FILSAFAT KEBENARAN
( oleh : Rasiman.bakrasyid@ymail.com )
A.Pendahuluan
Bagi
manusia, kebenaran merupakan hal penting yang menjadi harapan bahkan tujuan
dalam hidup. Hal ini disebabkan karena melalui kebenaran akan muncul suatu kepuasan dan spirit
jiwa manusia di dalam mengarungi bahtera kehidupan di alam jagad raya ini.
Sejalan dengan itu, para ilmuwan telah
memperbincangkan tentang pentingnya arti sebuah kebenaran. Kebenaran yang
dimaksud adalah kebenaran yang barasal dari akal manusia atau pun kebenaran yang berasal dari
wahyu.
Atas dasar diatas, maka dapat penulis
kemukakan problematika di dalam masalah
tentang
kebenaran berdasarkan Epistemologi , yaitu :
1.
Bagaimanakah cara menemukan kebenaran itu ?
B.Pembahasan
Kebenaran itu diidentikan dengan sistem nilai dan
pandangan hidup. Disebut sistem nilai, karena dianggap sebagai sesuatu yang benar,
hingga perlu dipertahankan. Bahkan pada taraf tertentu, orang lebih memilih
mengorbankan “ nyawa “ demi mempertahankan sebuah kebenaran dalam usaha untuk
mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan yang nyata ( Jalaluddin, 2011 :
8).
Kebenaran
merupakan salah satu unsur dari fitrah manusia. Atas dasar itu, maka manusia
cenderung untuk selalu mencintai kebenaran ( M. Quraish Shihab, 1996 : 391).
Fitrah adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan
jasmani dan akal, serta ruhnya ( M. Quraish Shihab, 1996 : 285).
Menurut
Yakop Sumardjo, 2000 : 3 bahwa Kebenaran adalah sesuatu yang dicintai oleh
manusia. Mencintai kebenaran mendorong manusia untuk selalu dan berupaya
mencarinya. Kebenaran bukanlah sesuatu yang ada dalam kesadaran kita sejak
lahir. Kesadaran terhadap kebenaran harus dicari oleh setiap manusia, sampai
setiap orang menyatakan setuju terhadap apa yang ditemuinya.
Menurut
kamus lengkap Bahasa Indonesia ( 2001 : 86 ), bahwa kebenaran itu berasal dari
kata “ benar “, yang artinya betul, tidak salah, lurus. Randall &
Bucher dalam Mundiri, 2001: 132 mengatakan bahwa benar adalah persesuaian
antara pikiran dan kenyataan, sedangkan menurut Jujun S. (1998) bahwa kebenaran
adalah pernyataan tanpa ragu. Inu
Kencana Syafi’ie yang mengutip pendapat Brandley (2010 : 30) mengatakan kebenaran adalah kenyataan. Abdul Qadir
Djaelani (1993:55) bahwa kebenaran itu persesuaian antara pernyataan dengan
fakta-fakta itu sendiri, atau pertimbangan (judgment) dan situasi yang
dipertimbangkan itu berusaha melukiskannya, Idzan Fautanu (2012:98) bahwa
kebenaran adalah kesesuaian dengan fakta. The Liang Gie, yang mengutip pendapat
Thomas Aquinas, bahwa kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran teologis
yakni kebenaran yang diterima kepercayaan melalui wahyu yang tidak dapat
ditentang oleh kebenaran filsafati yang dicapai dengan akal manusia.
Poedjawijatna (1980 : 2 ) mendefinisikan bahwa kebenaran ialah persesuaian
antara tahu dengan objeknya (objektivitas). Menurut Harun Nasution, 1990 : 16 )
yang mengutip pendapat Al-Kindi, bahwa kebenaran adalah sesuainya apa yang ada
di dalam akal dengan apa yang ada di luar akal.Kebenaran adalah suatu sifat
dari kepercayaan dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan
tersebut. Kebenaran merupakan suatu hubungan tertentu antara kepercayaan dengan
suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan. Jika hubungan ini tidak ada, maka
kepercayaan itu adalah salah (Jujun S.Suriasumantri, 1997, hal.76).Kebenaran
itu adalah kenyataan hasil penafsiran, yang menurut pandangan Peirce
berarti sesuatu yang independen terhadap pikiran aktual sehingga dia menolak
terhadap fakta yang gelap yang tak dapat ditafsirkan-ding an sich (Budi
Hardiman : 2009 : 146).
Apa yang menjadi
harapan itu adalah cita-cita,sedangkan realita itu adalah perwujudan dari
cita-cita itu sendiri. Dengan kata lain ada persesuaian antara das solen
dengan das sein ( Inu Kencana Syafiie : 31).Hal ini relevan dengan pendapat
Prof. Dr. H. Jalaluddin (2011:113) bahwa setiap orang mempunyai cita-cita,
dimana di dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa berupaya untuk
mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya itu dan harus mengandung nilai yang
diyakini kebenarannya. Realitas ialah kenyataan selanjutnya menjurus pada
sesuau kebenaran, ( Jalaluddin,
dkk., 2011 : 123 ).
Berbicara
mengenai realita, berarti kita sudah masuk pada ranah “ pragmatisme “ di mana hal ini sejalam
dengan apa yang pernah disampaikan oleh Iman Barnadib ( 1994 : 29 ) bahwa “ ....sifat utama dari pragmatisme adalah mengenai
realita “, demikian juga bahwa
pragmatisme adalah teori kebenaran konsekuensi kegunaan (Jujun, 1988, dan
Sudarsono, 2001).
Sejalan
dengan itu, maka yang dimaksud dengan kebenaran adalah sebuah nilai yang
dijadikan sebagai pandangan hidup seseorang, di dalamnya terdapat relevansi dari
berbagai komponen atau aspek tertentu, atau sinkronisasi hubungan antara yang menjadi harapan dengan
realita secara independent, dengan disertai bukti-bukti berfikir yang akurat
dan nyata berdasarkan objeknya, kemudian diinterpretasikan agar tidak menimbulkan multi interpretasi bagi akal dalam memperkuat
keyakinan dan hasil penafsirannya itu, yang dengannya tidak menimbulkan pertentangan
dengan apa yang ada di dalam wilayah wahyu sehingga setiap orang tidak dapat membantah
(agree) dengan apa yang terjadi.
Kebenaran itu akan
memberikan manfaat bagi siapa pun terutama bagi manusia dalam menjaga
stabilitas kehidupan di bumi sebagai bukti dalam menjaga amanah Allah SWT bahwa manusia adalah sebagai khalifah fil ardzi.
Alat
yang dipergunakan untuk mendapatkan kebenaran adalah akal. Akal yang dimiliki
oleh manusia ini yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain,
dengan akal ini juga manusia mempunyai kedudukan yang amat mulia.
Menurut kamus Bahasa Indonesia, akal berarti alat berfikir, daya berfikir (
Dessy Anwar, 2011 : 22). Akal adalah substansi yang lembut, bisa mengetahui
sesuatu, bisa memisah-misahkan berbagai
hakikat yang diraba dan pemahaman yang esensial. Pemahaman esensial itu
meliputi : pertama, pemahaman inderawi, seperti gejala-gejala
yang ditangkap dengan penglihatan dan pendengaran, kedua,
pemahaman yang bersumber dari jiwa, seperti pengetahuan bahwa sesuatu itu tidak
lepas dari ada dan tiada, yang tidak lepas dari pendahuluan, (Qayyim Al-jauziyyah,
1422 H : 19-20 ). Akal adalah daya berfikir ( Harun Nasution, 19).
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 1422 H :
31 berpendapat bahwa apabila kekuasaan
dipegang oleh akal, maka nafsu akan berdamai dengannya, bahkan ia akan menjadi
hamba dan pengikutnya.
Menurut
Th. Soekartono, 1976 : 57-58 akal
disebut ratio fungsinya adalah
menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia, menuntun
manusia dalam usahanya mencari jalan yang benar dan baik, memberikan kepuasan
dalam usaha memecahkan persoalan-persoalan hidup, membentuk disiplin terhadap
tenaga-tenaga kepribadian yang lebih rendah ( tenaga-tenaga jasmaniah-nafsu).
Demikian juga, fungsi agama dari segi
agama berfungsi sebagai alat pengontrol, alat pembanding dan alat penguat
kepercayaan.
Dengan demikian, akal berarti alat berfikir
yang dengannya dapat mengetahui dan memahami sesuatu yang esensial, baik secara
inderawi atau non inderawi, sebagai pengendali nafsu, sebagai pembanding dan pengontrol dalam setiap
aktifitas kegiatan akal agar eksistensi keberadaan manusia yang paling mulia di
muka bumi akan tetap dapat dipertahankan
sehingga suatu kebenaran akan dapat diraih.
Menemukan kebenaran
Cara memperoleh atau menemukan kebenaran dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
pendekatan dan metode-metode ilmu pengetahuan tertentu, yang oleh para ilmuan
dapat dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang berbeda.
Kebenaran dapat dicari melalui sesuatu yang
dapat disebut dengan istilah “ pengetahuan “, atau kategori “ penalaran
terhadap dunia luar “. Dorongan ini ada dalam diri manusia, yaitu dorongan
untuk menemukan berbagai hakekat seperti apa adanya, atau menalarnya
sebagaimana mestinya. Manusia ingin memperoleh pengetahuan tentang alam dan
wujud-wujud benda dalam keadaan sesungguhnya ( Murtadha Muthahhari, 1998 : 51).
Berangkat dari logico-hypotetico-verifikasi,
sebagaimana materi ini pernah saya terima ketika belajar Filsafat Ilmu yang merupakan
hasil prentasi Profesor Dr. H. Jalaluddin di depan para mahasiswa pascasarjana
IAIN Raden Fatah Palembang , bahwa kebenaran itu harus rasional dan empirik.
Kebenaran Empirik
yang saya ingat itu adalah kebenaran
yang diperoleh dari hasil pengamatan inderawi dan merupakan sebuah pengalaman (experience). Oleh karena itu, the
experiences are the best teacher.
Selanjutnya,
sebelum kita dapat mengetahui kebenaran, maka kita harus mengetahui beberapa
hal yang ada kaitannya dengan teori kebenaran itu sendiri.
Untuk membahas lebih
jauh tentang beberapa teori kebenaran diatas, maka dapat dideskripsikan bahwa, pertama,
teori kebenaran yang didasarkan pada teori koherensi, secara simple
dapat diambil generalisasi bahwa suatu proporsi-statemen akan dinyatakan
benar jika pernyataan tersebut ada hubungan yang konsisten dengan statement
yang ada sebelumnya yang dianggap memenuhi persyaratan kebenaran
(Drs. H. Fuad Ihsan, 2010), kedua, teori kebenaran yang
didasarkan pada korespondensi dimana pemuncul ide pertamanya adalah Bernald
Russell (1872-1970) katanya bahwa “ suatu pernyataan dikatakan benar bila
materi pengetahuan yang terkandung di dalam pernyataan tersebut saling
berkesesuaian dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut”. Maknanya
adalah bahwa teori korespondensi dipergunakan untuk proses pembuktian secara
empiris guna pengumpulan data-data yang mendukung suatu pernyataan tertentu
yang telah dibuat sebelumnya, ketiga, teori kebenaran yang
didasarkan pada teori pragmatisme seperti yang dicetuskan oleh Peirce
(1839-1914) dimana dia mengatakan bahwa “ kebenaran suatu pernyataan
diukur dengan kriteria yang bersifat fungsional dalam kehidupan praktis,
artinya bahwa suatu pernyataan dikatakan benar jika pernyataan tersebut
mengandung konsekuensi yang mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”
.
Menurut
Kant bahwa kebenaran itu dapat diperoleh melalui pengetahuan yang merupakan
sintesis antara unsur yang mendahului pengalaman - apriori dengan unsur yang berdasarkan pengalaman -
aposteriori ( Budi Hardiman, 2009 : 121
).
Menurut
Jujun, 1998 dan Sudarsono, 2001 sebagimana telah dinukilkan bahwa kebenaran itu
dapat dicari melalui 3 (tiga) kategori teori penting agar apa yang disebut
dengan kebenaran muncul, yaitu : pertama,Teori Koherensi (teori kebenaran yang
saling berhubungan), kedua, Teori Korespondensi (teori kebenaran yang saling
bersesuaian), ketiga Teori Pragmatisme ( teori kebenaran berdasarkan
konsekuensi kegunaan).
Berdasarkan
pendapat para ahli tentang kebenaran itu, maka dapat saya analogikan bahwa
kebenaran merupakan hasil analitik, sentetik dan kritis yang konsisten, connect each other, pragmatis,
memperkuat keyakinan, didapatkan
melalui pengalaman-empirik dengan catatan bahwa selama suatu pernyataan yang
ada itu fungsional dan mempunyai kegunaan dan setiap orang setuju dengan apa
yang terjadi, maka pernyataan ini dianggap benar.
a.Pendekatan dalam mencari kebenaran.
1).
Pendekatan Ilmiah
Dalam
mencari kebenaran itu dapat diperoleh manusia melalui pendekatan lmiah dan
pendekatan non ilmiah, bahwa yang disebut pendekatan itu adalah cara-cara, langkah-langkah atau urutan-urutan tertentu (Idzan Fautanu :
105 ).
Menurut Muhammad
Arif Tiro, 2002 : 3-4, bahwa pendekatan ilmiah ini dikembangkan melalui
penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang sistematis dan terkontrol berdasarkan
data empiris guna memperoleh kebenaran ilmiah yang kebenarannya terbuka untuk
diuji oleh siapa saja yang menghendaki untuk mengujinya.
Senada dengan itu, Menurut H.A Fuad
Ihsan (2010 : 140) ada 3 (tiga) tahapan penting dalam menentukan kebenaran
ilmiah, yaitu : pertama, Skeptik, yaitu dalam menerima kebenaran
informasi atau pengetahuan tidak langsung diterima begitu saja, namun dia
berusaha untuk menanyakan fakta-fakta atau bukti-bukti terhadap setiap
pernyataan yang diterima, kedua, Analitik, yaitu dalam menerima
kebenaran selalu berusaha menimbang-nimbang setiap permasalahan yang
dihadapinya, ketiga, Kritis, yaitu dalam menerima kebenaran orang selalu
berusaha mengembangkan kemampuan untuk menimbang setiap permasalahan yang dihadapinya secara
objektif.
Menurut Amin Abdullah, 1996 : 261
bahwa untuk memperoleh kebenaran agar ilmiah itu dapat mensintesakan antara
rasionalisme, empirisme dan kasyf-nya agar menjadi kokoh.
Menurut Jujun,
1998 dan Sudarsono, 2001 telah dinukilkan bahwa Kebenaran itu dapat dicari
melalui 3 (tiga) kategori teori penting agar apa yang disebut dengan kebenaran
muncul, yaitu : Pertama, teori Koherensi (teori kebenaran yang saling
berhubungan), Kedua, Teori Korespondensi (teori kebenaran yang saling
bersesuaian), Ketiga, Teori Pragmatisme ( teori kebenaran berdasarkan
konsekuensi kegunaan).
Berdasarkan
pendapat di atas, dapat diketahui bahwa kebenaran pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan ilmiah itu adalah
hasil penelitian ilmiah yang dibangun
atas dasar teori-teori tertentu yang relevan, melalui tahap-tahap tertentu, analisa secara kritis , sistematis dengan
kemampuan indera manusia dalam menguji hipotesis-hipotesisnya melalui observasi
atau eksperimen secara nyata, dilaksanakan secara berkesinambungan dengan
memperhatikan kegunaan bagi semua, diawasi sesuai data empiris dengan
konsekuensi bahwa kebenarannya terbuka untuk diuji oleh siapa saja yang
menghendaki untuk mengujinya dengan tujuan agar kebenarannya itu tidak
menimbulkan keragu-raguan, sehingga kebenaran ilmiah yang dimaksud itu menjadi
sebuah paradigma baru.
2). Pendekatan Non-Ilmiah
Menurut Drs. H.A Fuad Ihsan dalam Filsafat Ilmu, 2010 : 137 dinukilkan bahwa
ada cara penemuan kebenaran dengan mempergunakan pendekatan non ilmiah yaitu :
pertama, menggunakan Akal sehat (common sence), kedua menggunakan Prasangka,
ketiga menggunakan pendekatan intuisi, keempat menggunakan penemuan kebetulan
dan coba-coba, kelima menggunakan pendekatan otoritas ilmiah dan pikiran
kritis.
Menurut
Counaut yang dikutip oleh Kerlinger (1973), bahwa yang disebut akal sehat
adalah serangkaian konsep dan bagan yang memuaskan untuk penggunaan praktis
bagi kemanusiaan. Konsep adalah pernyataan abstraksi yang digeneralisasikan dan
hal-hal yang bersifat khusus. Sedangkan bagan konsep adalah seperangkat konsep
yang dirangkaikan dengan dalil-dalil hipotesis dan teori. Akal sehat yang
berupa konsep dan bahan konsep dapat menunjukkan hal yang benar.
Menurut Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd bahwa
kebenaran pada manusia dapat diperoleh melalui beberapa pengetahuan yaitu : pertama,
Pengetahuan wahyu ( revealed knowledge), yakni kebenaran yang didapatkan dari
wahyu yang diberikan Allah kepada manusia. Kedua, Pengetahuan Intuitif (
intuitif knowledge), yakni kebenaran yang muncul dari hasil penghayatan pribadi
secara tiba-tiba sebagai hasil ekspresi dari keunikan dan individualitas
seseorang, sehingga validitas pengetahuan ini sangat bersifat pribadi.Ketiga,
Pengetahuan Rasional (rational knowledge), yaitu kebenaran pengetahuan yang
diperoleh dengan latihan rasio atau akal semata tanpa disertai dengan observasi
terhadap peristiwa-peristiwa faktual.Keempat, Pengetahuan Impiris
(Empirical Knowledge), adalah pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman
empiris sebagai sumber pengetahuan manusia melalui observasi, pengamatan
langsung dengan menggunakan indera manusia.Kelima, Pengetahuan otoritas
(Authotitatif knowledge) yaitu kebenaran yang datang karena telah adanya
jaminan secara otoritas berdasarkan suatu sumber yang berwibawa, memiliki
wewenang dan memiliki hak otoritas.
Dari
pendekatan non ilmiah di atas, diketahui
bahwa akal yang sehat dapat menemukan kebenaran melalui sebuah konsep dan
bagannya meskipun kemampuannya terbatas, oleh karenaya itu akal sehat harus tetap
dibimbing agar tidak melampaui batas, demikian juga prasangka ternyata dapat menemukan kebenaran meskipun terkadang terlalu
dipaksakan dan subyektifitas. Kebenaran dengan pendekatan intuitif ini
diperoleh dari proses perenungan atau olah bathin manusia yang cenderung
apriori, kebenaran dapat ditemukan pula secara spontanitas atau penemuan secara tiba-tiba ( trial and error
), sedangkan kebenaran melalui otoritas ilmiah dan pikiran kritis ditemukan oleh seseorang setelah menempuh
suatu pendidikan yang lebih tinggi. Kebenaran itu bukan hanya berasal dari
akal-rasionalisme dan pengalaman-empirisme belaka, tetapi kebenaran juga dapat
diperoleh melalui penghayatan atau kemampuan bathin –kasyf seseorang
dalam mendapatkan suatu kebenaran .
b. Metode Ilmiah
Dalam kamus Bahasa Indonesia, metode adalah cara yang telah diatur dan
berpikir baik-baik untuk mencapai sesuatu maksud dalam ilmu pengetahuan,
sedangkan metodik adalah pengetahuan tentang metode yang dipakai dalam
pendidikan ( Dessy Anwar : 2001 : 280 ).
Menurut W.Lawrence Neuman, metode adalah
specific techniques for gathering and examining data (2004 : 68). Menurut The
liang Gie ( 2010 : 110 ) metode adalah prosedur yang mencakup berbagai tindakan
pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan
baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada. Menurut Jujun ( 2007 : 127 )
bahwa metode adalah langkah-langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam
penelitian ilmiah. Menurut Imam Barnadib ( 1994 : 85 ), metode adalah suatu
sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan dalam
pengembangan disiplin tersebut, maka usaha pengembangan metode itu sendiri
merupakan syarat mutlak. Menurut Ris’an Rusli, dkk ( 2011 : 16 ) metode adalah cara,
teknik dan analisis data dalam sebuah
penelitian. Menurut Juliansyah Noor ( 2012 : 22) metode adalah cara melakukan
sesuatu menurut aturan tertentu.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa yang disebut metode adalah prosedur, tata cara, langkah-langkah,
sarana atau teknik yang dipakai dalam
suatu penelitian guna menemukan, menyusun, mengembangkan, mengolah dan menguji
data agar memperoleh kebenaran data yang tepat dan tetap.
Metode penelitian yang dipakai dalam
menemukan suatu kebenaran, menurut
Lawren Neuman : 2004 : 16, terbagi menjadi 2 yaitu : pertama, quantitative sosial science methods, kedua,
qualitative research.
1)
Metode Kuantitatif
Menurut
Juliansyah Noor, 38 bahwa yang disebut metode kuantitatif adalah
metode untuk menguji teori-teori tertentu dengan cara meneliti hubungan antar
variabel, yang pengukuran variabel itu biasanya dengan menggunakan instrumen
penelitian sehingga data yang berupa angka-angka dapat dianalisis berdasarkan
prosedur astatistik. Hubungan antar variabel yang dimaksud Juliansyah Noor,
51-53 adalah; pertama, hubungan
simetris (korelasi), berarti bahwa hubungan variabel yang satu tidak disebabkan
oleh yang lainnya, yang diteliti pola hubungan yang negatif atau positif,
tinggi atau rendah, lemah atau kuat, contohnya
“ semakin tinggi x, maka semakin tinggi y, kedua, hubungan timbal
balik ( resiprocal) yaitu hubungan suatu variabel dapat menjadi sebab dan
akibat dari variabel lainnya, contohnya hubungan antara kepuasan kerja dan prestasi
kerja, ketiga, hubungan asimetris ( kausal) yaitu hubungan variabel yang
satu mempengaruhi variabel lainnya, contohnya jika x maka y.
Dari pendapat di
atas, dapat diketahui bahwa metode
kuantitaif itu menggunakan angka-angka statistik dalam menganalisis data, sehingga kebenaran data yang disampaikan itu tampak
semakin jelas.
2). Metode Kualitatif
Metode
kualitatif menurut Denzin dan Licoln (
2009 ) adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada
metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia, sedangkan
menurut Creswell ( 1998 ) bahwa metode kualitatif adalah gambaran komplek,
meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan-pandangan responden dan
melakukan studi pada situasi yang dialami ( Juliansyah Noor, 2012 : 33-34).
Dari pendapat di
atas, bahwa metode kualitatif itu dalam menganalisis data tidak menggunakan
angka-angka statistik, tetapi menggunakan kemampuan berfikir logic berdasarkan
teori-teori tertentu yang berangkat dari fakta yang umum ke khusus, atau
sebaliknya dan diakhiri dengan penarikan generalisasi. Dalam metode kualitatif,
biasanya mengacu kepada premis-premis
tertentu, baik itu dimulai dari premis yang sifatnya general ke spesifik, atau
yang sebaliknya.
a)
Metode Deduksi
Metode deduksi adalah metode
yang menggunakan logika untuk menarik satu atau lebih kesimpulan (conclusion)
berdasarkan seperangkat premis yang diberikan. Dalam sistem deduksi
yang kompleks, peneliti dapat menarik lebih dari satu kesimpulan. Metode
deduksi sering digambarkan sebagai pengambilan kesimpulan dari sesuatu yang
umum ke sesuatu yang khusus (going from the general to the specific).
b). Metode Induksi
Metode induksi menekanan pada pengamatan dahulu, lalu
menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut. Metode ini sering disebut
sebagai sebuah pendekatan pengambilan kesimpulan dari khusus menjadi umum (going
from specific to the general).
Metode induksi ini banyak digunakan oleh ilmu pengetahaun, utamanya ilmu pengetahuan alam, yang dijalankan dengan cara observasi dan eksperimentasi. Jadi metode ini berdasarkan kepada fakta – fakta yang dapat diuji kebenarannya.
Metode induksi ini banyak digunakan oleh ilmu pengetahaun, utamanya ilmu pengetahuan alam, yang dijalankan dengan cara observasi dan eksperimentasi. Jadi metode ini berdasarkan kepada fakta – fakta yang dapat diuji kebenarannya.
2)Metode Eksperimen
Menurut Dessy Anwar, 2001 : 131,
bahwa yang dimaksud eksperimen adalah percobaan yang bersistem dan
berencana untuk membuktikan kebenaran suatu teori. Menurut Jujun, ( 2007 : 113)
bahwa metode eksperimen ini dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad
keemasan Islam yang mencapai kulminasi pada abad IX dan XII. Metode eksperimen
ini mencoba menggabungkan antara metode berfikir deduktif dan induktif ( Jujun, 116).
Dari beberapa metode di atas, bahwa
untuk mendapatkan kebenaran yang rasional itu tidak datang dengan tiba-tiba, melainkan diperoleh melalui berbagai tahapan atau
langkah-langkah tertentu, diuji dan dianalisis sintetik secara ilmiah dengan
penarikan kesimpulan, baik itu dimulai
dari hal yang khusus ke hal yang umum atau dari hal yang umum ke hal yang
khusus dari data empirik sehingga muncul konektisitas antara yang satu dengan
yang lain yang relevan dengan realita.
C. Kesimpulan
Kebenaran adalah sesuatu yang dijadikan
sebagai nilai dan pandangan hidup dan terjadinya persesuaian antara fikiran dan
kenyataan yang menimbulkan ketidakraguan. Ketidakraguan itu muncul dikarenakan
apa yang menjadi harapan dan kenyataan melalui proses intepretasi, penafsiran
dan olah fikir selalu sejalan dan tidak bertentangan dengan apa yang ada di
dalam akal dan wahyu.
Alat
untuk memperoleh kebenaran adalah akal, yang dengannya dapat dipergunakan
sebagai pengendali hawa nafsu, pengontrol dan pembanding setiap aktifitas
manusia agar tetap berada pada aturan Tuhan sehingga kebahagiaan akan
didapatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar