Mengenai Saya

Selasa, 29 Januari 2013

Konsep Ke-Tuhan-an, alam dan manusia menurut al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina





“ KONSEP KE-TUHAN-AN, ALAM  DAN MANUSIA
MENURUT AL-KINDI, AL-FARABI DAN IBNU SINA “.
(by Rasiman)


I.AL-KINDI
            Tuhan, menurut Al-Kindi adalah Pencipta, bukan penggerak, oleh karena itu Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada di alam tetapi  DIA adalah Pencipta alam semesta. Pengetahuan Tuhan ( Divine Science ) sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an, adalah pengetahuan yang langsung diperoleh oleh Nabi dari TUHAN dengan dasar pengetahuannya adalah berupa keyakinan. Kebenaran yang dibawa oleh wahyu tidak bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh filsafat.
Al-Kindi dalam membuktikan adanya Tuhan, ia memajukan tiga argument yaitu:
1)         Baharunya alam. Dalam hal ini al-Kindi mengemukkan pertanyaan secara filosofis; apakah mungkin sesuatu menjadi penyebab bagi wujud dirinya? Dengan tegas al-Kindi menjawab; tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan waktu, setiap yang mempunyai permulaan akan ada sesudahnya, justru itu setiap benda atau alam pasti ada yang mewujudkannya, mustahil benda itu sendiri yang menjadi penyebabnya. Maka yang mewujudkannya itulah Tuhan.
2)         Keanekaragaman dalam wujud. Menurut al-Kindi dalam alam empiris ini tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa ada keseragaman atau sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman dan keragaman ini bukan sekedar kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan dan yang merancangnya. Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri.kalau penyebabnya alam itu sendiri, maka akan terjadi rangkaian yang tidak akan habis-habisnya. Sementara sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Karena harus ada ‘illat atau syarat yang berada di luar alam itu sendiri. Itulah Tuhan Allah SWT.
3)         Kerapian alam. menurut al-Kindi bahwa alam empiris ini tidak mungkin terkendali dan teratur tanpa ada yang mengatur. Pengendali dan pengatur tentu berada di luar alam. Zat itu tidak terlihat pada ala mini. Itulah adanya Tuhan (Sirajuddin Zar 2009, hal. 53-54).

Alam, menurut Al-Kindi adalah bahwa alam terjadi dengan cara Emanasi atau pancaran dari Yang Maha Satu. Munculnya alam adalah karena pancaran dari Wujud Allah.   
            Manusia, menurut al-Kindi, bahwa jiwa adalah intisari dari manusia. Jiwa manusia terbagi mempunyai tiga(3) daya, yaitu : (1) daya bernafsu, (2) daya pemarah, (3) dayaberfikir.Oleh karena itu, di dalamnya ada ruh. Ruh adalah urusan Tuhan bukan urusan manusia. Ruh tersusun lengkap, dan mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansinya berasal dari Tuhan, hubungannya dengan Tuhan adalah seperti hubungan antara cahaya dengan matahari. Ruh adalah lain dari badan, dia mempunyai wujud sendiri. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan antara ruh dengan badan ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu (carnal desire) dan adanya sifat pemarah. Ruh menentang keinginan hawa nafsu dan marah. Dengan ruh manusia dapat memperoleh pengetahuan sebenarnya, yakni pengetahuan panca indera dan pengetahuan akal. Ruh bersifat kekal dan tidak hancur, karena substansunya adalah substansi Tuhan. Hanya ruh yang suci yang dapat pergi ke alam kebenaran itu, kebenaran yang dapat sampai kepada akal yang akan mengantarkannya ke alam cahaya Tuhan, dan di situlah dapat melihat TUHAN. ( Harun Nasution, hal.14-19)
           
II.AL-FARABI
            Tuhan, menurut Al-Farabi adalah bahwa Tuhan adalah wujud pertama, Maha Satu, tidak berobah, jauh dari materi dan jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajad pada apapun.           
            Alam, menurut Al-Farabi bahwa alam terjadi dengan cara emanasi, yaitu pancaran dari sifat-sifat Tuan yang Maha Satu.
            Manusia, menurut Al-Farabi bahwa manusia itu mempunyai  jiwa yang memiliki : (1) gerak atau motion, sehingga dengannya manusia itu adalah membutuhkan makan, membutuhkan pemeliharaan, membutuhkan berkembang, (2) mengetahui, yakni manusia dapat merasa, dan berimaginasi. (3) berfikir, bahwa manusia memiliki akal praktis dan akal teoritis. Daya fikir manusia itu mempunyai tiga(3) tingkatan, yaitu :
1.      Akal potensial ( material intelect) adalah potensi akal dalam mengenali arti dan bentuk-bentuk materi, yakni potensi akal untuk menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang  yang dapat ditangkap oleh panca indera.
2.      Akal Aktuil (actual intelect) adalah kemampuan akal dengan dapat melepaskan dan menangkap  arti-arti dan konsep-konsep dari materinya, dimana arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya.
3.      Akal Mustafad (acquired intellect), adalah akal dimana telah mempunyai kesanggupan  untuk mengadakan komunikasi atau menangkap inspirasi dari luar diri manusia berupa akal kesepuluh, yang diberi nama akal aktif (active intellect) yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak zaman azali. Hubungan akal manusia dengan akal aktif adalah sama dengan hubungan antara mata dengan matahari. Mata melihat karena ia menerima cahaya dari matahari, akal manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk itu karena mendapat cahaya dari akal aktif.

III. IBNU SINA
            Tuhan, menurut Ibnu Sina adalah sebagai wujud murni (pure being) merupakan Asal dan Pencipta segala sesuatu. Maka Tuhan lebih awal dari alam dan bersifat transenden. Wujud Tuhan berdiri sendiri dalam dzat-Nya yang akan selalu eksis. Pandangannya tentang wujud tuhan, merupakan wujud niscaya (wajib al-wujud), atau tuhan yang tidak bisa ”tidak-ada”, karena esensi dan wujud-Nya adalah hal yang sama. Wujud adalah esensi-Nya, dan Esensi adalah wujud-Nya yang memiliki self-subsistent. Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud, yaitu jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil). (http://muminatus.blog.com/filsafat-konsep-tuhan-ibnu-sina/
            Alam, Menurut Ibnu Sina bahwa keberadaan alam ini berasal dari “sesuatu” yaitu Fa’il. Fa’il itu adalah Tuhan sebagai “penggerak Alam”. Sebagai penggerak, Dia tidak bergerak, tetapi menggerakkan alam melalui zhauq (hasrat atau kerinduan), bukan melalui perbuatan sebenarnya. Alamlah yang rindu kepada Tuhan, karenanya ia lalu bergerak.
            Manusia, menurut Ibn Sina manusia pada tahap fenomenal terdiri dari jasad dan nafs. Korelasi antara nafs dan jasad bersifat interaksionis, dalam arti masing-masing saling memerlukan. Hanya saja jika nafs telah menjadi sedemikian kuat, ia dapat mempengaruhi jasad dengan sangat luar biasa. Sementara itu dalam tahap transendental, nafs dengan segala potensinya tetap kekal abadi biarpun jasad mengalami kehancuran ketika tahap ini dimulai. Manusia menjadi suatu entitas yang tak terbagi yang tidak lagi memerlukan jasad materi dalam tahap transendentalnya.
Menurut Ibn Sina antara jasad dan nafs memiliki korelasi sedemikian kuat, saling bantu membantu tanpa henti-hentinya. Nafs tidak akan pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya jasad. Begitu tahap ini dicapai ia menjadi sumber hidup, pengatur, dan potensi jasad. Jika bukan karena jasad, maka nafs tidak akan ada, karena tersedianya jasad untuk menerima, merupakan kemestian baginya wujudnya nafs, dan spesifiknya jasad terhadap nafs merupakan prinsip entitas dan independennya nafs. Tidak mungkin terdapat nafs kecuali jika telah terdapat materi fisik yang tersedia untuknya. Sejak pertumbuhannya, nafs memerlukan, tergantung, dan diciptakan karena (tersedianya) jasad.

               



               
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam islam, Jakarta:Bulan Bintang, cetakan ke-7, 1990
Nasution, Hasyimsyah, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. III, 2002.
http://www.gudangmateri.com/2009/04/biografi-al-farabi.html
http://waktu-sabarno.blogspot.com/2011/02/sifat-tuhan-menurut-al-farabi.html
http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm
http://www.inpasonline.com/index.php
http://staff.undip.ac.id/sastra/fauzan/2012/01/15/
http://fiqihzaim.blogspot.com/2011/06/filsafat-manusia.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila