“ BELAJAR ILMU MANTIQ “
(by Rasiman)
A. Definisi Ilmu Mantik
Menurut lughoh, manthiq
berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata nathaqa - yanthiqu –
nuthqan/manthiqan (نطق - ينطق – نطقا ومنطقا ), yang merupakan mashdar mimiy dari nathaqa yanthiqu, yang artinya
berkata, bertutur atau berbicara.[1] Mantiq mempunyai kesamaan arti dengan logika,
yang dalam bahasa yunani dari kata sifat logike yang ada relevansinya
dengan kata benda logos, artinya pikiran atau kata sebagai pernyataan
dari pikiran. Ini menunjukkan bahwa ada kaitan yang erat antara perkataan
dengan pikiran.[2] Oleh karena itu, mantiq atau logika berarti berkata atau berbicara
dengan menggunakan pikiran.
Kata nathaqa terdapat dalam al-Qur’an, salah satunya dalam bentuk
kata kerja untuk masa sedang dan akan datang (fi’il mudhari’), yaitu :
وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي
يوحى (النجم ۳)
Artinya: Dan Muhammad
itu tidaklah menuturkan (al-Qur’an) karena keinginan dirinya, melainkan yang ia
sampaikan itu adalah wahyu yang diwahyukan (Allah kepadanya). (QS. An.Najm : 3
)
Menurut terminologi, mantik atau logika
berarti ucapan yang benar atau tutur kata yang mengandung kebenaran. Kata
logika sering terpakai atau terdengar dalam keseharian. Pengertian secara singkat ialah sesuatu itu masuk akal atau tepat menurut
akal. Jika sesuatu tindakan atau yang terjadi itu sesuai menurut akal atau
masuk akal maka dinamakan dengan logis. Seperti, pendapat dan tindakannya itu
logis. Atau sebaliknya, pendapat dan tindakannya itu tidak logis. [3]
Bila seseorang memperoleh keuntungan besar dalam suatu peristiwa, seperti
orang-orang yang banyak menabung emas pada saat harga emas merangkak naik
menurut semestinya mereka akan gembira atau senang. Sebab emas yang telah
mereka beli itu harganya bertambah mahal dibanding pada waktu mereka
membelinya. Artinya mereka memperoleh kelebihan harga (keuntungan) dari
peristiwa itu. Bukan sebaliknya, menjadi sedih. Sedangkan orang-orang yang
dirugikan oleh kondisi itu, karena menabung uang di celengan yang semula akan
dipakai untuk membeli emas tetapi belum sempat membelinya, semestinya merasa
rugi. Sebab jumlah gram emas yang akan diperoleh akan berkurang. Jika yang
terjadi adalah sebaliknya yakni para penabung emas menjadi sedih sedangkan si
penabung uang di celengan menjadi gembira dengan naiknya harga emas, maka
kenyataan mereka itu tidak logis. Contoh lainnya, bila polisi menangkap seorang
pelaku perampokan, yang tengah beraksi, lalu setelah perampok itu dibawa ke
kantor polisi ternyata ia dibebaskan oleh polisi tanpa diproses terlebih
dahulu. Atau jika para koruptor dibebaskan dari hukuman oleh majelis hakim di
pengadilan padahal bukti-bukti atas kejahatannya terlihat kuat. Maka tindakan
polisi itu atau hakim di pengadilan tersebut dikatakan tidak logis. Orang yang
menginginkan kebenaran tentu akan terpancing untuk menganalisa kenapa sebuah
peristiwa itu terjadi secara tidak logis. Ada apa sebenarnya. Apa sebenarnya
yang disembunyikan? Demikianlah secara sederhana kata logis sering dipergunakan
untuk pengertian “masuk akal” atau “dapat diterima akal sehat” (al-ma`qul
`alaih).
Adapun pengertian logika menurut istilah ialah suatu metoda atau
teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran.[4]
Untuk memahami apa sebenarnya logika itu maka harus dikenal terlebih dahulu
apakah yang dimaksud dengan penalaran itu sendiri? Penalaran, menalar atau
nalar berarti menganalisa, atau sebuah bentuk upaya berpikir atas sesuatu.
Dalam bahasa Arab nalar itu disebut dengan kata fakara (berpikir),
yakni upaya untuk mengetahui dan memahami sesuatu menurut apa adanya. Sedangkan
ilmu logika disebut dengan ilmu manthiq, yaitu suatu ilmu tentang
kaidah-kaidah yang membimbing manusia dalam berfikir agar terhindar dari
kekeliruan dan tidak salah dalam menarik kesimpulan.
Bentuk berpikir mulai dari yang sederhana ialah adanya pengertian, adanya
pernyataan dan adanya penalaran. Hakekat penalaran ialah suatu proses berpikir
dalam menarik kesimpulan pengetahuan. Penalaran itu adalah aktivitas berpikir
yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran (proses
menemukan kebenaran). Produk dari penalaran ialah adanya pengetahuan yang
berkaitan dengan aktivitas berpikir, bukan aktivitas emosi. Sebagai aktivitas
berpikir, penalaran terbagi kepada dua ciri. Pertama adanya pola berpikir yang
disebut logika atau proses berpikir logis. Kedua, adanya sifat analitik dari
proses berpikir manusia. Berpikir adalah suatu aktivitas untuk menemukan
pengetahuan yang benar atau kebenaran. Namun tidak semua aktivitas berpikir
manusia adalah bersifat logis atau analitis. [6]
B. Sejarah Singkat Ilmu Mantik
Ilmu Mantik yang merupakan terjemahan dari Ilmu Logika adalah hasil karya para
filosof Yunani sejak abad ke-4 SM. Kaum Sofis, Socrates dan Plato adalah
perintis lahirnya Logika. Sedangkan Logika lahir sebagai suatu ilmu adalah atas
jasa Aristoteles, Theoprostus dan kaum Stoa.[7]
Aristoteles (384-322 SM) sebagai peletak dasar Ilmu Logika, meninggalkan enam
buah buku yang oleh murid-muridnya disebut Organon. Buku tersebut terdiri dari
:
1)
Categoriae (mengenai pengertian-pengertian)
2)
De Interpretiae (mengenai keputusan-keputusan)
3)
Analitica priora (tentang silogisme atau menarik kesimpulan)
4)
Analitica posteriora (tentang pembuktian)
5)
Topika (mengenai berdebat)
6)
De Sophisticis Elenchis (tentang kesalahan-kesalahan berpikir).
Buku-buku inilah yang dijadikan acuan dasar Logika Tradisional. Theoprostus
mengembangkan Logika Aristoteles ini, sedangkan kaum Stoa mengajukan
bentuk-bentuk berpikir yang sistematis.[8]
Pada abad ke-8 Masehi, ketika agama Islam telah tersebar di Jazirah Arab
dan dipeluk secara meluas sampai ke timur dan barat, perkembangan ilmu
pengetahuan pun mengalami kemajuan yang pesat. Puncaknya terjadi pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Harun al
Rasyid dan Al-Makmun. Pada masa itu terjadi penerjemahan ilmu-ilmu filsafat
Yunani ke dalam bahasa Arab, termasuk Ilmu Logika. Ilmu ini sangat menarik
perhatian kaum muslimin pada saat itu sehingga dipelajari secara meluas. Di antara mereka kemudian menulis buku Ilmu Mantik dan mengembangkannya.
Dalam berbagai segi, mereka mengislamisasikan ilmu logika melalui contoh-contoh
yang mereka munculkan. Ilmu Mantik tidak saja digunakan untuk mempertajam dan mempercepat daya
pikir dalam menarik kesimpulan yang benar, tetapi juga membantu mengokohkan
hujjah-hujjah agama dalam persoalan akidah.[9]
Di antara ulama dan cendekiawan muslim yang mendalami Ilmu Mantik dan
menulis buku tentang mantik adalah Abdullah ibn al-Muqaffa’, Ya’qub ibn
Ishaq al-Kindi (185 H-260 H/801 M-873 M), Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi (251
H-313 H/865 M- 925 M), Abu Nasr al-Farabi (258 H-339 H/870 M-950 M), Ibnu Sina
(370 -428 H/980-1037 M), Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198
M), al-Qurthubi dan lain-lain. [10] Al-Farabi kemudian dikenal sebagai Guru Kedua
Logika setelah Aristoteles. Karya-karya Al-Farabi dibagi menjadi dua,
mengenai logika dan filsafat. Karya-karya tentang Logika menyangkut
bagian-bagian berbeda dari Organon-nya Aristoteles, baik yang berbentuk
komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah.[11]
Selain
Al-Farabi, juga dikenal Ibnu Sina sebagai Guru ke tiga Logika. Buku Logika Ibnu
Sinaditerjemahkan ke dalam bahasa Latin di penghujung abad ke-12. Yang lainnya
adalah karya logika Ibn Rusyd di awal abad ke-14. Terjemahan inilah yang
disebarkan di Paris (Perancis) dan Oxford (Inggris).[12]
Pada masa
kemunduran ilmu pengetahuan di dunia Islam, timbullah berbagai kritikan
terhadap Ilmu Mantiq/ Logika karena dianggap logika sebagai penyebab
lahirnya paham-paham zindiq (atheis) karena terlalu memuja akal fikiran di
dalam mencari kebenaran. Sebagian ulama kemudian mengharamkan mempelajari ilmu
logika, seperti Imam an-Nawawi (1233-1277 M), Ibnu Shilah (1181-1243 M), Ibnu
Taimiyah (1263-1328 M) dan Sa’adduddin at-Taftazani (1322-1389 M).[13]
Pengaruh fatwa
tersebut sangat kuat di kalangan umat Islam, sehinnga kegiatan dan perkembangan
alam fikiran dunia Islam mengalami kemacetan dan kebekuan. Sementara dunia
Barat sedang gembira menyambut zaman Kebangunan (Renaissance) di Eropa (abad
13-14 M).
Menjelang
penghujung abad ke-19 bangkitlah gerakan pembaharuan dunia Islam yang
dipelopori Jamaluddin al-Afghani,Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Sejalan dengan
itu perhatian penuh terhadap logika muncul kembali di Mesir.
Di Indonesia,
Ilmu Mantik pada mulanya dipelajari secara terbatas di perguruan-perguruan
agama dan pesantren. Ilmu Mantik sampai ke Indonesia bersama ilmu-ilmu agama
lainnya yang dibawa oleh pelajar-pelajar muslim yang belajar di Timur Tengah.
Ilmu logika
baru dipelajari lebih luas setelah diperkenalkannya buku Madilog karangan Tan
Malaka yang terbit tahun 1951. Pada tahun 1954 Ilmu Mantiq telah dipelajari
secara lebih luas dan dimasukkan ke dalam kurikulum perguruan tinggi.[14]
C. Areal Pembahasan Ilmu Mantik
Karena Ilmu Mantik merupakan ilmu tentang
kaidah-kaidah/ hukum-hukum berfikir, maka areal pembahasannya
adalah fikiran manusia dalam mencari dalil guna memproduksi science. Untuk mencari
dalil tersebut disusunlah kata-kata
dengan istilah mantiqnya qadhiyah. Oleh
karena itu pembahasan ilmu mantik dimulai dari mengetahui lafaz-lafaz yang akan
menyusun qadhiyah-qadhiyah dan kemudian barulah dapat ditarik kesimpulan
sebagai dalil.
Dengan demikian lapangan pembahasan ilmu mantik itu tersimpul dalam 3
pembahasan, yaitu :
- Pembahasan Lafaz (kata)
- Pembahasan Qadhiyah (proposisi)
- Pembahasan Istidlal (silogisme)
D. Kegunaan Ilmu Mantik
Dasar kegunaan adanya Ilmu Mantik adalah untuk membimbing manusia ke arah berfikir benar,
logis dan sistematis mempunyai manfaat . Di antaranya dapat dikemukakan sebagai
berikut :
- Membuat daya fikir menjadi lebih tajam dan berkembang melalui latihan-latihan berfikir. Oleh karenanya akan mampu menganalisis serta mengungkap permasalahan secara runtun dan ilmiah.
- Membuat seseorang berfikir tepat sehingga mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu tepat pada waktunya (berfikir efektif dan efisien).
- Membuat seseorang mampu membedakan alur pikr yang benar dan alur pikir yang keliru, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang benar dan terhindar dari menarik kesimpulan yang keliru.
E. Klasifikasi Ilmu
Mantik
Ilmu
Mantik/Logika dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa pembagian penting yang ditinjau menurut
beberapa segi, yaitu segi kualitasnya, dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu :
1.
Mantiq
al-Fitri (Logika Naturalis), yaitu kecakapan berlogika
berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia. Akal manusia yang normal dapat
bekerja sesuai hukum-hukum logika dasar. Namun kemampuan logika naturalis
setiap orang berbeda-beda tergantung dari tingkat pengetahuannya. Untuk
menyelesaikan masalah-masalah kehidupannya manusia dapat berpikir sesuai dengan
tingkat pengetahuannya. Tapi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang rumit,
yang tidak bisa diatasi oleh mantiq al-fitri, manusia menyusun
patokan-patokan dalam berpikir.
2.
Mantiq
as-Suri (Logika Artifisialis/Logika Ilmiah), yaitu
logika yang disusun berdasarkan patokan-patokan, rumus-rumus berpikir yang
bertugas membantu kemampuan logika alamiah manusia, agar lebih tajam, halus dan
dapat berfikir lebih teliti, efisien dan mudah[15]. Mantiq inilah yang menjadi
pembahasan kita.
Dilihat dari
metodenya, dapat dibedakan menjadi 2 pula, yaitu:
1.
Mantiq
al-Qadim (Logika Tradisional), yaitu : logika yang
disusun berdasarkan metode logika Aristoteles, yang sudah ada sejak abad ke-4
SM.
2.
Mantiq
al-Hadits (Logika Modern), yaitu logika yang ditemukan
kemudian yang berbeda dari metode logika Aristoteles,yang dimulai sejak
Raymundus Lullus menemukan metode baru logika yang disebut Ars Magna pada abad
XIII M .[16]
Dilihat dari
obyeknya, dikenal 2 pembagian, yaitu :
1.
Mantiq
as-Suwari (Logika formal), yaitu corak logika yang
menggunakan cara berpikir deduktif (dari kebenaran umum menuju permasalahan
khusus). Logika formal mempelajari dasar-dasar persesuaian dalam pemikiran
dengan menggunakan hukum-hukum, rumus-rumus dan patokan berfikir benar.
2.
Mantiq
al-maddi (Logika material), yaitu corak logika yang
menggunakan cara berfikir induktif (dari peristiwa-peristiwa khusus
ditarik kesimpulan umum). Logika material mempelajari dasar-dasar persesuaian
pikiran dengan kenyataan. Ia menilai hasil kerja logika formal dan menguji
benar tidaknya dengan kenyataan empiris.[17]
Cabang logika
formal disebut juga dengan Logika Minor, dan logika material disebut juga
dengan Logika Mayor.
DAFTAR PUSTAKA
Baihaqi. A.K, Ilmu
Mantik, Teknik Dasar Berpikir Logik, (Tk : Darul Ulum Press, 1998),
Cet.
Ke-2, hal. 4
Burhanuddin Salam, Logika Formal
(Filsafat Berpikir), (Jakarta: Bina Aksara, 1988),
hal.
4-5
Jamaluddin
Kafie, Logika, Form Berpikir Logis, (Surabaya : Karya Anda, tt), hal.10
Muhammad Nur al-Ibrahimi, Ilmu al-Mantiq,
(Jakarta :Pustaka Azzam, tt), hal. 6
Mundiri, Logika, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2001), Cet. Ke-6, hal.2
Partap Sing Mehra, Pengantar Logika
Tradisional, Cet. ke-5, (Bandung : Binacipta,
1996),
hal.1
R.G. Soekadidjo, Logika Dasar, Tradisional,
Simbolik dan Induktif,
Jakarta:GramediaPustaka
Utama, cet keVIII . 2001, hal. 3-6
Warson Munawwir, Ahmad, Kamus al-Munawwir , (Surabaya ; Pustaka Progressif,
1997),
Cet.
Ke-19, hal. 1432