996, cet. III hlm.322
[48]  Abuddin Nata,  Opcit., hlm. 459-464.
[49] Abuddin Nata, hal.28
[50] Ibid., hal. 35
[51] Hasil Keputusan MUNAS NU tanggal 17-20 Nopember 1997/16-20 Rajab, Bahtsul Masail, di Ponpes  Qomarul Huda Bagu Pringgarata Lombok Tengah NTB.
[52] Ibid., hal. 38
[53] Ibid. hal.42
[54] Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, Jakarta : Balai Pustaka Firdaus, 1987, hal. 105
[55] Abuddin Nata, hal.
[56] Abuddin Nata, hal.50
[57] Udin syaefuddin sa’ud, dkk., Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2005, Hal.234
[58]  Ibid. hlm. 40-41
[59] Sayid Qutb, Beberapa Studi Tentang Islam, Jakarta : Media Dakwah, 1981, hal.66
[61] Ali Abdul Halim Mahmud, dkk., Tradisi Baru Penelitian Agama islam, Bandung : Yayasan Nuansa Cendekia, 2001, hal. 109-110
[62] Atho Mudzhar, Pendekatan studi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011) cetakan ke.VIII, hlm.47
[63]  Ibid. hlm. 47-52

Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila