( by
: Rasiman )
A.PENDAHULUAN
Islam merupakan
salah satu agama yang di dalamnya mengajarkan kepada manusia tentang begitu sakral
dan urgen-nya hidup bermasyarakat sosial. Ajaran-ajarannya banyak yang
mengindikasikan kepada mu’amalah, zakat, fardhu kifayah, toleransi
dan yang lainnya yang kesemuanya itu adalah menggambarkan begitu perlu
hidup saling memberikan keuntungan bagi sesama manusia, dengan kata lain bersimbiosis
mutualisme.
Agama yang kita miliki ini adalah sebagai penuntun hidup dalam
menjalani hidup dan kehidupan. Dalam konteks ini, bahwa agama erat hubungannya
dengan kehidupan sosial. Hal ini merupakan cerminan dari bukti pelaksanaan
ajaran agama setiap insan, karena agama menjadi
pusat perubah sosial (center social changer).
Agama adalah
sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan- dewa dan sebagainya dengan ajaran
kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang telah bertalian dengan kepercayaan itu
(Dessy Anwar, 2001 : 18 )[1].
Perihal Tuhan, dewa dan sebagainya yang dimaksud penulis adalah Allah SWT. Dengan agama yang dianut-diamalkan, akan
memancarkan sebuah perasaan keberagamaan-the religon feelling. Oleh
karena itu, yang dimaksud dengan perasaan keagamaan adalah perasaan yang
menyertai manusia untuk selalu melakukan perbuatan yang sesuai dengan agama[2].
Produk-lazim
dikenal dengan produksi adalah hasil, penghasilan : barang-barang yang
dibuat atau dihasilkan ( Dessy Anwar, 331 )[3].
Yang dimaksud barang-barang dalam konteks ini adalah berbagai
nilai-nilai, doktrin, dogma atau perilaku tertentu akibat dari pengamalan dan
pengalaman sebuah ritual keagamaan.
Perubahan
merupakan sesuatu hal yang pasti (terjadi, dan akan terjadi), hal mana sudah
diketahui oleh manusia sejak zaman dahulu, yang diungkapkan mereka melalui
kata-kata “ Panta Rei “ ( bahasa Belanda : alles verandert) dan
dalam -bahasa Inggris : everything changes)[4].
Menurut James
Cameron, perubahan itu disebut “ Avatar “ , artinya cakupan inisiatif
perubahan dengan menggunakan kecakapan dalam penetapan tujuan, pelatihan,
bimbingan, delegasi maupun pemberdayaan untuk dapat secara aktif mengubah
perilaku dan keahlian[5].
Berbagai perubahan dalam hidup, mutlak dibutuhkan untuk ke arah
perkembangan yang lebih baik. Di dalam mengadakan perubahan itu, manusia perlu
untuk bekerja keras, optimisme dan bersangka baik kepada Allah. Adapun perubahan
yang diharapkan adalah perubahan dalam perilaku, perubahan dalam sistem nilai,
perubahan cara berfikir dan perubahan dalam sikap-attitude changes.
Di dalam
al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia agar senantiasa mengadakan perubahan,
yaitu :
اِنَّ
اللهَ لَايُغَيّرُمَا بِقَوْمٍ حَتّى يُغَيّرُوْامَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya : “ Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan
suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”[6].
Menurut Rusli
Amin, bahwa perubahan itu hijrah, yaitu
suatu perpindahan secara menyeluruh yang menyangkut berpindah tempat, berpindah
bidang, berpindah sistem kerja, berpindah objek yang diolah, maupun berpindah
cara berfikir[7].
Untuk berhijrah itu, bukan perkara yang
mudah karena hijrah mengandung banyak konsekuensi moral, baik dalam pengambilan
sebuah keputusan yang tepat atau sebuah perhitungan yang matang. Meskipun
demikian, hijrah akan dapat dilaksanakan jika dalam diri kita tumbuh semangat
juang untuk memikirkan kepentingan yang lebih luas. Perpindahan dari satu
lingkungan kehidupan sosial tertentu kepada kehidupan sosial yang lain,
membutuhkan suatu kemampuan dan
keinginan, sebagai alat yang dapat dijadikan mata rantai penuntas
keterbelakangan[8].
Untuk sampai kepada suatu perubahan, memerlukan waktu yang cukup
lama, yang menurut Darwin disebut evolusi. Evolusi adalah suatu
perubahan atau pertumbuhan secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang
cukup lama[9].Untuk
mengadakan perubahan kearah yang lebih baik, memerlukan pemikiran dan kajian kembali
terhadap dogma agama yang syarat dengan kesakralan
dan kemurnian-puritan, kalau dalam agama Islam kita perlu berfikir
kembali-rethinking Islam terhadap ajaran agama untuk diterapkan di dalam kehidupan sosial, karena
jika hubungan sosial tidak dibina dengan baik, maka akan menimbulkan peristiwa penentangan
sosial-politik terhadap penguasa untuk perubahan yang lebih baik, yang menurut Ibnu Qoyyim Ismail bahwa
pemimpin dan gerakan perubahan itu tidak
lain adalah kalangan ulama, para haji, dan guru-guru ngaji[10].
Sejalan
dengan perubahan di atas, Jalaluddin Rumi berkata bahwa bila anda mengubah
kinerja anda, anda mengubah nasib anda. Dan bila anda mengubah nasib anda, anda
mengubah hidup anda[11].
Menurut Abuddin Nata (2011 :
44) bahwa sosial itu berasal dari bahasa
Inggris “social” yang secara harfiah berarti pertemuan silaturrahmi, ramah
tamah, sedangkan dari bahasa arab kata sosial itu merupakan terjemahan dari
kata isyrirakiyah yang berasal dari kata isytaraka yang berarti partnership
(perkawanan), participation (ikut serta), sharing (ikut andil), joining (ikut
serta), community (masyarakat), kemudian menjadi isytirakiyah yang socialism
(paham tentang kemasyarakatan. Dia menjelaskan secara gamblang tentang definisi
sosial adalah perilaku manusia yang berkaitan dengan hubungan antara sesama
manusia, tolong-menolong, kerja sama, ikut serta dan kepedulian kepada orang
lain[12].
Di dalam ilmu sosial, Abuddin Nata juga mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu
ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur,
lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling terkait. Dengan ilmu
ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong
terjadinya suatu hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang
mendasari terjadi proses tersebut [13], fenomena sosial tersebut dapat menguntungkan
bagi tegaknya dominasi kekuasaan[14].
Menurut Sidi
Gazalba (1978 : 192) sosial adalah pergaulan serta hubungan manusia dan
kehidupan kelompok manusia terutama kehidupan masyarakat yang teratur[15],
yang dapat dilakukan dengan jalinan silaturrahmi diantara keluarga dan sahabat
adalah kodrat manusia sebagai mkhluk sosial[16].
Menurut Hasan sadily mendefinisikan
bahwa Sosiologi, adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat
dan menyelidiki ikatan-ikatan antara
manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan
maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan
hidup itu serta pula kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri
kepada cara hidup dalam tiap persekutuan hidup manusia[17].
Menurut
Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang
membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan arah
mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang
menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut
yang di dalamnya juga dibahas tentang proses-proses sosial yang mengingat bahwa
pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh
gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia[18].
Sejalan dengan definisi dan pendapat para pemerhati sosial di atas,
dapat dikatakan bahwa agama sebagai produk perubahan sosial adalah suatu
keyakinan terhadap nilai-nilai, dogma atau doktrin tertentu, hasil dari pengamalan dan pengalaman melalui penetapan
tujuan, pelatihan, bimbingan, delegasi dan pemberdayaan doktrin dalam waktu
yang lama, menimbulkan keinginan dan
spirit hidup untuk kerja keras, optimisme,
dan bersangka baik kepada Tuhan dalam
mengadakan berbagai perubahan, baik itu perubahan perilaku-attitue, sistem nilai,
atau perubahan cara berfikir, sehingga pergaulan serta hubungan manusia
dalam kehidupan suatu kelompok manusia menjadi
teratur dan akan terwujud baldatun, thayyibatun, warabbun ghafur.
Nilai-nilai, dogma atau
doktrin tertentu menjadi sebuah norma, yang menurut A. Luthfi Hamidi berarti
aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam msyarakat, dipakai
sebagai panduan, tatanan dan kendali tingkah laku yang sesuai dan diterima[19].
Atas dasar di
atas, dapat penulis sampaikan beberapa permasalahan yang ada relevansinya
dengan agama sebagai produk perubahan sosial sebagai berikut :
1.
Bagimanakah
kajian agama Islam dalam produk perubahan sosial ?
2.
Prinsip-prinsip
apakah yang dipakai dalam memahami agama sebagai produk perubahan sosial ?
3.
Pendekatan
apakah yang dipakai dalam memahami agama sebagai produk sosial ?
4.
Metode apa
yang dipakai dalam memahami agama sebagai produk perubahan sosial?
B.PEMBAHASAN
1.Kajian Agama Tentang
Produk Perubahan Sosial
Manusia ditaqdirkan oleh Allah menjadi makhluk yang saling memiliki
ketergantungan satu dengan yang lainnya. Maka, manusia pun tidak mungkin meraih
sukses tanpa bantuan orang lain, yang menurut Abu Al-Hasan Ali Al-Bashri
Al-Mawardi bahwa salah satu bentuk pencittaan-Nya yang penuh hikmah dan
pengaturann-Nya yang sangat rapi adalah menciptakan manusia dalam kondisi
saling membutuhkan dan lemah[20].
Fungsi satu orang bagi orang lainnya adalah untuk saling bantu-membantu, beri-memberi dan
saling bertukar jasa. Inilah hakekat potensi sosial yang harus dikembangkan
pada diri manusia[21].
Menurut
Zulfahmi, penyebab perubahan sosial dapat dikelompokkan dalam dua perspektif,
yaitu materialistic factors dan idealistic factors [22].Perspektif
Materialis ,Karl Marx mengemukakan teori Marxisme,
berarti paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx tentang materialisme yang diterapkan
dalam kehidupan sosial. Marxisme lahir dari konteks masyarakat industri Eropa
abad ke-19, dengan semua ketidakadilan, eksploitasi manusia khususnya kelas
bahwah/kelas buruh yang struktur
organisasi dalam proses produksi dan struktur masyarakat masih bertahan pada
tingkat lama yang ditentukan oleh kepentingan-kepentingan kelas atas.[23] Perspektif
idealis melihat bahwa perubahan sosial disebabkan oleh faktor
non material. Faktor non material ini antara lain ide, nilai dan ideologi. Ide
merujuk pada pengetahuan dan kepercayaan, nilai merupakan anggapan terhadap
sesuatu yang pantas atau tidak pantas, sedangkan ideologi berarti serangkaian
kepercayaan dan nilai yang digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi bentuk
tindakan di masyarakat. Disamping itu juga, bahwa di dalam kehidupan soasial
memerlukan keamanan sosial dapat menjadikan sumber kehidupan manusia artinya
adalah apa yang menjadi sandaran kehidupan manusia termasuk di dalamnya dimensi
waktu dan tempat yang menjadi pokok kehidupan[24].
Berkenaan
dengan itu bahwa ada beberapa alasan mengapa agama dapat melakukan perubahan
sosial, yaitu : Pertama, agama
mengajarkan cara berinteraksi dengan manusia. Kedua, agama mengajarkan kejujuran dalam berinteraksi
sosial yang menuntut tanggung jawab, baik itu kepada diri sendiri, kepada
Allah, kepada sesama makhluk dan kepada alam sekitar agar terbentuknya
lingkungan sosial yang baldatun, toyyibatun warobbun ghofur berdasarkan pada
kondisi real secara empirik. Agama sebagai perubah sosial, dapat dilihat pada Teori konstruksi
sosial (social construction) yang disampaikan Berger dan Lukmann
merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan.
Dalam teori ini terkandung pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial,
serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya.
Kenyataan adalah suatu kualitas yangterdapat dalam fenomena-fenomena yang
diakui memiliki keberadaan (belonging)-nya sendiri sehingga tidak
tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian
bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang
spesifik (Berger, 1990:1)[25].
Untuk mengkaji bahwa agama sebagai produk perubahan sosial, Abuddin
Nata (2011 : 447) memberikan pandangan terhadap pokok pembicaraan di
atas sebagai berikut :Pertama, Islam pada hakekatnya membawa
ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai
segi dari kehidupan manusia. Islam bukan hanya mengatur hubungan baik antara
manusia dengan Tuhan, melainkan juga mengatur hubungan yang baik dengan manusia
dan dengan alam jagat raya. Melalui hubungan yang baik ini, akan tercipta
sebuah kehidupan yang seimbang, tertib, aman, damai dan harmonis yang
selanjutnya menjadi syarat bagi manusia untuk melakukan berbagai kegiatan
lainnya.Kedua, ajaran Islam yang berkenaan dengan hubungan
manusia dengan Tuhan dalam arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam
ilmu tauhid, fikih dan tasawuf. Adapun hubungan manusia dengan manusia dalam
arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam ilmu sosial politik. Melaui
ilmu sosial, manusia selain diperkenalkan tentang bentuk-bentuk masyarakat,
proses pembentukan dan cara melakukan hubungan
dan konsolidasi yang membahas hukum dan etika sosial. Demikian juga
melalui ilmu politik, manusia selain diperkenalkan tentang cara mendapatkan,
mengelola dan mempertahankan kekuasaan. Ketiga,Islam
memiliki ajaran yang selain berhubungan dengan kewajiban yang bersifat individual-fardhu
‘ain tetapi juga ada bersifat kolektif-fardhu kifayah. Ajaran yang kolektif ini
termasuk ajaran yang berkaitan dengan masalah sosial. Keempat,
dalam Al-Qur’an selain terdapat ayat-ayat yang menyuruh manusia agar saling
berkenalan, melakukan kerja sama, tolong menolong dan bersinergi, juga terdapat
ayat-ayat tentang perlunya taat kepada pemimpin.Kelima, dewasa
ini ada keinginan yang kuat dari seluruh masyarakat di dunia untuk mewujudkan
tatanan kehidupan sosial yang lebih tertib, aman, damai, harmonis dan sejahtera[26].
Agama sebagai produk perubahan
sosial akan membuat pemeluknya menjadi pribadi yang memiliki kecerdasan sosial.
Menurut Mulyasa ( 2009 : 186 ) bahwa pribadi yang memiliki kecerdasan sosial
ditandai adanya hubungan kuat dengan Allah SWT, memberi manfaat kepada
lingkungan, dan menghasilkan karya untuk membantu orang lain agar santun,
peduli sesama, jujur dan bersih dalam berperilaku[27].
Selaku
produk perubah sosial, agama mengajarkan tentang pergaulan hidup antara sesama
makhluk dan sesama ciptaan-Nya harus dapat memberikan kontribusi yang dinamis
dalam proses perubahan kesempurnaan kehidupan sosial, yang menurut Guillame
De Cruf, bahwa pergaulan hidup atau warna kehidupan dari tiap-tiap anggota
masyarakat bukanlah selamanya merupakan suatu tindakan statis dan permanen,
tetapi perbuatan akan bervariasi sesuai dengan latar belakang, kemampuan dan
keinginan individu akibat tuntutan kemajuan[28].
Karena agama sebagai produk
perubahan sosial, maka menurut Ahmad Amin ( 1993 : 155) berpendapat bahwa ada
perubahan rasa keberagamaan di lingkungan sosial yang akan muncul adalah : (1)
saling memberikan kasih sayang mereka, gembira karena kegembiraan mereka, (2)
mengambil dan memberi, artinya ia tahu bahwa ia wajib memberi sebagaimana ia
mengambil, (3) tolong menolong dengan arti bahwa yang kuat menolong yang lemah,
yang besar menolong yang kecil dan barang siapa menolong kepada lainnya
hendaknya berusaha untuk menolongnya[29].
Berger dan Luckmann (1990:67-73)
menyatakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungannya bercirikan
keterbukaan dunia sehingga memungkinkan manusia melakukan berbagai aktivitas.
Adanya keterhubungan manusia dengan lingkungannya seperti itu, membuat ia
mengembangkan dirinya bukan berdasarkan naluri tetapi melalui banyak macam
kegiatan terus-menerus penuh variasi. Maka itu, dalam mengembangkan dirinya
manusia tidak hanya berhubungan secara imbal-balik dengan lingkungan alam
tertentu tetapi juga dengan tatanan sosial dan budaya yang spesifik, yang
dihubungkan melalui perantaraan orang-orang yang berpengaruh (significant-others).
Perkembangan manusia sejak kecil hingga dewasa memang sangat ditentukan secara
sosial, sehingga keanekaragaman
sosial dan pertumbuhan masyarakat
tercipta sosiologi baru yaitu ekologi manusia[30].
Menurut Kuntowijoyo bahwa untuk
mempelajari agama sebagai produk perubahan sosial kita butuh ilmu sosial
profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah
fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi
itu dilakukan, untuk apa dana oleh siapa. Yaitu ilmu sosial yang mampu
mengubah fenomena berdasarkan cita-cita. etik dan profetik tertentu; perubahan
tersebut didasarkan pada tiga hal, yaitu :Pertama, cita-cita
kemanusiaan, kedua, liberasi dan ketiga,
transendensi.Nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi), liberasi dan
transendensi yang dapat digali dari ayat tersebut dapat dijelaskan secara
singkat sebagai berikut : Humanisasai
adalah memanusiakan manusia dari proses dehumanisasi. Liberasi
adalah pembebasan manusia dari lingkungan teknologi, pemerasan kehidupan,
menyatu dengan orang miskin yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa
dan berusaha membebaskan manusia dari belenggu yang kita buat
sendiri. Transendensi adalah menumbuhkan dimensi
transendental dalam kebudayaan. Dalam ilmu sosial profetik, kita ingin
melakukan reorientasi terhadap epistemologi, orientasi terhadap mode of
thought dan mode of inquirity, yaitu suatu pandangan bahwa sumber
ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan empirik sebagaimana yang dianut
dalam masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu. Tekstualitas agama lebih
mengafirmasi konteks perubahan sosial yang
merupakan bentuk ajaran kehidupan yang lebih melihat kenyataan
sosial, tidak hanya berupa turunan dari langit. Selagi manusia masih sangat dibutuhkan oleh
lingkungan, sedangkan kapasitasnya belum
mengambil peranan, maka
beradaptasi dengan alam lingkungannya adalah hal yang penting.
Konsep dasar tentang sistem sosial
berasal ( devired ) dari Parson (1951), kemudian pelaksanaannya teori sistem
sosial yang berkaitan dengan model sistem sosial.Menurut Wahjosumidjo
(2011:150) bahwa model sistem sosial memberikan petunjuk dalam suatu organesasi
sebagai satu sistem sistem sosial, yaitu : pertama, sederetan
unsur yang terdiri dari institusi, peran dan harapan-harapan, yang secara
bersama-sama membentuk dimensi normatif sosiologis, kedua, sederetan
unsur yang mencakup individu, kepribadian dan keperluan watak (need
disposition) yang secara bersama-sama melahirkan dimensi kepribadian atau
psikologis, ketiga, perilaku sosial sebagai hasil interaksi
antara faktor institusi dengan unsur-unsur di dalamnya dengan faktor individu
beserta unsur-unsurnya[31].
Menurut Nazarudin Rahman (2010 : 10
), bahwa manusia sosial disebut Homo religius yaitu manusia memiliki rasa
kasih, pemaaf, cinta dan kerinduan, rasa kedamaian serta perasaan-perasaan
lainnya yang disebut dengan sifat-sifat ketuhanan, karenanya maka dalam
kehidupannya manusia tidak mungkin terlepas atau luput sama sekali dari
kesadaran bertuhan[32].
Untuk penghayatan terhadap agama
sebagai produk perubahan sosial, maka akan memunculkan yang namnya “sahabat
sejati” yang akan menemani dalam berbagai keadaan bagi suka maupun duka dengan
senantiasa menjaga kejujuran, saling menghormati, berakhlak mulia yang akan
senantiasa menjaga hak dan kewajiban tali persahabatan. Sahabat sejati adalah
sahabat yang baik. Saudara sejati itu adalah saudara seiman, seakidah
dan seagama yakni sahabat yang baik dalam kapasitas sebagai makhluk sosial,
yang menurut Iqbal Hamdy ( 2006 : 150) mengatakan bahwa sahabat sejati itu
adalah sahabat yang baik artinya sahabat yang harus memberikan faedah bagi
kehidupan, memberikan nilai-nilai kebenaran, untuk mengarahkan menuju jalan
yang lurus[33],
itulah faedah sosial yang diperoleh melalui interaksi antara manusia dan
sumber yang menghasilkan faedah sosial[34].
Untuk memberikan perubahan sosial
masyarakat, maka agama akan mengedepankan program-program yang langsung
bersinggungan dengan kehidupan masyarakat sosial pada umunya, yang langsung
dapat dirasakan dan dinikmati.Program-program yang dimaksud, menurut Made Pidarta 2011 : 196 disebut Program yang sensitif,
yaitu program yang mudah menyentuh hati masyarakat, dimana program tersebut
menyangkut segala yang dibutuhkan dan komprehensif, maksudnya ialah program itu
terpadu, terintegrasi menjadi satu kesatuan[35].
Program yang dimaksud adalah bahwa
agama sebagai rahmat seluruh alam yang ajarannya mencakup tujuan kehidupan,
baik untuk kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat, mencakup aturan fardhu ‘ain atau fardhu kifayah.Program
tersebut harus dipropagandakan dan dijabarkan oleh para peubah sosial yaitu
para tokoh agama agar ajaran agama dapat diterima oleh masyarakat sosial secara
umum. Ajaran agama yang bagus itu harus terus disebarluaskan kepada seluruh
pemeluknya dan kepada lingkungan sosial yang ada di sekelilingnya sebagai
konsep dasar dalam sistem sosial.
Untuk menjaga hubungan baik manusia dalam kehidupan sosial, manusia
terikat oleh kewajiban untuk memberikan pertolongan dalam rangka memenuhi
berbagai kebutuhan, memperhatikan mereka tanpa menunggu diminta lebih dulu
serta mengutamakan kebutuhan-kebutuhan mereka atas kebutuhan-kebutuhan sendiri[36].
Kewajiban itu menurut saya adalah diperuntukkan untuk semua komponen dan semua
lapisan masyarakat, khususnya bagi
mereka yang mampu dan mempunyai kelebihan material agar membantu mereka yang
lemah, sebagaimana di dalam Islam adanya kewajiban membayar zakat untuk para
dhuafa. Tetapi, bagi
mereka yang kurang mampu, materi yang diberikan oleh para dermawan harus
dipergunakan sebaik mungkin sebagai modal usaha untuk mencari atau meningkatkan
taraf hidup agar lebih baik, bukan sebaliknya, untuk pekerjaan meminta-minta
dan justeru malas bekerja.
Menurut Fathul Anas (2010:25)
mengungkapkan bahwa perubahan-perubahan dalam hidup sangat diperlukan agar
terjadi perkembangan yang lebih baik untuk menciptakan perubahan itu manusia
harus kerja keras dan bersungguh-sungguh karena allah akan mengubah keadaan
seseorang jika ia bersungguh-sungguh, sebaliknya jika bermalas-malasan,
selamanya hidupnya akan selalu dalam keadaan sengsara[37].
Apa yang disampaikan oleh Fathul Anas adalah bahwa agama sebagai produk
Perubahan Sosial yang merupakan agent pembahru bagi pemeluknya untuk mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan selaku insan sosial di masyarakat.
Untuk mencapai tujuannya agama
sebagai produk perubahan sosial, yakni menghasilkan integrasi yang cukup kokoh,
mendorong kerja sama yang produktif dan kreatif untuk mencapai sasaran[38],
maka memerlukan apa yang disebut sebagai life skill dalam beragama
selaku produk perubahan sosial, dan menurut Abuddin Nata bahwa agama berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu dari manusia yang tidak dapat
dipenuhi oleh lainnya, agama memaksa orang untuk menepati janji-janjinya, agama
dapat membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi
kewajiban dengan memberikan nilai yang berfungsi menyalurkan sikap para anggota
masyarakat dan menetapkan kewajiban-kewajiban sosial mereka, agama berperan
membantu merumuskan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh manusia, agama
menerangkan fakta-fakta bahwa nilai-nilai yang ada di masyarakat bukan sekedar
kumpulan nilai yang bercampur-aduk, tetapi membentuk hierarki [39].
Hierarki tersebut bahwa menjadi muslim tidak hanya merupakan perbuatan
konversi, tetapi justeru merupakan proses perkembangan kepribadian dan
kesadaran[40], proses yang berjalan seumur hidup yang
mencakup proses-proses desosialisasi, resosialisasi, dan sosialisasi
antisipatorik dengan prosesnya yang fitri, sebab kepribadian yang murni
dalam diri seseorang tidak ingin melakukan hal-hal yang sama sekali asing bagi
dirinya, ia ingin menyadari potensialnya sendiri[41].Kecakapan
terhadap kesadaran diri merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa, anggota masyarakat dan warga negara serta menyadari dan mensyukuri
kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sekaligus menjadikannya sebagai modal
dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri
dan lingkungan sosialnya. Kecakapan
hidup yang relevan itu oleh Dirjendikdasmen disebut kecakapan hidup generik
yaitu kecakapan yang harus dimiliki oleh setiap manusia yang terdiri kecakapan
personal (personal skill) dan kecakapan sosial[42]
Berbagai
jenis pernik pengalaman dalam pengamalan beragama yang ada di masyarakat,
menjadi hal yang menarik untuk dikaji dalam penambahan khazanah guna memahami
agama secara kaffah, oleh karena itulah menurut Jaudat Sa’id bahwa topik
perubahan sosial memiliki posisi prestisius dalam kajian-kajian masa
kini[43],
itulah tren-tren sosial, budaya, demografis dan lingkungan membentuk cara orang
hidup, bekerja, memperbaiki dan mengkonsumsi[44].
Tujuan mengadakan perubahan sosial,
menurut Zubaidi ( 2011 : 289 ) adalah sebagai berikut : pertama, Mengembangkan
pengetahuan dasar kesosiologian atau konsep-konsep yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat dan lingkungannya, kedua, Mengembangkan kemampuan
berfikir kritis, pemecahan masalah, dan keterampilan sosial, ketiga, Membangun
komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keempat, Memiliki
kemampuan berkomunikasi, berkompetisi dan bekerja sama dalam masyarakat majemuk[45].
Dari berbagai teori dan kajian serta
pendapat para pakar sosial tentang agama sebagai produk perubahan sosial di
atas, yang penting dan perlu kita lakukan adalah mencermati lebih
mendalam bahwa agama itu merupakan tuntunan yang dapat memproduksi perubahan
sosial di dalam masyarakat dalam rangka mencapai perubahan (agent of
change).Apabila perubahan sosial dipahami sebagai suatu bentuk peradaban
manusia maka pada dasarnya perubahan
sosial merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi sepanjang hidup. Menurut
Marcel A. Boisard berpendapat bahwa Islam sebagai salah satu agama, menampakan
dirinya sebagai suatu gerakan yang menekankan pentingnya kehidupan sosial[46].
2.Prinsip-prinsip Perubahan sosial
Menurut
HM.Quraish Shihab bahwa Al-Qur’an adalah sarat dengan uraian tentang prinsip-prinsip
perubahan sosial yang dapat dijadikan sebagai hukum-hukum yang mengatur lahir,
tumbuh dan runtuhnya suatu masyarakat[47].Tumbuh
atau berkembangnya suatu masyarakat sosial bagi Al-qur’an adalah merupakan
sunnatullah, artinya bahwa kepastian hukum itu tidak akan pernah mengalami
perubahan.
Menurut
Abuddin Nata, prinsip-prinsip hukum sosial itu ada 7 (tujuh), yaitu :
1. Perubahan sikap Mental, lihat Al-Qur’an Surat Ar-Ra’du [13] : 11, yang
mengandung pengertian bahwa hukum kemasyarakatan merupakan hukum perubahan (
The change of Law). Bahwa konsekuensi mental manusia akan berubah dari jelek
menjadi baik, dari malas menjadi rajin, dari bodoh menjadi cerdas, dari biadab
menjadi beradab, dari semaunya menjadi disiplin dengan syarat adanya upaya
kearah itu.
2. Perubahan akhlak. Lihat ungkapan Syauki Bey, bahwa “Innamal umamu
akhlaaqu maa baqiyat wa in hukum zahabat akhlaaqukum zahabu “ yang artinya
maju mudurnya suatu bangsa sangat bergantung pada akhlaknnya, jika akhlak
bangsa itu baik, maka baik pula bangsa itu, dan jika akhlak bangsa tersebut
rusak, maka rusak pula bangsa itu. Seperti kerajaan Romawi dan Persia, dahulu
kedua bangsa tersebut telah berkuasa selama berabad-abad karena baiknya tabiat
bangsa tersebut. Namun, ketika kedua negara besar itu terjadi dekadensi moral,
maka mereka terjadi kemunduran dan keruntuhan.
3. Saling kerja sama. Jika suatu masyarakat yang di dalamnya terdapat
semangat kerja sama yang harmonis dalam berbagai bidang kebaikan, maka
masyarakat tersebut dijamin akan
mencapai kemajuan.
4. Saling menghormati. Islam mewajibkan kepada setiap anggota masyarakat
untuk saling menghargai antara satu dengan yang lainnya dan jangan sekali-kali
mengejeknya.
5. Manusiawi, artinya memperlakukan manusia sesuai dengan
fitrahnya, baik secara fisik atau non-fisik karena manusia mempunyai
kecenderungan kepada materi dan mempunyai keterbatasan.
6. Egaliter, adalah istilah yang mengacu kepada faham yang
menganggap bahwa keragaman pada manusia, seperti jender, warna kulit, suku
bangsa, bahasa, budaya dan agama merupakan ciptaan Allah yang tak perlu
didiskriminasikan tetapi harus tetap dijunjung tinggi.
7.Keadilan
dan kebaikan. Adil atau keadilan merupakan istilah yang mengacu
kepada sikap yang seimbang, atau memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai
dengan jasa dan peran yang diberikannya. Adapun kebaikan adalah sikap yang
mengacu pada sikap yang menyenangkan dan membantu mengatasi kesulitan orang
lain sehingga orang tersebut merasa senang[48].
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, agama akan tetap menghasilkan
nilai-nilai kemanusian yang akan memberikan pengayoman dan ketenangan bathin
setiap insan dimana posisi kehidupannya semakin kokoh karena manusia selalu merasa diawasi oleh
Tuhan dan akan selalu dibantu oleh manusia yang lain dalam pergaulan di
masyarakat yang mengedepankan kebersamaan di dalam keyakinan beragama di
masyarakat sebagai kelompok sosial.
3.Pendekatan Agama Sebagai Produk Sosial
a.
Menurut
Abuddin Nata, ada 7 metode yang digunakan yaitu Pertama,
Pendekatan teologis normatif yaitu memahami agama secara harfiah,
maksudnya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang
bertolak pada suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap
yang paling benar[49]
yang menurut saya pendekatan ini kaku,
statis dan terkesan terlalu saklek. Kedua, Pendekatan
Antropologis yaitu upaya agama dengan cara melihat wujud praktik
keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat[50].
Melalui pendekatan antropologis ini, teman saya dalam suatu diskusi bertanya kepada saya tentang bagaimana
hukum sholat jum’at yang dilaksanakan di kawasan industri dengan “triple
time in a day” (3 ship )? Sebelum menanggapi masalah ini, penulis
memprediksi bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya hal ini karena
adanya kegiatan produksi suatu industri yang tidak mungkin ditinggalkan pada waktu
kegiatan sholat jum’at karena alasan-alasan yang prinsip dan tenaga skill pada
bidang produksi industri tersebut hanya dikuasai oleh orang-orang yang
bergender laki-laki saja. Oleh karena itu, berdasarkan hasil Keputusan Bahtsul
Masail Diniyah MUNAS NU di Ponpes Qomarul Huda Bagu Pringgarata NTB pada
tanggal 17-20 Nopember 1997 memutuskan bahwa : Pada ship pertama, diwajibkan
untuk melaksanakan sholat jum’at, selanjutnya untuk ship kedua dan seterusnya,
bahwa sholat jum’at tidak dapat dilaksanakan, tetapi harus dilaksanakan sholat dhuhur[51].
Menurut pendapat saya, solusi yang dapat diambil adalah bahwa tenaga skill di
bidang produksi-industri tidak hanya diberikan kepada kaum pria, sehingga perlu
latihan dan kaderisasi untuk kaum wanita. Khusus hari jum’at, terutama
menjelang sholat jum’at dimulai, tenaga kerja dalam proses industri diserahkan
kepada kaum hawa’ untuk sementara, sehingga kaum laki-laki dapat melaksanakan
sholat jum’at secara bersama-sama. Ketiga, Pendekatan
sosiologis yaitu memahami agama dengan mencoba mengerti sifat dan maksud
hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan hidup[52].
Keempat, Pendekatan Filosofis yaitu memahami agama
berdasarkan cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah[53].
Kelima, Pendekatan Historis yaitu memahami agama melihat berbagai peristiwa dengan
memperhatikan tempat, waktu, tempat objek, latar belakang dan pelaku dari
peristiwa itu[54]. Keenam,
Pendekatan Kebudayaan yaitu memahami agama dengan memperhatikan budaya yang
membumi di tengah-tengah masyarakat[55].
Ketujuh, Pendekatan Psikologi yaitu memahami agama dengan
mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati[56].
Yang dimaksud dengan
pendekatan sosial menurut A.W Guruge (1972) adalah “ The traditional
approuch to educational development by providing institutiona and facilities to
meet pressure....” yakni pendekatan traditional bagi pembangunan pendidikan
dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi
tekanan-tekanan...[57].
Mengingat begitu pentingnya
pendekatan sosiologis dalam memahami suatu agama, maka Abuddin Nata
mengutif pendapat Jalaluddin Rahmad dalam bukunya yang berjudul “Islam
Alternatif” dimana agama yang memberikan perhatian yang cukup besar
terhadap problematika sosial di masyarakat dengan alasan sebagai berikut :Pertama,
dalam Al-qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar adalah masalah muamalah.
Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya al-Hukumah Al-Islamiyah
yang dikutib Jalaludin rahmat dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat
ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding
seratus-untuk satu ayat ibadah dan seratus ayat untuk muamalah (masalah
sosial). Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam
islam ialah adanya kenyataan bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan
urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditanggunhkan,
melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.Ketiga,
bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar
dari pada ibadah yang bersifat perseorangan. Contohnya : sholat berjama’ah
pahalanya 27 derajat, lebih tinggi dari pada sholat munfarid.Keempat,
dalam islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau
batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifarahnya ialah melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Contohnya bila puasa wajib di
bulan ramadhan tidak mampu melakukan karena lanjut usia misalnya maka jalan
keluarnya adalah dengan membayar fidyah.Kelima, dalam islam
terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran
lebih besar dari pada ibadah sunnah. Lihatlah hadits berikut ini yang artinya :
“ Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah
seperti pejuang di jalan Allah dan seperti orang yang terus menerus shalat
malam.....” HR. Bukhari Muslim)[58]
Dengan melalui pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan
mudah karena agama santun lagi
bermoral yang diturunkan untuk kepentingan sosial, yang menurut Sayid Qutb
menyebut bahwa Islam sebagai salah satu agama telah berpegang teguh dalam mewujudkan masyarakat yang
bersolidaritas kepada peraturan-peraturan kesisteman tertentu, tetapi ia tidak
membiarkan peraturan-peraturan itu bekerja sendiri terlepas dari motif-motif
perasaan di dalam hati[59]
Dalam Al-Qur’an kita jumpai ayat-ayat tertentu yang berkenaan dengan hubungan
manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa atau yang sebaliknya. Itulah
tren-tren sosial, budaya, demografis dan lingkungan membentuk cara orang hidup, bekerja,
memproduksi dan mengkonsumsi[60]
b.Menurut Ali Abdul Halim Mahmud ada 4
pendekatan Agama sebagai Produk Sosial, yaitu : (1) pendekatan
evolusionisme yaitu mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul
dalam masyarakat, (2) pendekatan interaksionisme yaitu memusatkan
perhatian pada interaksi antara individu dengan kelompok, (3) pendekatan
fungsionalisme yaitu masyarakat dipandang sebagai satu jaringan kerja
sama kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah sistem yang
harmonis, (4) pendekatan konflik yaitu pendekatan yang mewariskan
sebuah ketegangan terus-menerus dalam sebuah fenomena setiap kelompok untuk
mempertahankan dominasinya[61].
4.Metode yang
digunakan dalam memahami Agama sebagai Produk Sosial
Menurut Atho Muzhar (2011 : 47), metode
penelitian sosial itu menggunakan “ Grounded Research”, yaitu
metode penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori melalui data yang
diperoleh secara sistematik dengan menggunakan metode analitis komparatif
konstant, yang mempunyai 3 (tiga) ciri-ciri yaitu : (1)adanya tujuan
menemukan atau merumuskan teori, (2)adanya data sistematik, (3) digunakannya
analisis komparatif konstant[62].
a. Tujuan
merumuskan teori Grounded Research, untuk menilai kegunaan suatu teori harus
juga dilihat dari segi bagaimana dahulunya teori itu dirumuskan,
penelitian-penelitian sosial-sosiologi untuk membuktikan kebenaran teori, teori
yang didasarkan atas data yang tahan lama dan sulit diubah, teori yang
dihasilkan adalah teori dasar, adanya teori verifikatif yaitu bertitik tolak
dari hipotesa kemudian dilakukan pembuktian.
b. Data yang
sistematik, adalah data yang diperoleh sesuai dengan prosedur : ada persiapan,
pengumpulan data, pengkodean, analisis dan penulisan laporan.
c. Prosedur
penelitian : menentukan sasaran studi dan memilih kelompok-kelompok sosial,
data yang diperoleh diklasifikasikan dengan cara mencari persamaannya untuk
mendapatkan “kategori-kategori”. Kategori itu adalah hasil data setelah
diklasifikasi, kategori itu dicari ciri-ciri pokoknya untuk menentukan
sifatnya, stelah diketahui sifatnya dihubungkan satu sama lainnya sehingga
melahirkan hipotesis, hipotesis tersebut dihubungkan lagi satu sama lain
sehingga melahirkan jalur-jalur kecebderungan yang umum.
d. Analisis
komparatif : membandingkan setiap datum untuk memunculkan berbagai kategori,
membandingkan dan mengintegrasikan kategori dan sifat-sifatnya untuk
memunculkan hipotesis dan memberi batasan teori[63].
C.KESIMPULAN
Agama sebagai produk perubahan sosial adalah suatu keyakinan terhadap nilai-nilai, dogma atau doktrin
tertentu, hasil dari pengamalan dan
pengalaman melalui penetapan tujuan, pelatihan, bimbingan, delegasi dan
pemberdayaan doktrin dalam waktu yang lama, menimbulkan keinginan dan spirit hidup untuk kerja
keras, optimisme, dan bersangka baik
kepada Tuhan dalam mengadakan berbagai
perubahan, baik itu perubahan perilaku-attitue,
sistem nilai, atau perubahan cara
berfikir, sehingga pergaulan serta hubungan manusia dalam kehidupan suatu
kelompok manusia menjadi teratur dan
akan terwujud baldatun, thayyibatun, warabbun ghafur.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam memahami bahwa agama ebagai
produk sosial adalah prinsip perubahan
sikap Mental, Perubahan akhlak, Saling kerja sama, menghormati, manusiawi, dan
egaliter.
Pendekatan-pendekatan
yang dipergunakan dalam kajian bahwa agama sebagai produk perubahan sosial
adalah pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, filosofis,
historis, kebudayaan, psikologi, traditional approuch, evolusioner,
interaksionisme, fungsionalisme, dan pendekatan konflik.
Metode yang
dipergunakan bahwa agama sebagai produk perubahan sosial adalah metode Grounded research dengan ciri-cirinya
sebagai berikut : adanya tujuan, data yang sistematis dan analisis data yang
komparatif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, 1987, Sejarah
dan Masyarakat, Jakarta : Balai Pustaka
Abu Al-Hasan Ali Al-Bashri Al-Mawardi, 2002, Etika Agama dan
Dunia-
Memahami
Hakekat Beragama dan Berinteraksi di Dunia, Bandung :
Pustaka Setia
Abuddin Nata, 1993, Studi Islam Komprehansif, Jakarta : Fajar Inter Pratama
------------------, 2012Metodologi Studi Islam,
Jakarta : PT.Raja Grafindo
Al-Faruqi, Ismail, R.,1991, Islam dan perspektif sosiologik,
Surabaya : CV. Amarpress
Al-Ghazali, Imam, 1994, Menjalin Persaudaraan,
Bandung : Al-Bayan
Al-Qur’an al-Karim, Surat Ar-Ra’du [13] : 11
Amin, Ahmad, 1993, Etika, Jakarta : Karya
Unipress
Amin, Rusli, M., 2006, Kiat-kiat
Sukses Sebuah Pendekatan Qur’ani Untuk
membangun Kualitas
Diri & Kehidupan, Jakarta : Al-Mawardi Prima
Anas,
Fathul, 2010, The Miracle of Quranic Motivation, Yogyakarta : Citra R
Anwar,Dessy, 2001, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya
: Karya Abdi
Tama
Azizy,
A.H.A, Qodri, dkk, 2002, Islam dan Lingkungan Hidup, Jakarta : Dirjen
binbaga
Berger,
Peter, L dan Thomas Lucmann, 1990, Tafsir Sosial atas Kenyataan,
Jakarta : LP3S
Bert. F, Hoselitz, 1988, ed, Panduan Dasar-dasar
Ilmu Sosial, Jakarta : Rajawali
Boisard, A.,
Marcel, 1991979, terj., Humanisme
dalam Islam, 1980, Jakarta : Inter
Masa
Davit, R., Fred., 2012, Strategic Management, Jakartam
Departemen
Agama RI, 2002, Islam dan Lingkungan Hidup, Jakarta :
Dirjenbinbaga
Depdiknas, 2004, Indikator Keberhasilan,
Jakarta : dirjendepdiknas
Davit, R., Fred., 2012, Strategic
Management, Jakartam pearson educatiom
Edwin B.
Flippo, 1992, Manajemen Personalia, terj.,
Jakarta : Erlangga
Gazalba, Sidi, 1978, Asas Kebudayaan Islam,
Jakarta : Bulan Bintang
Halim
Mahmud, Ali Abdul, dkk., 2001, Tradisi Baru Penelitian Agama islam,
Bandung : Yayasan
Nuansa Cendekia
A. Luthfi Hamidi, Penguasa dan Kekuasaan : Pemikiran Politik a-
Mawardi, 1996,
Yogyakarta : Tesis
IAIN Sunan Kalijaga
Hamdy, Iqbal, Menggapai Hidup Bermakna, 2006, Jakarta : Republika
Hasan Sadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia,
Jakarta : Bina Aksara, 1983
Hasil Keputusan MUNAS NU tanggal 17-20 Nopember 1997/16-20 Rajab,
Bahtsul Masail,
di Ponpes Qomarul Huda Bagu Pringgarata
Lombok
Tengah NTB.
Hughes Ginnett Curphy, 2012, Leadership : Enhancing The Lesson
of Experience,
terj., Jakarta :
Salemba Humanika
Imarah,
Muhammad, 1999, Islam dan Keamanan Sosial, Jakarta : Gema insani
Iqbal Hamdy, Menggapai Hidup Yang Bermakna,
Jakarta : Republika, 2006
Made Pidarta, 2011, Managemen Pendidikan Indonesia,
Jakarta : Reneka Cipta
Michael H.,
Hart, 1978, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah
Dunia, Jakarta : Dunia Pustaka
M. Newman dan B. Berkowitz, 1091, How to Be Your best Friend, New York :
Random House
Mulyasa, 2009,
Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung : Rosda
Karya
Mursal, A. H.M Tahir, 1991, Kamus
Ilmu Jiwa Agama dan Pendidikan, Bandung
: PT. Al-Ma’arif
Mudzhar, Atho, 2011, Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
Qoyim, Ibnu, Ismali, Kiai, 1`98, Penghulu Jawa, Jakarta : Gema Insani
Press, 1997
Quraish Shihab, 1996, Wawasan Al_Qur’an,
Bandung : Mizan
Qutb, Sayid, 1981, Beberapa
Studi Tentang Islam, Jakarta : Media Dakwah
Rahman, Nazarudin, 2010, Spiritual Building,
Yogyakarta : Felicha
Sa’id, Jaudat, 1993, Meraih
Masa Depan Upaya memperbaiki Diri, Bandung
:
Pustaka Hidayah,
terj.
Soerjono, Soehanto, 1981, Sosiologi Suatu Pengantar,
Jakarta : CV. Rajawali
Syaefuddin sa’ud, Udin, dkk., 2005, Perencanaan Pendidikan Suatu
Pendekatan
Komprehensif,
Bandung : Remaja Rosda Karya
Syukur,
Suparman, 2004, Etika Religius, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Wahjosumidjo,
2011, Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta : Karisma Putra
Offset
Winardi, J., 2010, Manajemen Perubahan, Jakarta : Kencana
Prenada M. Group
www.Zulfahmi.co.id, Agama Sebagai Peubah Sosial,didownload tanggal
10/1/13
Yunus,
Rosman, dkk., Teori Darwin dalam Pandangan Sains & Islam, Jakarta :
Prestasi, 2006
Zubaidi, 2011,
Desain Pendidikan Karakter, Jakarta : Kencana Prenada Media
[1] Dessy
Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Karya Abdi Tama, 2001,
hal. 18
[2] A.
Mursal H.M Tahir, Kamus Ilmu Jiwa Agama dan Pendidikan, Bandung : PT.
Al-Ma’arif, 1991, hal.112
[3] Dessy
Anwar, op.cit., hal.331
[4] J.
Winardi, Manajemen Perubahan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010, Hal. 1
[5] Hughes
Ginnett Curphy, Leadership : Enhancing The Lesson of Experience, terj.,
Jakarta : Salemba Humanika, 2012, hal. 511
[6] Al-Qur’an al-Karim, Surat Ar-Ra’du
[13] : 11
[7] M. Rusli
Amin, op.cit., hal.104
[8]
Departemen Agama RI, Islam dan Lingkungan Hidup, Jakarta :
Dirjenbinbaga, 2002, hal.9
[9] Rosman
Yunus, dkk., Teori Darwin dalam Pandangan Sains & Islam, Jakarta :
Prestasi, 2006, hal.20
[10] Ibnu
Qoyim Ismali, Kiai Penghulu Jawa, Jakarta : Gema Insani Press, 1997
[11] Fathul Anas, The Miracle of
Quranic Motivation, Jakarta : Citra Risalah, 2010, hal.26
[12] Abuddin
Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta : Fajar Inter Pratama Offset,
2011, hlm.448-449.
[13] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,
(Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, cet,19, 2012) hlm.39
[14] Suparman
Syukur, Etika Religius, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hal. 90
[15] Sidi
Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1978, hal.192
[16] Iqbal
Hamdy, Menggapai Hidup Bermakna, Jakarta : Republika, 2006, Hal.134
[17] Hasan Sadily, Sosiologi untuk masyarakat
Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1983), cet.IX, hlm.1
[18] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu
Pengantar, (Jakarta : CV.Rajawali, 1982) cet.1, hlm. 18 dan 53
[19] A.
Luthfi Hamidi, Penguasa dan Kekuasaan : Pemikiran Politik a- Mawardi,
Yogyakarta : Tesis IAIN Sunan Kalijaga, 1996, hal 14
[20] Abu
Al-Hasan Ali Al-Bashri Al-Mawardi, Etika Agama dan Dunia-Memahami
Hakekat Beragama dan Berinteraksi di Dunia, Bandung : Pustaka Setia, 2002, hal.87
[21] M.
Rusli Amin, Kiat-kiat Sukses Sebuah Pendekatan Qur’ani Untuk membangun
Kualitas Diri & Kehidupan, Jakarta : Al-Mawardi Prima, 2006,
hal.vii
[22] www.Zulfahmi.co.id,
Agama Sebagai Peubah Sosial,didownload tanggal 10/1/2013
[23] Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling
Berpengaruh dalam Sejarah (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978).
[24]
Muhammad Imarah, Islam dan Keamanan Sosial, Jakarta : Gema insani, 1999,
hal.39
[25] Berger,
Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah
tentangSosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari bukuasli The
SocialConstruction of Realityoleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES.
[26] Ibid.
hlm. 447-448
[27] Mulyasa, Standar Kompetensi dan
Sertifikasi Guru, Bandung : Rosda Karya, 2009, hlm.186
[28] H.A Qodri A. Azizy, dkk, Islam dan
Lingkungan Hidup, Jakarta :Dirjen Binbaga, 2002, hlm.8
[29] Ahmad Amin, Etika, Jakarta : Karya
Unipress, 1993, hlm.155
[30] Bert.F.
Hoselitz, ed, Panduan Dasar Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta : Rajawali, 1988,
hlm.16
[32] Nazarudin Rahman, Spiritual Building,
Yogyakarta : Felicha, 2010, hlm. 10
[33] Iqbal Hamdy, Menggapai Hidup Bermakna,
(Jakarta : Republika), 2006, hlm.150
[34] J.
Winardi, Manajemen Prilaku Manusia, Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2004,
Hal.73
[35] Made Pidarta, Managemen Pendidikan
Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2011, edisi revisi, hlm.196
[36] Imam
Al-Ghazali, Menjalin Persaudaraan, Bandung : Al-Bayan, 1994, terj.
Hal.17
[37] Fathul
Anas, The Miracle of Qur’anic Motivation, Yogyakarta : Citra Risalah,
2010, hlm.25
[38] Edwin
B. Flippo, Manajemen Personalia, Jakarta : 1992, ter., hal.93
[39] Abuddin
Nata, Metodologi Studi Agama, hal. 393-394
[40] Ismail
R. Al-Faruqi, Islam dan perspektif sosiologik, Surabaya : CV. Amarpress,
terj. 1991, hal. 105
[42]
Departemen Pendidikan Nasional, Indikator Keberhasilan,
dirjendikdasmen, Jakarta, 2004, hlm.3
[43] Jaudat
Sa’id, Meraih Masa Depan Upaya
memperbaiki Diri, Bandung : Pustaka Hidayah, terj.,hal. 94
[44] Fred R.
Davit, Strategic Management, Jakartam
pearson edycatiom, 2012Hal.127
[45] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter,
Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011, hlm.289
[46] Marcel
A. Boisard, Humanisme dalam Islam, 1980, Jakarta : Inter Masa, Bulan
Bintang, hal.156
[47] Quraish
Shihab, Wawasan A-Qur’an, Bandung : Mizan, 1996, cet. III hlm.322
[49] Abuddin
Nata, hal.28
[50] Ibid.,
hal. 35
[51] Hasil
Keputusan MUNAS NU tanggal 17-20 Nopember 1997/16-20 Rajab, Bahtsul Masail,
di Ponpes Qomarul Huda Bagu Pringgarata
Lombok Tengah NTB.
[52] Ibid.,
hal. 38
[53] Ibid.
hal.42
[54] Taufik
Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, Jakarta : Balai Pustaka Firdaus, 1987,
hal. 105
[55] Abuddin
Nata, hal.
[56] Abuddin
Nata, hal.50
[57] Udin
syaefuddin sa’ud, dkk., Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif,
Bandung : Remaja Rosda Karya, 2005, Hal.234
[58] Ibid. hlm. 40-41
[59] Sayid
Qutb, Beberapa Studi Tentang Islam, Jakarta : Media Dakwah, 1981, hal.66
[61] Ali
Abdul Halim Mahmud, dkk., Tradisi Baru Penelitian Agama islam, Bandung :
Yayasan Nuansa Cendekia, 2001, hal. 109-110
[62] Atho
Mudzhar, Pendekatan studi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011)
cetakan ke.VIII, hlm.47
[63] Ibid. hlm. 47-52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar