Mengenai Saya

Rabu, 20 Maret 2013

Filsafat Kebenaran



FILSAFAT KEBENARAN
( oleh : Rasiman.bakrasyid@ymail.com )


A.Pendahuluan
            Bagi manusia, kebenaran merupakan hal penting yang menjadi harapan bahkan tujuan dalam hidup. Hal ini disebabkan karena melalui kebenaran  akan muncul suatu kepuasan  dan  spirit jiwa manusia di dalam mengarungi bahtera kehidupan di alam jagad raya ini.
       Sejalan dengan itu, para ilmuwan telah memperbincangkan tentang pentingnya arti sebuah kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran yang barasal dari akal  manusia atau pun kebenaran yang berasal dari wahyu.
           
            Atas dasar diatas, maka dapat penulis kemukakan  problematika di dalam masalah
 tentang  kebenaran berdasarkan Epistemologi , yaitu :
1.      Bagaimanakah cara menemukan kebenaran itu ?

B.Pembahasan
            Kebenaran itu diidentikan dengan sistem nilai dan pandangan hidup. Disebut sistem nilai, karena dianggap sebagai sesuatu yang benar, hingga perlu dipertahankan. Bahkan pada taraf tertentu, orang lebih memilih mengorbankan “ nyawa “ demi mempertahankan sebuah kebenaran dalam usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan yang nyata ( Jalaluddin, 2011 : 8).      
            Kebenaran merupakan salah satu unsur dari fitrah manusia. Atas dasar itu, maka manusia cenderung untuk selalu mencintai kebenaran ( M. Quraish Shihab, 1996 : 391). Fitrah adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akal, serta ruhnya ( M. Quraish Shihab, 1996 : 285).         
       Menurut Yakop Sumardjo, 2000 : 3 bahwa Kebenaran adalah sesuatu yang dicintai oleh manusia. Mencintai kebenaran mendorong manusia untuk selalu dan berupaya mencarinya. Kebenaran bukanlah sesuatu yang ada dalam kesadaran kita sejak lahir. Kesadaran terhadap kebenaran harus dicari oleh setiap manusia, sampai setiap orang menyatakan setuju terhadap apa yang ditemuinya.
       Menurut kamus lengkap Bahasa Indonesia ( 2001 : 86 ), bahwa kebenaran itu berasal dari kata “ benar “, yang artinya betul, tidak salah, lurus. Randall & Bucher dalam Mundiri, 2001: 132 mengatakan bahwa benar adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan, sedangkan menurut Jujun S. (1998) bahwa kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu.  Inu Kencana Syafi’ie yang mengutip pendapat Brandley (2010 : 30) mengatakan  kebenaran adalah kenyataan. Abdul Qadir Djaelani (1993:55) bahwa kebenaran itu persesuaian antara pernyataan dengan fakta-fakta itu sendiri, atau pertimbangan (judgment) dan situasi yang dipertimbangkan itu berusaha melukiskannya, Idzan Fautanu (2012:98) bahwa kebenaran adalah kesesuaian dengan fakta. The Liang Gie, yang mengutip pendapat Thomas Aquinas, bahwa kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran teologis yakni kebenaran yang diterima kepercayaan melalui wahyu yang tidak dapat ditentang oleh kebenaran filsafati yang dicapai dengan akal manusia. Poedjawijatna (1980 : 2 ) mendefinisikan bahwa kebenaran ialah persesuaian antara tahu dengan objeknya (objektivitas). Menurut Harun Nasution, 1990 : 16 ) yang mengutip pendapat Al-Kindi, bahwa kebenaran adalah sesuainya apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada di luar akal.Kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran merupakan suatu hubungan tertentu antara kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan. Jika hubungan ini tidak ada, maka kepercayaan itu adalah salah (Jujun S.Suriasumantri, 1997, hal.76).Kebenaran itu adalah kenyataan hasil penafsiran, yang menurut pandangan Peirce berarti sesuatu yang independen terhadap pikiran aktual sehingga dia menolak terhadap fakta yang gelap yang tak dapat ditafsirkan-ding an sich (Budi Hardiman : 2009 : 146).

Apa yang menjadi harapan itu adalah cita-cita,sedangkan realita itu adalah perwujudan dari cita-cita itu sendiri. Dengan kata lain ada persesuaian antara das solen dengan das sein ( Inu Kencana Syafiie : 31).Hal ini relevan dengan pendapat Prof. Dr. H. Jalaluddin (2011:113) bahwa setiap orang mempunyai cita-cita, dimana di dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa berupaya untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya itu dan harus mengandung nilai yang diyakini kebenarannya. Realitas ialah kenyataan selanjutnya menjurus pada sesuau kebenaran,      ( Jalaluddin, dkk., 2011 : 123 ).

Berbicara mengenai realita, berarti kita sudah masuk pada ranah  “ pragmatisme “ di mana hal ini sejalam dengan apa yang pernah disampaikan oleh Iman Barnadib ( 1994 : 29 ) bahwa  “ ....sifat utama dari pragmatisme adalah mengenai realita “, demikian juga  bahwa pragmatisme adalah teori kebenaran konsekuensi kegunaan (Jujun, 1988, dan Sudarsono, 2001).

       Sejalan dengan itu, maka yang dimaksud dengan kebenaran adalah sebuah nilai yang dijadikan sebagai pandangan hidup seseorang, di dalamnya terdapat relevansi dari berbagai komponen atau aspek tertentu, atau sinkronisasi  hubungan antara yang menjadi harapan dengan realita secara independent, dengan disertai bukti-bukti berfikir yang akurat dan nyata berdasarkan objeknya, kemudian diinterpretasikan agar  tidak menimbulkan multi  interpretasi bagi akal dalam memperkuat keyakinan dan hasil penafsirannya itu, yang dengannya tidak menimbulkan pertentangan dengan apa yang ada di dalam wilayah wahyu sehingga setiap orang tidak dapat membantah (agree) dengan apa yang terjadi.                   
Kebenaran itu akan memberikan manfaat bagi siapa pun terutama bagi manusia dalam menjaga stabilitas kehidupan di bumi sebagai bukti dalam menjaga amanah  Allah SWT bahwa  manusia adalah sebagai khalifah fil ardzi.
       Alat yang dipergunakan untuk mendapatkan kebenaran adalah akal. Akal yang dimiliki oleh manusia ini yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain, dengan akal ini juga manusia mempunyai kedudukan yang amat mulia.
       Menurut kamus Bahasa Indonesia, akal berarti alat berfikir, daya berfikir ( Dessy Anwar, 2011 : 22). Akal adalah substansi yang lembut, bisa mengetahui sesuatu,  bisa memisah-misahkan berbagai hakikat yang diraba dan pemahaman yang esensial. Pemahaman esensial itu meliputi : pertama, pemahaman inderawi, seperti gejala-gejala yang ditangkap dengan penglihatan dan pendengaran, kedua, pemahaman yang bersumber dari jiwa, seperti pengetahuan bahwa sesuatu itu tidak lepas dari ada dan tiada, yang tidak lepas dari pendahuluan, (Qayyim Al-jauziyyah, 1422 H : 19-20 ). Akal adalah daya berfikir ( Harun Nasution, 19).

     Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 1422 H : 31 berpendapat bahwa  apabila kekuasaan dipegang oleh akal, maka nafsu akan berdamai dengannya, bahkan ia akan menjadi hamba dan pengikutnya.
       Menurut Th. Soekartono, 1976 : 57-58  akal disebut ratio  fungsinya adalah menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia, menuntun manusia dalam usahanya mencari jalan yang benar dan baik, memberikan kepuasan dalam usaha memecahkan persoalan-persoalan hidup, membentuk disiplin terhadap tenaga-tenaga kepribadian yang lebih rendah ( tenaga-tenaga jasmaniah-nafsu). Demikian juga, fungsi agama  dari segi agama berfungsi sebagai alat pengontrol, alat pembanding dan alat penguat kepercayaan.

     Dengan demikian, akal berarti alat berfikir yang dengannya dapat mengetahui dan memahami sesuatu yang esensial, baik secara inderawi atau non inderawi, sebagai pengendali nafsu,  sebagai pembanding dan pengontrol dalam setiap aktifitas kegiatan akal agar eksistensi keberadaan manusia yang paling mulia di muka bumi akan tetap dapat dipertahankan  sehingga suatu kebenaran akan dapat diraih.
           
Menemukan kebenaran
     Cara memperoleh atau menemukan kebenaran  dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan dan metode-metode ilmu pengetahuan tertentu, yang oleh para ilmuan dapat dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang berbeda.
     Kebenaran dapat dicari melalui sesuatu yang dapat disebut dengan istilah “ pengetahuan “, atau kategori “ penalaran terhadap dunia luar “. Dorongan ini ada dalam diri manusia, yaitu dorongan untuk menemukan berbagai hakekat seperti apa adanya, atau menalarnya sebagaimana mestinya. Manusia ingin memperoleh pengetahuan tentang alam dan wujud-wujud benda dalam keadaan sesungguhnya ( Murtadha Muthahhari, 1998 : 51).

     Berangkat dari logico-hypotetico-verifikasi, sebagaimana materi ini pernah saya terima ketika belajar Filsafat Ilmu yang merupakan hasil prentasi Profesor Dr. H. Jalaluddin di depan para mahasiswa pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang , bahwa kebenaran itu harus rasional dan empirik.
Kebenaran Empirik yang saya ingat  itu adalah kebenaran yang diperoleh dari hasil pengamatan inderawi dan merupakan  sebuah  pengalaman (experience). Oleh karena itu, the experiences are the best teacher.
          Selanjutnya, sebelum kita dapat mengetahui kebenaran, maka kita harus mengetahui beberapa hal yang ada kaitannya dengan teori kebenaran itu sendiri.
Untuk membahas lebih jauh tentang beberapa teori kebenaran diatas, maka dapat dideskripsikan bahwa, pertama, teori kebenaran yang didasarkan pada teori koherensi, secara simple dapat diambil generalisasi bahwa suatu proporsi-statemen akan dinyatakan benar jika pernyataan tersebut ada hubungan yang konsisten dengan statement yang ada sebelumnya yang dianggap memenuhi persyaratan kebenaran (Drs. H. Fuad Ihsan, 2010), kedua, teori kebenaran yang didasarkan pada korespondensi dimana pemuncul ide pertamanya adalah Bernald Russell (1872-1970) katanya bahwa “ suatu pernyataan dikatakan benar bila materi pengetahuan yang terkandung di dalam pernyataan tersebut saling berkesesuaian dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut”. Maknanya adalah bahwa teori korespondensi dipergunakan untuk proses pembuktian secara empiris guna pengumpulan data-data yang mendukung suatu pernyataan tertentu yang telah dibuat sebelumnya, ketiga, teori kebenaran yang didasarkan pada teori pragmatisme seperti yang dicetuskan oleh Peirce (1839-1914) dimana dia mengatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria yang bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, artinya bahwa suatu pernyataan dikatakan benar jika pernyataan tersebut mengandung konsekuensi yang mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia” .

       Menurut Kant bahwa kebenaran itu dapat diperoleh melalui pengetahuan yang merupakan sintesis antara unsur yang mendahului pengalaman - apriori  dengan unsur yang berdasarkan pengalaman - aposteriori  ( Budi Hardiman, 2009 : 121 ).
            Menurut Jujun, 1998 dan Sudarsono, 2001 sebagimana telah dinukilkan bahwa kebenaran itu dapat dicari melalui 3 (tiga) kategori teori penting agar apa yang disebut dengan kebenaran muncul, yaitu : pertama,Teori Koherensi (teori kebenaran yang saling berhubungan), kedua, Teori Korespondensi (teori kebenaran yang saling bersesuaian), ketiga Teori Pragmatisme ( teori kebenaran berdasarkan konsekuensi kegunaan).

Berdasarkan pendapat para ahli tentang kebenaran itu, maka dapat saya analogikan bahwa kebenaran merupakan hasil analitik, sentetik dan  kritis yang  konsisten, connect each other, pragmatis, memperkuat keyakinan,  didapatkan melalui pengalaman-empirik dengan catatan bahwa selama suatu pernyataan yang ada itu fungsional dan mempunyai kegunaan dan setiap orang setuju dengan apa yang terjadi, maka pernyataan ini dianggap benar.

a.Pendekatan dalam mencari kebenaran.
   1). Pendekatan Ilmiah
     Dalam mencari kebenaran itu dapat diperoleh manusia melalui pendekatan lmiah dan pendekatan non ilmiah, bahwa yang disebut pendekatan itu adalah  cara-cara,  langkah-langkah  atau urutan-urutan tertentu (Idzan Fautanu : 105 ).   
Menurut Muhammad Arif Tiro, 2002 : 3-4, bahwa pendekatan ilmiah ini dikembangkan melalui penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang sistematis dan terkontrol berdasarkan data empiris guna memperoleh kebenaran ilmiah yang kebenarannya terbuka untuk diuji oleh siapa saja yang menghendaki untuk mengujinya.

                 Senada dengan itu, Menurut H.A Fuad Ihsan (2010 : 140) ada 3 (tiga) tahapan penting dalam menentukan kebenaran ilmiah, yaitu : pertama, Skeptik, yaitu dalam menerima kebenaran informasi atau pengetahuan tidak langsung diterima begitu saja, namun dia berusaha untuk menanyakan fakta-fakta atau bukti-bukti terhadap setiap pernyataan yang diterima, kedua, Analitik, yaitu dalam menerima kebenaran selalu berusaha menimbang-nimbang setiap permasalahan yang dihadapinya, ketiga, Kritis, yaitu dalam menerima kebenaran orang selalu berusaha mengembangkan kemampuan untuk menimbang  setiap permasalahan yang dihadapinya secara objektif.

                 Menurut Amin Abdullah, 1996 : 261 bahwa untuk memperoleh kebenaran agar ilmiah itu dapat mensintesakan antara rasionalisme, empirisme dan kasyf-nya agar menjadi kokoh.
Menurut Jujun, 1998 dan Sudarsono, 2001 telah dinukilkan bahwa Kebenaran itu dapat dicari melalui 3 (tiga) kategori teori penting agar apa yang disebut dengan kebenaran muncul, yaitu : Pertama, teori Koherensi (teori kebenaran yang saling berhubungan), Kedua, Teori Korespondensi (teori kebenaran yang saling bersesuaian), Ketiga, Teori Pragmatisme ( teori kebenaran berdasarkan konsekuensi kegunaan).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa kebenaran pengetahuan  yang diperoleh melalui pendekatan ilmiah  itu  adalah hasil  penelitian ilmiah yang dibangun atas dasar teori-teori tertentu yang relevan, melalui tahap-tahap tertentu,  analisa secara kritis , sistematis dengan kemampuan indera manusia dalam menguji hipotesis-hipotesisnya melalui observasi atau eksperimen secara nyata, dilaksanakan secara berkesinambungan dengan memperhatikan kegunaan bagi semua, diawasi sesuai data empiris dengan konsekuensi bahwa kebenarannya terbuka untuk diuji oleh siapa saja yang menghendaki untuk mengujinya dengan tujuan agar kebenarannya itu tidak menimbulkan keragu-raguan, sehingga kebenaran ilmiah yang dimaksud itu menjadi sebuah paradigma baru.

2). Pendekatan Non-Ilmiah
                Menurut Drs. H.A Fuad Ihsan dalam Filsafat Ilmu, 2010 : 137 dinukilkan bahwa ada cara penemuan kebenaran dengan mempergunakan pendekatan non ilmiah yaitu : pertama, menggunakan Akal sehat (common sence), kedua menggunakan Prasangka, ketiga menggunakan pendekatan intuisi, keempat menggunakan penemuan kebetulan dan coba-coba, kelima menggunakan pendekatan otoritas ilmiah dan pikiran kritis.

                 Menurut Counaut yang dikutip oleh Kerlinger (1973), bahwa yang disebut akal sehat adalah serangkaian konsep dan bagan yang memuaskan untuk penggunaan praktis bagi kemanusiaan. Konsep adalah pernyataan abstraksi yang digeneralisasikan dan hal-hal yang bersifat khusus. Sedangkan bagan konsep adalah seperangkat konsep yang dirangkaikan dengan dalil-dalil hipotesis dan teori. Akal sehat yang berupa konsep dan bahan konsep dapat menunjukkan hal yang benar.

       Menurut Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd bahwa kebenaran pada manusia dapat diperoleh melalui beberapa pengetahuan yaitu : pertama, Pengetahuan wahyu ( revealed knowledge), yakni kebenaran yang didapatkan dari wahyu yang diberikan Allah kepada manusia. Kedua, Pengetahuan Intuitif ( intuitif knowledge), yakni kebenaran yang muncul dari hasil penghayatan pribadi secara tiba-tiba sebagai hasil ekspresi dari keunikan dan individualitas seseorang, sehingga validitas pengetahuan ini sangat bersifat pribadi.Ketiga, Pengetahuan Rasional (rational knowledge), yaitu kebenaran pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio atau akal semata tanpa disertai dengan observasi terhadap peristiwa-peristiwa faktual.Keempat, Pengetahuan Impiris (Empirical Knowledge), adalah pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman empiris sebagai sumber pengetahuan manusia melalui observasi, pengamatan langsung dengan menggunakan indera manusia.Kelima, Pengetahuan otoritas (Authotitatif knowledge) yaitu kebenaran yang datang karena telah adanya jaminan secara otoritas berdasarkan suatu sumber yang berwibawa, memiliki wewenang dan memiliki hak otoritas.

                   Dari pendekatan non ilmiah di atas,  diketahui bahwa akal yang sehat dapat menemukan kebenaran melalui sebuah konsep dan bagannya meskipun kemampuannya terbatas, oleh karenaya itu akal sehat harus tetap dibimbing agar  tidak melampaui batas,  demikian juga prasangka  ternyata dapat  menemukan kebenaran meskipun terkadang terlalu dipaksakan dan subyektifitas. Kebenaran dengan pendekatan intuitif ini diperoleh dari proses perenungan atau olah bathin manusia yang cenderung apriori, kebenaran dapat ditemukan pula secara spontanitas atau  penemuan secara tiba-tiba ( trial and error ), sedangkan kebenaran melalui otoritas ilmiah dan pikiran kritis  ditemukan oleh seseorang setelah menempuh suatu pendidikan yang lebih tinggi. Kebenaran itu bukan hanya berasal dari akal-rasionalisme dan pengalaman-empirisme belaka, tetapi kebenaran juga dapat diperoleh melalui penghayatan atau kemampuan bathin –kasyf seseorang dalam mendapatkan suatu kebenaran .

b. Metode Ilmiah
                 Dalam kamus Bahasa Indonesia, metode adalah cara yang telah diatur dan berpikir baik-baik untuk mencapai sesuatu maksud dalam ilmu pengetahuan, sedangkan metodik adalah pengetahuan tentang metode yang dipakai dalam pendidikan  ( Dessy Anwar : 2001 : 280 ). Menurut W.Lawrence Neuman,  metode adalah specific techniques for gathering and examining data (2004 : 68). Menurut The liang Gie ( 2010 : 110 ) metode adalah prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada. Menurut Jujun ( 2007 : 127 ) bahwa metode adalah langkah-langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam penelitian ilmiah. Menurut Imam Barnadib ( 1994 : 85 ), metode adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan dalam pengembangan disiplin tersebut, maka usaha pengembangan metode itu sendiri merupakan syarat mutlak. Menurut Ris’an Rusli, dkk ( 2011 : 16 ) metode adalah cara, teknik dan analisis  data dalam sebuah penelitian. Menurut Juliansyah Noor ( 2012 : 22) metode adalah cara melakukan sesuatu menurut aturan tertentu.

                 Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang disebut metode adalah prosedur, tata cara, langkah-langkah, sarana  atau teknik yang dipakai dalam suatu penelitian guna menemukan, menyusun, mengembangkan, mengolah dan menguji data agar memperoleh kebenaran data yang tepat dan tetap.
                 Metode penelitian yang dipakai dalam menemukan suatu kebenaran,  menurut Lawren Neuman : 2004 : 16, terbagi menjadi 2 yaitu : pertama,  quantitative sosial science methods, kedua, qualitative research.

1)      Metode Kuantitatif
       Menurut Juliansyah Noor, 38 bahwa yang disebut metode kuantitatif adalah metode untuk menguji teori-teori tertentu dengan cara meneliti hubungan antar variabel, yang pengukuran variabel itu biasanya dengan menggunakan instrumen penelitian sehingga data yang berupa angka-angka dapat dianalisis berdasarkan prosedur astatistik. Hubungan antar variabel yang dimaksud Juliansyah Noor, 51-53 adalah;  pertama, hubungan simetris (korelasi), berarti bahwa hubungan variabel yang satu tidak disebabkan oleh yang lainnya, yang diteliti pola hubungan yang negatif atau positif, tinggi atau rendah, lemah atau kuat, contohnya  “ semakin tinggi x, maka semakin tinggi y, kedua, hubungan timbal balik ( resiprocal) yaitu hubungan suatu variabel dapat menjadi sebab dan akibat dari variabel lainnya, contohnya hubungan antara kepuasan kerja dan prestasi kerja, ketiga, hubungan asimetris ( kausal) yaitu hubungan variabel yang satu mempengaruhi variabel lainnya, contohnya jika x maka y.
Dari pendapat di atas,  dapat diketahui bahwa metode kuantitaif itu   menggunakan angka-angka  statistik dalam menganalisis data,  sehingga kebenaran data yang disampaikan itu tampak semakin jelas.         

2). Metode Kualitatif

Metode kualitatif  menurut Denzin dan Licoln ( 2009 ) adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia, sedangkan menurut Creswell ( 1998 ) bahwa metode kualitatif adalah gambaran komplek, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan-pandangan responden dan melakukan studi pada situasi yang dialami ( Juliansyah Noor, 2012 : 33-34).
           
Dari pendapat di atas, bahwa metode kualitatif itu dalam menganalisis data tidak menggunakan angka-angka statistik, tetapi menggunakan kemampuan berfikir logic berdasarkan teori-teori tertentu yang berangkat dari fakta yang umum ke khusus, atau sebaliknya dan diakhiri dengan penarikan generalisasi. Dalam metode kualitatif, biasanya  mengacu kepada premis-premis tertentu, baik itu dimulai dari premis yang sifatnya general ke spesifik, atau yang sebaliknya.

a)      Metode Deduksi
Metode deduksi adalah metode yang menggunakan logika untuk menarik satu atau lebih kesimpulan (conclusion) berdasarkan seperangkat premis yang diberikan. Dalam sistem deduksi yang kompleks, peneliti dapat menarik lebih dari satu kesimpulan. Metode deduksi sering digambarkan sebagai pengambilan kesimpulan dari sesuatu yang umum ke sesuatu yang khusus (going from the general to the specific).
b). Metode Induksi
Metode  induksi menekanan pada pengamatan dahulu, lalu menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut. Metode ini sering disebut sebagai sebuah pendekatan pengambilan kesimpulan dari khusus menjadi umum (going from specific to the general).
Metode induksi ini banyak digunakan oleh ilmu pengetahaun, utamanya ilmu pengetahuan alam, yang dijalankan dengan cara observasi dan eksperimentasi. Jadi metode ini berdasarkan kepada fakta – fakta yang dapat diuji kebenarannya.
2)Metode Eksperimen
                 Menurut Dessy Anwar, 2001 : 131, bahwa yang dimaksud eksperimen adalah percobaan yang bersistem dan berencana untuk membuktikan kebenaran suatu teori. Menurut Jujun, ( 2007 : 113) bahwa metode eksperimen ini dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan Islam yang mencapai kulminasi pada abad IX dan XII. Metode eksperimen ini mencoba menggabungkan antara metode berfikir deduktif dan induktif  ( Jujun, 116).

                   Dari beberapa metode di atas, bahwa untuk mendapatkan kebenaran yang rasional itu tidak datang dengan tiba-tiba, melainkan  diperoleh melalui berbagai tahapan atau langkah-langkah tertentu, diuji dan dianalisis sintetik secara ilmiah dengan penarikan kesimpulan,  baik itu dimulai dari hal yang khusus ke hal yang umum atau dari hal yang umum ke hal yang khusus dari data empirik sehingga muncul konektisitas antara yang satu dengan yang lain yang relevan dengan realita.
           

C. Kesimpulan          
       Kebenaran adalah sesuatu yang dijadikan sebagai nilai dan pandangan hidup dan terjadinya persesuaian antara fikiran dan kenyataan yang menimbulkan ketidakraguan. Ketidakraguan itu muncul dikarenakan apa yang menjadi harapan dan kenyataan melalui proses intepretasi, penafsiran dan olah fikir selalu sejalan dan tidak bertentangan dengan apa yang ada di dalam akal dan wahyu.  
     Alat untuk memperoleh kebenaran adalah akal, yang dengannya dapat dipergunakan sebagai pengendali hawa nafsu, pengontrol dan pembanding setiap aktifitas manusia agar tetap berada pada aturan Tuhan sehingga kebahagiaan akan didapatkan.
           




Haji Zaman Kolonial Belanda



PELAKSANAAN IBADAH HAJI INDONESIA
PADA MASA KOLONIAL BELANDA

            Menunaikan ibadah haji bagi umat Islam hanya diwajibkan  sekali seumur hidup bagi yang telah mampu untuk melaksanakannya di baitullah.Menurut pendapat saya tentang pelaksanaan ibadah haji  Indonesia pada masa Pemerintah Kolonial Belanda adalah karena didasari atas keimanan umat islam di Indonesia yang cukup besar meskipun bangsa Indonesia  waktu itu  dalam kondisi terjajah, dalam arti masih berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda .
Menurut Amin Abdullah 1996 : 202 bahwa sejarah kolonialisme-imperialisme itu dimulai pada abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20 yang telah merubah peta umat islam secara drastis.
            Penjajahan kolonial Belanda mengakibatkan kerugian bagi rakyat dan bangsa Indonesia, bukan hanya terhadap perjalanan ibadah haji, tetapi menurut Amin Abdullah : 204  juga seluruh harta benda dan kekayaan diboyong untuk pembangunan negeri Belanda.
Harta benda yang dimaksud itu, menurut penulis adalah seluruh aset bangsa Indonesia baik yang berupa benda hidup atau mati seperti  arsip-arsip penting bangsa bahkan para wanita dan pria yang dianggap memberikan keuntungan  dibawa ke Belanda untuk membangun suatu tempat peradaban baru yang dikenal dengan Amsterdam.
Dalam kondisi terjajah, kewajiban untuk menunaikan ibadah haji sekali seumur hidup bagi orang islam masih tetap fardhu ‘ain, hal ini sebagai wujud penyempurna rukun islam yang kelima dimana pelaksanaannya harus pergi ke Baitullah sebagai tempat sakral dan mulia yang berkedudukan di Mekah. Kewajiban ini diperuntukkan bagi orang islam yang sudah mampu,  di dalam Al-Qur’an disebut dengan istatho’a, yang mengandung konsekuensi bahwa ada biaya yang cukup, baik untuk biaya pemberangkatan haji atau biaya untuk keluarga yang ditinggalkan selama melaksanakan ibadah haji tersebut, ada kendaraan yang mengantarkan dan aman dalam perjalanan, serta sehat jasmani dan rohani.
Pada masa  kolonial Belanda,  pelaksanaan ibadah haji Indonesia harus mengikuti peraturan yang diterbitkan oleh Kolonial, yang menurut Karel A.Steenbrink, 1988 : 52 bahwa di Negeri Belanda perkara mengenai Indonesia (dalam jaman kolonial) diatur (untuk sebagian besar) oleh departemen koloni, pada tahun 1870 dibuka Konsulat di Jeddah untuk mengatur haji (dan mengadakan kontrol) terhadap para calon jema’ah haji atau orang yang bermukim di Mekah.
            Menurut Husni Rahim, 1998 : 184  bahwa Pemerintah kolonial Belanda memberikan data tentang jema’ah haji Nusantara dari Hindia Belanda ( Indonesia) yang tercatat mulai tahun 1853, yaitu berjumlah 1.113 orang. Berikutnya tahun 1854 sampai tahun 1862  jumlahnya masing-masing adalah : 1.448, 1.668, 3.057, 2.381, 3.862, 2.052, 1.417, 1.989, dan 2.415. Selama 10 tahun itu terjadi empat kali penurunan jumlah, yakni tahun 1857 dan tahun 1859, 1860 dan 1861 . 
Berdasarkan data diatas, dapat penulis simpulkan  bahwa jumlah jema’ah haji Indonesia pada waktu kolonial Belanda  pada tahun 1853-1862 mengalami penurunan jumlah sebanyak 3 kali yaitu pada tahun 1857, 1859 dan 1860 dimana tahun 1861 ada kenaikan dari tahun 1860. Jika kita lihat tahun 1853 mempunyai angka yang terendah dari jumlah yang lain, maka tidak dapat dikatakan mengalami penurunan karena tahun 1853 tersebut adalah tahun perdana menunaikan haji  selama kurun waktu selama 10 tahun dari 1853-1862. Hal ini disebabkan karena adanya peraturan Pemerintah Belanda yang memperketat terhadap jema’ah haji Indonesia yang akan pergi ke Mekah. Peraturan Pemerintah Kolonial Belanda itu disebut dengan Beslit.
Menurut F.G.P Jaquet, 1980 : 288 dan juga lihat Deliar Noer, 1985 : 31-32 bahwa Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Beslit dengan Nomor 9 tertanggal 18 Oktober 1825 yang mewajibkan setiap jema’ah haji yang akan berangkat ke Mekah harus membayar pas jalan (reispas) sebanyak 110 golden dan bagi yang tidak membeli pas jalan tersebut dikenakan denda sebesar 1000 golden serta menyertakan bukti bahwa mereka kuat dalam keuangan sehingga mampu menjamin keperluan keluarga yang mereka tinggalkan. Di samping itu, lihat juga pendapat J.Eisenberger, 1928 : 188 bahwa Kepala Daerah harus mengawasi tindakan para haji serta melaporkan orang-orang yang berangkat dan kembali dari Mekah.
Disamping itu juga, menurut Ibnu Qoyim Ismail, 1997 : 53 yang mengutip pendapat Karel A. Steenbrink bahwa sejak tahun 1825 sampai dengan 1859, berbagai ordonansi yang menyangkut perjalanan haji dan penyelenggaraannya diatur sedemikian rupa oleh penguasa Belanda dengan tujuan membatasi dan mempersulit perjalanan haji ke Mekah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Husni Rahim: 180,   bahwa tujuan utama diterbitkannya beslit adalah untuk mengurangi semangat naik haji dan membatasi jama’ah haji yang akan berangkat ke Mekah.
Langkah ini dilakukan oleh kolonial Belanda bertujuan untuk meningkatkan sikap kehati-hatian dari Duymaer Van Twist terhadap masalah haji khususnya di daerah yang dipandang rawan  termasuk Palembang ( Syair perang Palembang dalam MO Woelders, Het Sultannnt Palembang, 1(975 : 1811-1825).
Menurut Aqib Suminto, 1985, 12 bahwa semasa wilayah Nusantara berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda, percaturan politik dunia islam digeliatkan oleh gerakan Pan Islamisme yang dipelopori oleh  Jamaludin Al-Afghani dimana gerakan ini dinilai oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai gerakan politik yang membawa rakyat kepada fanatisme.
Fanatisme beragama akan membawa pengaruh besar bagi perjuangan Bangsa Indonesia yang notabene menganut agama islam, bagi masyarakat yang telah dapat pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dianggap telah memiliki pengalaman spiritul yang luar biasa yang akan berpengaruh pada suatu politik haji.
 Politik haji adalah sesuatu yang ditakuti oleh Belanda, karena itu muncuk kekhawariran Belanda yang didasari pada : (1) kedudukan haji, di Indonesian dihormati, (2) pemberontakan yang telah terjadi dipelopori oleh para haji sepereti kasus-kasus haji pada “ perang Jihad) (2) Haji sifatnya Kosmopiltan dimana para jema’ah Haji dapat bertemu dengan para jema’ah lain di dunia yang dimungkinkan meluas meluaskanya pengaruhPan islamimisme. (Husni Rahim , 180).
Pan Islamisme, bagi Belanda adalah suatu gerakan umat islam yang sangat ditakuti  karena di dalam gerakan itu ada ruh ajaran kebangkitan manusia yang di dalam Al-qur’an surat Ar-Ro’du [13] : 11 disebutkan bahwa “ Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang merubahnya “ .
Menurut Harun Nasution, 1975 : 53 bahwa Jamaluddin Al-Afghani mendirikan ‘ Al-Urwah Al-Wusqo’ yang beranggotakan orang islam dari India, Mesir, Siria, Afrika Utara dan lain-lain tujuannya ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat Islam kepada kemajuan.
Menurut Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles, 1830 : 3 bahwa para haji setelah pulang dari Mekah dianggap oleh masyarakat sebagai orang suci yang mempunyai kekuatan ghaib (supranatural power) yang dikhawatirkan akan mempengaruhi masyarakat dan menghimpun kekuatan untuk menentang orang barat
Menurut Dick Douwes dan Nico Kaptein, yang diterjemahkan oleh Soedarso Soekarno, 1997 :  6 yang mengutip pendapat J.C Van Leur, On the eighteenth  century  as a category in Indonesia history dalam Indonesian Trade and Society, 1955 : 274 berpendapat bahwa Daendels dan juga Raffles menganggap perjalanan ibadah haji ke Mekah sebagai bahaya politik : berdasarkan pengetahuan mereka yang terbatas tentang islam, mereka menganggap orang-orang yang telah menjalankan ibadah haji sebagai pendeta, sehingga pada tahun 1810 Daendels mengeluarkan keputusan yang memerintahkan “ pendeta islam itu “ agar memperoleh paspor untuk bepergian dari satu tempat di Jawa ke tempat lain guna menghindari gangguan.
Dengan dikeluarkannya Beslit haji nomor 9 tertanggal 18 Oktober 1825 di atas, maka misi kolonial Belanda menurut saya  upaya mempersulit para jama’ah haji Indonesia itu sangat jelas. Hal ini dapat dibuktikan bahwa jumlah jama’ah haji Indonesia pada tahun 1857 terjadi penurunan sebanyak 676 orang jema’ah haji dari tahun sebelumnya atau sebanyak 22 %, tahun 1859 terjadi penurunan sebanyak 1810 orang jemaah haji atau sebanyak 46 %, serta pada tahun 1860 telah terjadi penurunan jumlah jema’ah haji sebanyak 635 orang jema’ah haji atau sebanyak 30 %. Jika pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu tidak mempersulit terhadap kegiatan haji tersebut, maka jumlah haji pada tahun 1825  tidak hanya berjumlah 1.113 orang saja tetapi dapat melebihi jumlah  itu, hal ini disebabkan karena kesadaran dan minat dalam menjalankan ajaran agama orang Indonesia sejak lama telah didasarkan atas iman dan ihsan yang benar.
Disamping itu,  diterbitkannya beslit oleh pemerintah kolonial Belanda untuk jama’ah haji Indonesia dikarenakan adanya rasa kekhawatiran serta ketakutan pemerintah kolonial Belanda terhadap para jama’ah haji yang akan menghimpun kekuatan seluruh rakyat guna menyerang Belanda ketika pulang dari Mekah, seperti gerakan pembaharuan.
Gerakan Pembaharuan, menurut Amin Abdullah disebut dengan I’datul Islam yakni keinginan masyarakat muslim untuk mengembalikan peran dunia islam dalam percaturan global peradaban dunia ( Amin Abdullah, 2006 : 249).
 Jika penghimpunan seluruh kekuatan rakyat terjadi, maka bahaya besar akan melanda dan mengancam pemerintah kolonial Belanda dalam mengadakan perlawanan rakyat semesta guna menentang Belanda yang berkat dimotori oleh para jama’ah haji tersebut.
Fenomena  ini tidak dapat dipandang  remeh, bahwa para jama’ah haji yang ada di Mekah, di sana mereka bertemu dan berkumpul dengan para tokoh muslim dan tokoh-tokoh negarawan yang ada di dunia untuk sharing sekaligus bertukar pikiran guna menyelesaikan problematika yang ada di negaranya masing-masing. Orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji, akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi di masyarakatnya, sehingga mereka dihormati, diagungkan ,didengar dan diikuti seluruh ajakannya.     
Yang paling ditakutkan dan perlu diwaspadai oleh kolonial Belanda adalah di bidang politik islam dimana Pemerintah kolonial Belanda dinasehatkan oleh Snouck untuk tidak mentolerir segala kegiatan apa pun yang dilakukan kaum muslimin yang dapat menyerukan Pan Islamisme untuk melawan Belanda ( Alwi Shihab, 86) terutama para pemuda intelektual yang lama bermukim di Mekah jika mereka pulang ke tanah airnya ( Dick Douwes, 12).
Seiring dengan perkembangan waktu, dan demi keperluan  kolonial Belanda dalam penguasaan daerah jajahan Indonesia, maka Belanda mulai memberikan berbagai kemudahan bagi jema’ah haji Indonesia.
Rekomendasi-rekomendasi Snouck Horgrnje tidak hanya didasarkan pada pengetahuan yang cermat tentang Islam dan penilaian khusus darinya, tetapi juga pada pandangan (optimistis) terhadap masa depan masyarakat Indonesia yang akan mengambil bentuk asosiasi politik dan nasional antara orang Belanda dan orang Indonesia, yang menurutnya bahwa Belanda tidak dapat bekerja tanpa adanya suatu kebijakan Islam, karena Islam tidak hanya mencakup hubungan manusia dan Tuhan, tetapi juga dilengkapi dengan aturan mengenai hubungan antara orang mukmin dan penguasa-penguasa duniawi ( Dick Douwes & Nico Kaptein, 1997 : 10 ).
Selain itu juga, menurut Dick Douwes dan Kaptein, 11-12 bahwa  Snouck Horgronje, yang bergelar Abdul Ghaffar (Lihat Alwi Shihab, 83) bahwa sebagian besar jema’ah haji hanya perlu mendapat perhatian dari sudut pandang statistik ; ia menganggap bahwa tidak mungkin sebagian besar mereka akan bertukar gagasan-gagasan Pan-Islam.Ia melihat kepentingan politik ibadah haji pada kediaman yang lama di Mekah, yaitu para mukim, orang Indonesia yang menetap di Mekah kebanyakan pemuda dan pria setengah baya yang menonjol di bidang intelektual.
Oleh karena itu, menurut Aqib Suminto, 1985 : 12 bahwa menghadapi hal ini, Snouck Horgronje menetapkan islam dalam arti ibadah dengan islam sebagai politik sehingga islam menurutnya dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : 1) bidang agama murni atau ibadah, 2) bidang sosial kemasyarakatan, 3) bidang politik.
Sebagaimana diketahui bahwa ketika Duymaer Van Twist menjadi Gubernur Jenderal ( 1851-1856) ditetapkan kembali Beslit haji nomor 9 tertanggal 3 Mei 1852 bahwa pas jalan masih tetap diwajibkan tetapi gratis dan denda juga dihapuskan ( Husni Rahim, 181 ).
 untuk memperkuat asumsi diatas menurut Prof. Dr. Deliar Noer, 1985 : 30 memberikan data bahwa pada pertengahan abad yang lalu, setiap tahun sejumlah 2.000 orang dari Indonesia melakukan ibadah haji. Jumlah ini bertambah menjadi 5.000 orang pada tahun 1886 dan tahun 1890 meningkat menjadi 7.000 orang. Jumlah rata-rata tahun 1899-1909 adalah 7.300 orang setiap tahun. Sedangkan  tahun1889, terlihat adanya penurunan jumlah  yakni menjadi 3.100 orang. Adapun puncaknya terjadi pada tahun 1896, yakni mencapai 11.700 orang
Berdasarkan arsip dari kolonial Belanda  dari Verslag dan J. Vredenbregt, 1962 : 141-145 sebagai berikut :
No
Tahun
Jumlah Jama’ah haji Indonesia pada masa kolonial Belanda
1
1860
1417 orang
2
1861
1989 orang
3
1862
2415 orang
4
1863
2317 orang
5
1864
4148 orang
6
1865
1901 orang
7
1866
2212 orang
8
1867
2445 orang
9
1868
3285 orang
10
1869
2855 orang
11
1870
3258 orang
12
1871
3504 orang
13
1872
5360 orang
14
1873
3786 orang
15
1874
4801 orang
16
1875
5655 orang
17
1876
5106 orang
18
1877
6893 orang
19
1878
5632 orang
20
1879
5438 orang
21
1880
10179 orang
22
1881
4605 orang
23
1882
4302 orang
24
1883
5.269 orang
25
1884
4.540 orang
26
1885
4.712 orang
27
1886
2.524 orang
28
1887
2.426 orang
29
1888
4.387 orang
30
1889
3.146 orang
31
1890
5.406 orang
32
1891
6.034 orang
33
1892
6.860 orang
34
1893
8.092 orang
35
1894
6.874 orang
36
1895
7.128 orang
37
1896
11.909 orang
38
1897
7.895 orang
39
1898
5.068 orang
40
1899
5.068 orang
41
1900
7.421 orang
42
1901
6.092 orang
43
1902
5.679 orang
44
1903
9.481 orang
45
1904
4.64 orang
46
1905
6.863 orang
47
1906
8.694 orang
48
1907
9.319 orang
49
1908
10.300 orang
50
1909
10.994 orang

Munculnya kebijakan kolonial Belanda itu karena Pemerintah Kolonial Belanda menganggap bahwa para jema’ah haji Indonesia  itu tidak mungkin akan mengadakan perlawanan terhadap negara penjajah setelah mereka pulang dari Mekah dan  juga tidak akan mungkin menyampaikan ajaran Pan Islamisme mengingat yang berangkat untuk menunaikan haji ke Mekah itu mayoritas rakyat biasa . Untuk  kalangan intelektual hanya sedikit yang pernah bermukim di sana sehingga untuk mempengaruhi dan menyampaikan doktrin Pan Islam kepada rakyat Indonesia sangat kecil.
Peningkatan jumlah jama’ah haji menurut  dari data yang diberikan oleh Husni Rahim selama 10 tahun yakni dari tahun 1853 sampai dengan tahun 1862 menurut analisa saya hanya terjadi selama 6 kali, yaitu : pada tahun 1854 sejumlah 305 orang jama’ah dengan persentase 21 %, tahun 1855 sejumlah 220 orang jama’ah atau 13 %, tahun 1856 sejumlah 1389 orang jama’ah atau 45 %, tahun 1858 sejumlah 1481 jama’ah atau 38 %, tahun 1861 sejumlah 572 jama’ah  atau 28 %, tahun 1862 sejumlah426 jama’ah atau 17 %.
Hal ini terbukti bahwa pasca dikeluarkan beslit baru tersebut jumlah jama’ah haji pada tahun 1853 sampai dengan tahun 1862 berangsur-angsur mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 1853. Peningkatan itu terjadi dalam kurun waktu selama 50 tahun yang dimulai dari tahun 1860 – 1909 .
Di sinilah berbagai kemudahan yang diberikan Pemerintah kolonial Belanda sebagaimana pendapat para ahli diatas tampak jelas, sebagai agent of change bagi jama’ah haji Indonesia karena beslit kedua itu memberikan kesempatan dan mempermudah bagi jama’ah calon haji yang akan ke Mekah guna menunaikan ibadah hajinya.
(Maaf, bagi yang menginginkan referensi tentang Pelaksanaan Ibadah haji di zaman kolonial Belanda bisa menghubungi 081377524758 atau kirim ke email : rasiman.bakrasyid@gmail.com)



Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila