rasiman.bakrasyid@gmail.com
A. Pendahuluan
Bagi umat Islam, hadits merupakan
sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Mengingat bahwa Al-Qur’an yang masih
begitu mujmalnya, untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang esensi dari
Al-Qur’an, maka Hadits adalah salah satu solusi terbaik yang mesti dipergunakan
karena hadits itu berisi segala hasil koleksisitas dari apa yang pernah
dilakukan nabi, diucapkan nabi atau yang disetujui oleh nabi (taqrir).
Semua sahabat, umumnya menerima hadis
dari Nabi SAW. Namun, dalam hal ini, para sahabat tidak sederajad dalam
mengetahui keadaan Rasul. Ada yang tinggal di kota, di dususn, berniaga,
bertukang dan ada pula yang sering bepergian, ada yang terus menerus beribadat,
tinggal di masjid tidak bekerja. Nabi pun tidak selalu mengadakan ceramah
terbuka, kadang-kadang saja beliau melakukan yang demikian (TM. Hasbi Ash-Shieddieqy,
2009 :.29).
Studi mengenai hadits menjadi
perbincangan antara Islam dan orientalisme yang merupakan sebuah studi prestisius. Karena
hampar setiap bidang kajian Islamic
berkaitan dengan orientalisme, baik itu tafsir, hadis, fikih, filsafat, sufisme
maupun sejarah. Masing-masing bidang studi tidak luput
dari sentuhan kajian para orientalis, bahkan mereka berhasil menghasilkan
karya-karya bermutu yang tidak dapat dilakukan oleh sebagian umat Islam. Lebih
dari itu, sebagian sarjana Muslim kadang menggunakan karya-karya mereka sebagai
bahan referensi dalam penelitian mereka.
Untuk itu, sungguh ironis
ketika kita sebagai umat Islam, hanya membangga-banggakan hadits sementara
tidak mau mempelajarinya secara mendalam. Oleh karena itu, wajar ketika para
orientalis ingin mengkaji, mempelajari untuk multi keperluan diantaranya untuk
penambahan
wawasan mereka, dan yang esensial adalah sebagai bahan untuk misionaris karena mereka telah
mengetahui kelemahan dari hadits-hadits tertentu yang
dimiliki Islam.
Keragu-raguan yang menyertai suatu
berita tidak hanya yang berkaitan dengan hal-hal ghaib, tetapi juga dalam
hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas keagamaan yang harus dikerjakan.
Adanya keraguan atau kebingungan yang dialami oleh seorang perawi hadis tidaklah
terlalu merugikan Islam.Kitab Allah ma’shum(terjaga dari kekeliruan,
penambahan atau pengurangan) demikian pula Sunnah Nabi SAW, pada umumnya
tetap utuh dan sehat. Kekeliruan seorang perawi sebenarnya adalah wajar dan
tidak mengherankan. Tetapi, yang mengherankan adalah adanya usaha
pembenaran terhadap kekeliruan ini, yang kemudian ditambah lagi dengan
pembelaan secara fanatik terhadapnya. Sikap seperti ini tidak pernah ada pada
diri para imam dan tidak pula terjadi kebiasaan para tokoh salaf maupun khalaf
(Syaikh Muhammad Al-Ghazali, 1994 : 159).
Kita harus berhusnudzan, bahwa dengan
adanya upaya orang-orang dari kalangan orientalis gemar melakukan penelitian
terhadap hadits, setidaknya menambah greget bagi umat Islam untuk
belajar hadits lebih mendalam.
Atas dasar di atas, maka penulis
memberikan beberapa masalah dalam kajian hadits bagi para orientalis, diantaranya :
- Bagaimana pandangan orientalis tentang hadits ?
- Siapa sajakah tokoh orientalis dan bagaimanakah pendapatnya tentang hadits ?
- Bagaimana isu-isu penting terhadap hadits-hadits yang populer di masyarakat tetapi bermasalah ?
B. Pembahasan
1.Pandangan Orientalis tentang Hadits
Berawal dari banyaknya fenomenologi Hadits yang di
miliki Islam yang sering menimbulkan pertentangan dan kontroversial serta multi
penafsiran di banyak kalangan, membuat para orientalis yang sudah lama
dendam aqidah dengan Islam cepat masuk dan mencari celah kesalahan serta
kelemahan Islam terutama hadits untuk keperluan misionaris mereka.
Penafsiran
hadits dalam pandangan orientalis banyak mengalami kelemahan, yang menurut
Abdur Rahman Wahid, dkk (1993 : 101) bahwa kelemahan orientalis ialah tidak
bertitik tolak pada keimanan jadi tidak percaya kepada agama Islam
Orientalis
menganggap bahwa Islam sebagai gejala yang diobservasi, jadi sangat fenomenologis,
misalnya dalam buku yang berjudul Hajarism maksudnya Hajar istri Ibrahim
itu yang oleh orientalis dianggap bahwa semua mentalitas orang Arab terutama
mentalitas yang kemudian menghasilkan agama Islam itu adalah Hajarism.
Para orientalis
dalam memberikan penafsiran dan pemahaman terhadap Hadits adalah karena
didasari nafsu dan dendam kepada umat Islam yang cukup lama karena mengapa
Islam diturunkan di Negara yang tandus seperti Arab pada waktu itu, bukan di
tempat yang subur seperti yang diharapkan oleh para orientalis.
Para orientalis
dalam memberikan penafsiran terhadap hadis kurang mempelajari tentang syarah
hadis, yaitu yang menjelaskan kesahihan dan kecacadan sanad dan matan hadis,
menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya (Mujiono
Nurkholis, 2005 : 3), atau kalau pun mempelajarinya hanya dari sudut pandang
yang satu, yakni hanya mencari kelemahan atau kecacadan hadis saja.
Para orientalis
kehilangan sebagian watak ilmiahnya, dan kemudian menjadi alat penjajah,
misalnya yang dramatis sekali seperti dilakukan oleh Snouck Hurgronje di
Indonesia. Hadits yang berbunyi الدنيى سِجْنُ الْمُؤْمِنٍ yang artinya adalah bahwa “ Dunia itu
adalah penjara bagi kaum mukminin” yang menurut orientalis adalah buatan
Van der Plas, yang padahal sesungguhnya adalah berasal dari Rasul Muhammad(
Abdurrahman wahid, 103) hal ini dipergunakan untuk propaganda dalam penjajahan
dan kolonialisme.
Di antara
orientalis yang karyanya, sedikit atau banyak, berkaitan dengan studi hadis
adalah Alois Sprenger (1813-1893), Sir William Muir (1819-1905), Ignaz
Goldziher (1850-1921), David Samuel Margoliouth, P. Henri Lammens (1862-1937),
Snouck Hurgronje (1857-1936), Leone Caetani (1869-1926), Josef Horovitz
(1873-1931), Gregor Schoeler, Patrcia Crone, Alfred Guillaume (1888- ), James
Robson (1890- ), Joseph Schacht (1902-1969), G. Weil, R. P. A. Dozy, Michael A.
Cook, Norman Calder, David S. Powers, M. J. Kister, Daniel W. Brown, L. T.
Librande, Nabia Abbot, Rafael Talmon, Brannon Wheeler, Noel J. Coulson, Charles
J. Adams, Herbert Berg, G. Lecomte, R. Sellheim, R. Marston Speight, John
Wansbrough, Burton, Hinds, Hawting, Uri Rubin, J. Fück, H. A. R. Gibb, W. M.
Watt, Nabia Abbot, G. H. A. Juynboll, dan Harald Motzki.
Karya para
orientalis dan sebagian sarjana Muslim kontemporer saat ini yang mengalami
krisis pemikiran dan pemahaman terhadap sunnah dan cara bermuamalah yang ironisnya krisis ini terjadi pada masa
adanya fenomena kebangkitan Islam sebagai tumpuan harapan umat Islam baik yang
berada di Timur tengah maupun Barat, namun banyak dari kalangan mereka terlibat
di dalamnya dan mempunyai pemahaman yang pincang terhadap sunnah yang suci (
Yusuf Qardawi, Bandung : 17) .
Oleh karena
itu, mereka disanggah oleh sebagian sarjana Muslim seperti Muhammad Mustafa
al-A’zami dalam Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Fuat M.
Sezgin dalam Geschichte der Arabischen Schrifttummms, Mustafa al-Siba’i dalam
al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri’, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam Abu
Hurayrah: Rawiyah al-Islam, ‘Abd al-Rahman ibn Yahya al-Mu’alimi al-Yamani
dalam al-Anwar al-Kashifah li ma fi Kitab Adwa’ ‘ala al-Sunnah min al-Zalal wa
al-Tadlil wa al-Mujazafah, MuhammadMuhammadAbu Shuhbah Difa’ ‘an al-Sunnah wa
Radd Shubah al-Mustashriqin wa al-Kuttab al-Mu’asirin, dan Nur al-Din ‘Itr
dalam Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith.
Dua karya monumental ini sekaligus
bukti bahwa tidak semua karya para orientalis jelek, bahkan sebaliknya. Memang
sebagian karya mereka tidak luput dari motivasi sentimen keagamaan yang
berujung pada kesalahan, baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Hanya saja,
dari masa ke masa kajian sebagian orientalis mengalami pergeseran paradigma
dari subyektivisme yang dipacu oleh sentimen keagamaan menuju obyektivisme yang
dimotori oleh keterbukaan dan kejujuran intelektual.
Sebagai bukti, dalam
bidang hadis, mereka meracik sebuah kamus besar guna melacak keberadaan sebuah
hadis berdasarkan teks utama dari hadis tersebut dalam enam buku koleksi hadis
kanonik, Sunan al-Darimi, Muwatta’ Malik, dan Musnad Ahmad ibn Hanbal dengan
judul Concordance Et Indices De La Tradition Musulmane (al-Mu’jam al-Mufahras
li Alfāz al-Hadīth al-Nabawī) dalam tujuh jilid tebal. Kamus
hadis ini adalah karya sekelompok orientalis yang dipublikasikan oleh A. J.
Wensinck dan J. P. Mensing. Selain kamus ini, A. J. Wensinck meracik kamus
hadis yang lebih kecil darinya yang berjudul Miftah Kunuz al-Sunnah.
Dengan
mencermati ide-ide utama mereka, penulis berkesimpulan bahwa mereka seakan-akan
terlibat dalam jaringan intelektual yang sangat erat; saling mewarisi ide,
mengembangkan, merevisi, bahkan mengkritik dan menolaknya habis-habisan.
Sayangnya, sebagian sarjana Muslim kontemporer terpengaruh oleh ide-ide mereka,
seperti Mahmud Abu Rayyah pengarang dua buku kontroversial Adwa’ ‘ala al-Sunnah
al-Muhammadiyyah aw Difa’ ‘an al-Hadith dan Shaykh al-Mudirah: Abu Hurayrah,
Ahmad Amin pengarang trilogi buku Fajr al-Islam, Duha al-Islam, dan Yawm
al-Islam, dan Kassim Ahmad pengarang I’adah Taqyim al-Hadith: al-‘Awdah ila
al-Qur’an.
Dalam makalah ini, fokus kajian
penulis adalah studi hadis yang dilakukan sebagian orientalis lintas generasi.
Idealnya, kajian ini mencakup studi hadis semua orientalis, tetapi karena
alasan tertentu penulis hanya akan menitiberatkan pada studi hadis garapan
sebagian orientalis tentang teori sistem isnād, evolusi historisitas hadis, dan
problem validitas hadis.
Secara metodologis, pembatasan kajian
pada sebagian orientalis ini masih bisa dipertanyakan, karena tidak akan
menghasilkan pemahaman utuh terhadap sikap dan pandangan mereka terhadap hadis,
terutama tentang tentang teori sistem isnād, evolusi historisitas hadis, dan
problem validitas hadis. Tetapi sependek penelitian penulis, ide-ide sebagian
orientalis cukup merepresentasikan hasil studi hadis orientalis lainnya dan
cukup menggemparkan jagad pemikiran Islam modern-kontemporer. Selain alasan ini, referensi signifikan
yang ada hanya seputar studi hadis mereka sangat terbatas.
Terlepas
dari perdebatan para sarjana Muslim baik klasik maupun kontemporer tentang
persamaan atau perbedaan antara isnad dan sanad, posisi isnad dan sanad sangat
urgen dalam Islam. Urgensinya terletak pada tradisi keilmuan utama Islam,
seperti tafsir, hadis, fikih, teologi, dan sejarah. Para sarjana Muslim klasik
menyajikan materi dalam buku-buku mereka dengan cara mencantumkan riwayat dan
pendapat dengan menisbatkan ke empunya, terutama dalam bidang hadis.
Berkaitan
dengan relasi antara isnad dan hadis, bila mayoritas sarjana Muslim Sunni
sepanjang sejarah meyakini permulaan sistem isnad bersamaan dengan proses
periwayatan hadis, maka sebagian orientalis tidak demikian. Mereka masih saja
mempersoalkan permulaan dan validitas sistem isnad, sebuah sistem periwayatan
hadis handal khas Islam, yang menurut Ibn al-Mubarak merupakan bagian dari
Islam. Bahkan mereka berbeda pendapat secara tajam.
Sebelum
membahas perbedaan pendapat para orientalis tentang teori sistem isnad, hasil
penelitian Muhammad Hamzah perlu diungkap terlebih dahulu. Menurutnya, banyak
peneliti berpendapat bahwa isnad bermula setelah terjadinya “fitnah”
berdasarkan pada perkataan Ibn Sirin: “Mereka tidak biasa bertanya tentang isnad.
Ketika terjadi fitnah mereka berkata, “Berilah nama orang-orang kalian!” Bila
Ahli Sunnah, maka hadis mereka diterima dan bila ahli bid’ah, maka hadis mereka
tidak diterima.” Hanya saja menentukan sejarah permulaan isnad dengan kejadian
fitnah ini menyisakan permasalahan: fitnah apakah yang dimaksud oleh Ibn Sirin?
Sebagaimana
dinukil oleh Muhammad Hamzah, Joseph Schacht (1902-1969), orientalis Jerman,
dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence berpendapat bahwa fitnah yang
dimaksud oleh Ibn Sirin adalah fitnah pembunuhan al-Walid ibn Yazid ibn ‘Abd
al-Malik ibn Marwan (w. 126 H) berdasarkan pada persamaan penggunaan kata
“fitnah” antara perkataan Ibn Sirin dan apa yang disebutkan al-Tabari dalam
Tarikh-nya, bahwa dalam kejadian-kejadian pada tahun 126 H perkara Bani Marwan
kacau-balau dan terjadilah fitnah. Hipotesis ini menyeretnya untuk menjadikan
perkataan Ibn Sirin sebagai bahan karena ia wafat pada tahun 110 H, yaitu
sebelum terjadinya fitnah.
Berbeda
dengan Schacht, James Robson (1890- ) mengajukan interpretasi lain mengenai
fitnah tersebut. Menurutnya, fitnah itu adalah fitnah ‘Abd Allah ibn al-Zubayr
pada tahun 72 H ketika ia memproklamasikan dirinya sebagai khalifah. Orientalis
ini mendasarkan pendapatnya pada perkataan fitnah yang dilontarkan oleh Malik
ibn Anas atas gerakan Ibn al-Zubayr. Berdasarkan itu, isnad muncul setengah
abad lebih awal dari penentuan Schacht karena ini sesuai dengan umur Ibn Sirin.
Ia juga mengilustrasikan kepada kita kemungkinan menerima keterlibatan dan
pengetahuan Ibn Sirin tentang apa yang terjadi pada saat itu.
Pada
gilirannya, sebagaimana akan terlihat dalam pembahasan berikutnya, interpretasi
fitnah Schacht dan Robson memengaruhi pandangan mereka tentang teori permulaan
penggunaan isnad, evolusi historitas hadis, dan problem validitas hadis. Bila
mereka berdua mendasarkan teori permulaan isnad-nya pada penentuan penanggalan
fitnah di kalangan umat Islam, maka Sprenger, Caetani, dan Horovitz mendasarkan
teori kemunculan isnad pada tulisan-tulisan ‘Urwah, sosok yang dianggap sebagai
penghimpun hadis pertama.
Alois
Sprenger (1813-1893), orientalis Jerman generasi pertama yang mula-mula skeptis
terhadap orisinalitas hadis, sependapat dengan Leone Caetani (1869-1926),
orientalis Italia. Dengan nada skeptis, sebagaimana dinukil oleh MuhammadBaha’
al-Din, Sprenger mengemukakan argumentasinya bahwa tulisan-tulisan ‘Urwah
kepada ‘Abd al-Malik tidak disertai dengan sanad-sanad. Oleh sebab itu, apa pun
yang dinisbatkan kepada ‘Urwah berupa penggunaan sanad-sanad pasti muncul
relatif lebih akhir.
Sementara
itu Caetani, sebagaimana menurut Muhammad Mustafa al-A’zami, meyakini bahwa penggunaan isnad untuk
hadis-hadis Nabi belum dikenal pada masa ‘Abd al-Malik (80 H) atau lebih dari
enam puluh tahun paska Nabi saw. wafat, karena ‘Urwah (w. 94 H), penghimpun
hadis pertama, tidak menggunakan isnad dan tidak menyebutkan referensi
pembicaraannya selain al-Qur’an sebagaimana tampak dengan jelas dalam
penukilan-penukilan al-Tabari darinya. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa
penggunaan sanad-sanad bagi hadis dimulai antara ‘Urwah dan Ibn ‘Ishaq (151 H),
sehingga sebagian besar sanad yang ada dalam buku-buku sunnah pastilah kreasi
para sarjana hadis pada abad kedua hijriah, bahkan begitu juga pada abad ketiga (1992
Di pihak
berseberangan, Josef Horovitz (1873-1931), orientalis Jerman, membantah keras
pendapat Sprenger dan Caetani. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pihak yang
menafikan penggunaan ‘Urwah terhadap isnad tidaklah mengkaji tulisan-tulisan
dan sanad-sanadnya dengan sempurna. Ia sampai pada kesimpulan bahwa penggunaan isnad
untuk hadis bermula sejak sepertiga yang ketiga dari abad pertama hijriah.
Menurut Muhammad Baha’
al-Din, Horovitz menuangkan kritik ini dalam bukunya Alter and Ursprung des
Isnad Der Islam VIII pada tahun 1918. Akram al-‘Umri menyebutkan dua pendapat
Horovitz. Pertama, Robson menarik kesimpulan bahwa Horovitz sependapat dengan
Caetani yang berpendapat bahwa sanad belum ada sebelum tahun 74 H. Kedua, isnad
pada masa sebelum al-Zuhri merupakan kebiasaan, bukan sesuatu yang telah paten.
Jauh
berbeda dengan tiga orientalis di atas, Ignaz Goldziher (1850-1921) melangkah
lebih ekstrem. Menurut orientalis Hungaria ini, sebagaimana dinukil oleh Ali
Masrur, isnad adalah hasil dari perkembangan pemikiran generasi Islam awal.
Pendapat ini sama dengan pendapat Joseph Schacht. Orientalis spesialis
hadis-hadis fikih ini, sebagaimana dikutip oleh MuhammadBaha’ al-Din,
berpendapat bahwa isnad diketahui secara luas berawal dari bentuk sederhana dan
mencapai kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga hijriah. Banyak isnad
yang tidak mendapatkan perhatian dan kelompok apa pun yang ingin menisbatkan
pendapat-pendapatnya kepada orang-orang terdahulu (al-mutaqaddimun), maka
mereka memilih figur-figur itu lalu meletakkannya ke dalam isnad.
Masih
menurut Schacht, sebagaimana dikutip oleh Ali Masrur, isnad memiliki kecenderungan
untuk berkembang ke belakang. Isnad berawal dari bentuk yang sederhana, lalu
diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran fikih
klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi.
Dengan kata lain, isnad merupakan rekayasa sebagai hasil dari pertentangan
antara aliran fikih klasik dan ahli hadis. Pendapat terakhir Schacht ini
dikenal dengan nama projecting back theory.
Pendapat
senada diutarakan oleh Noel J. Coulson. Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Baha’ al-Din, ia berpendapat bahwa demi mengukuhkan madhhab dalam mengikuti
apa yang sudah ditetapkan dari hukum-hukum al-Qur’an, ahli hadis mulai
menisbatkan banyak kaidah dan hukum secara salah kepada Rasulullah saw. Mereka
menciptakannya dalam bentuk cerita-cerita dan informasi-informasi tentang apa
yang dikatakan dan dilakukan Muhammad dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Itu
adalah akibat kepercayaan kokoh mereka bahwa Nabi saw. akan memutuskan secara
tegas dengan hukum-hukum yang dinisbatkan kepadanya ketika ia menghadapi
persoalan-persoalan yang terjadi.
Jika
dibandingkan dengan pendapat Goldziher, Schacht, dan Coulson, maka pendapat
Robson lebih lunak. Menurut orientalis Inggris ini, sebagaimana dikutip oleh
Ali Mustafa Yaqub, pada pertengahan abad pertama hijriah mungkin sudah ada
suatu metode semacam sanad. Sebab pada pada masa itu sejumlah sahabat sudah
wafat, sedangkan orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi saw. mulai
meriwayatkan hadis-hadisnya. Dengan sendirinya mereka akan ditanya oleh
orang-orang yang mendengarnya, dari siapa mereka mendapatkan hadis-hadis itu.
Hanya saja metode sanad secara detail tentulah berkembang sedikit demi sedikit
setelah itu.
Setelah itu
Robson menarik kesimpulan, sebagaimana dinukil oleh Muhammad Mustafa al-A’zami,
dengan berkata sebagai berikut:
Sesungguhnya
kita tahu bahwa Ibn Ishaq pada paruh kedua dari abad kedua hijriah memberikan
informasi-informasinya tanpa sanad. Sebagian besar yang tersisa darinya tanpa
sanad utuh dan para pendahulunya pasti lebih sedikit memperhatikan sanad-sanad
dibanding dirinya. Tetapi tidak tepat kita berkata, “Sesungguhnya isnad berasal
dari masa al-Zuhri dan tidak diketahui pada masa ‘Urwah, sementara sistem isnad
yang mencapai kesempurnaannya memakan waktu lama dan berkembang dengan lambat.
Sebagian orang mungkin bisa menerima bahwa sebagian sanad bermula sejak dulu
sebagaimana yang diklaim orang.
Masih
berkaitan dengan posisi Ibn Ishaq dalam persoalan permulaan isnad, W.
Montgomery Watt, orientalis Inggris, berpendapat bahwa sanad bermula dari
bentuk tidak sempurna. Ia berargumentasi dengan apa yang terdapat dalam buku
Ibn Ishaq pada paruh pertama dari abad kedua hijriah dan dengan al-Waqidi,
seorang juru tulis Ibn Sa’ad yang kira-kira dua puluh tahun lebih muda darinya,
yang berusaha menyebutkan silsilah para periwayat (ruwat) dengan sempurna.
Orang yang memaksakan diri menyebutkan silsilah para periwayat dengan sempurna
adalah al-Shafi’i, orang yang sezaman dengan al-Waqidi. Sehingga bila
penyebutan sanad yang sempurna sudah tersebar luas, maka para sarjana hadis
terdorong untuk menisbatkan sanad kepada orang-orang yang sezaman dengan Muhammadsaw.,
sehingga ketika mereka menisbatkan kepada para periwayat, maka penisbatan
mereka akan menjadi benar karena mereka mengetahui dari mana para pendahulu
mereka mendapatkan informasi-informasinya.
Pendapat
yang bertolak belakang dengan para orientalis di atas dikemukakan oleh Nabia
Abbot. Sebagaimana dikutip oleh Ali Masrur, ia menyatakan bahwa praktik
penulisan hadis sudah berlangsung “sejak awal” dan “berkesinambungan”. Kata
“sejak awal” di sini mengandung arti bahwa para sahabat Nabi saw. sendiri telah
menyimpan catatan-catatan hadis, sementara kata “berkesinambungan” berarti
bahwa sebagian besar hadis memang diriwayatkan secara tertulis, selain tentunya
juga dengan lisan, hingga akhirnya hadis-hadis itu dihimpun dalam berbagai
koleksi kanonik.
Teori
sistem isnad sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, karena isnad
tidak bisa dipisahkan dari hadis. Oleh sebab itu, bila seorang peneliti
berangkat dari asumsi salah tentang teori isnad, maka pada gilirannya ia akan
memengaruhi pandangannya tentang evolusi historisitas hadis; apakah kemunculan isnad
bersamaan dengan kemunculan hadis atau ia muncul jauh sesudah hadis itu
disabdakan oleh Nabi saw. dan apakah hadis-hadis dalam buku-buku koleksi hadis
itu benar-benar berasal dari Nabi saw. atau tidak. Ini juga masuk pada
persoalan otentisitas dan validitas hadis.
Dalam hal
ini, pendapat Goldziher dalam Muhamedanische Studien perlu dikemukakan. Sebab,
menurut MuhammadMustafa al-A’zami, buku ini ibarat kitab suci pegangan para
peneliti di dunia orientalisme. Dalam buku ini Goldziher mencatat, sebagaimana
dinukil oleh Ali Masrur, bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang
paling awal. Akan tetapi, karena kandungan hadis yang terus membengkak pada era
selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim materi hadis berjalan paralel
dengan doktrin-doktrin fikih dan teologi yang seringkali saling bertentangan,
maka dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadis-hadis orisinal
yang berasal dari Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam koleksi kitab hadis
merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua
abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada
masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut.
Pendapat
dengan substansi hampir senada, tetapi dengan rangkaian kata berbeda dicetuskan
oleh Schacht melalui projecting back theory gagasannya. Teori yang juga dikenal
dengan nama backward-projection theory atau nazariyyah al-qadhaf al-khalfi li
al-asad ini termasuk teori penting dalam kajian hadis orientalis yang sedikit
atau banyak memengaruhi pemikiran dua sarjana Muslim kontemporer, A. A. Fyzee
dan Fazlur Rahman. Schacht menegaskan bahwa hukum Islam belum eksis pada masa
al-Sha’bi (w. 110 H). Oleh sebab itu, bila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan
dengan hukum, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah
al-Sha’bi. Hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para hakim agama (qadi)
yang baru dilakukan pada masa Dinasti Umayyah. Keputusan-keputusan yang
diberikan pada qadi ini memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki
otoritas lebih tinggi. Oleh karena itu, mereka tidak menisbatkan
keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menyandarkannya
kepada tokoh-tokoh sebelumnya demi memperoleh legitimasi lebih kuat, yang
semakin lama semakin jauh ke belakang hingga kepada Nabi Muhammad saw.
Bila
merujuk pada teori ini, maka klaim kesejarahan hadis yang diyakini umat Islam
tidak berguna lagi. Sebab teori ini secara tidak langsung menafikan kemunculan
hadis pada masa Rasulullah saw., tetapi muncul jauh sesudah beliau wafat di
tangan para qadi yang dibubuhi sanad serta diproyeksikan pada generasi-generasi
sebelumnya. Dengan kata lain, hadis tidak otentik berasal dari Nabi, tetapi
hanya kreasi orang-orang setelahnya.
Tidak jauh
dari pendapat Schacht, salah seorang orientalis yang banyak dipengaruhi oleh
tulisan-tulisan Goldziher dan Schacht dan memusatkan perhatiannya pada kajian
hadis selama puluhan tahun, G. H. A. Juynboll, mengatakan bahwa pada paruh
pertama dari abad pertama hijriah hadis Nabi tidak mendapatkan perlakuan
seperti generasi-generasi Muslim belakangan. Ia berargumentasi dengan informasi
dari buku-buku koleksi hadis empat khalifah: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Uthman, dan
‘Ali. Khusus khalifah pertama, jarang sekali ia menemukan dalam
karangan-karangan terdahulu seperti Tabaqat karya Ibn Sa’ad hadis-hadis dari
lisan khalifah ini. Malik tidak meriwayatkannya dalam al-Muwatta’-nya kecuali
empat puluh empat hadis. Satu di antaranya hadis musnad kepada Nabi dengan isnad
tidak terputus. Dalam Musnad al-Tayalisi ia menemukan sembilan hadis milik Abu
Bakar. Tujuh di antaranya tentang al-targhib dan al-tarhib. Sedangkan Musnad
Ahmad ibn Hanbal ia menemukan sembilan puluh tujuh dengan pengulangan, sisanya
tentang bermacam-macam tema, dan enam hadis yang tidak berkaitan dengan
hukum-hukum haram-halal. Berkaitan dengan Sahih al-Bukhari, ia menemukan lima
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar. Juyboll lalu menarik kesimpulan melalu
perbandingan koleksi hadis yang beragam dalam sejarah kodifikasinya bahwa tidak
mungkin memasukkan Abu Bakar dalam daftar para periwayat atau periwayat terbanyak
dan bahwa hadis-hadis tidak berperan penting sepanjang kekhalifahannya.
Pendapat
Juynboll menarik sehingga perlu dieksplorasi lebih jauh. Kalau kita merujuk
pada koleksi hadis tiga khalifah pertama selain Abu Bakar al-Siddiq (w. 13 H)
dalam buku-buku hadis kanonik, maka kita mendapatkan data serupa yaitu mereka
bertiga tidak termasuk para periwayat hadis dengan koleksi hadis terbanyak
seperti Abu Hurayrah (w. 59 H), ‘Ad secara ketat, sebagaimana tersurat dalam
perkataan Ibn Sirin di atas. Secara tidak langsung, itu juga membuktikan bahwa
proses transmisi hadis sebelum terjadinya fitnah berlangsung dengan longgar dan
tidak mendapatkan perhatian ekstra dibanding periode-periode belakangan.
Pendapat
Harald Motzki selaras dengan tesis tersebut. Menurutnya, sebagaimana dinukil
oleh Wael Hallaq dalam The Origins and Evolution of Islamic Law, tampak jelas
bahwa hadis tidak berperan dalam bentuk-bentuk pemikiran fikih yang berkembang
pada awal-awal kemunculannya. Penggunaan rasio terus berkembang sejak periode
pertama hingga pertengahan abad kedua hijriah/abad kedelapan masehi. Hasil
studi statistik salah seorang peneliti menunjukkan bahwa sepertiga dari
riwayat-riwayat al-Zuhri berisi penalaran rasio, sementara sepertiga terakhir
hanya mengandung pendapat-pendapat yang dinisbatkan kepada para pendahulu.
Hasil studi statistik itu juga menunjukkan bahwa Qatadah berpegang pada rasio
sebanyak 62% dalam riwayat-riwayatnya yang sangat menunjukkan bahwa 84% dari
bagian yang tersisa atau 32% dari keseluruhan riwayat berisi penalaran rasio
para pendahulu.
Selain
pendapat Goldziher, Schacht, Juynboll, dan Motzki tentang persoalan evolusi
historisitas hadis di atas, MuhammadMustafa al-A’zami menyebut pendapat
sebagian orientalis bahwa hadis-hadis Nabi ada dengan bentuk sederhana pada
akhir abad pertama hijriah dan kemudian berkembang, sedangkan sebagian lagi
berpendapat bahwa ia muncul pada abad kedua hijriah dan menjadi sempurna pada
abad ketiga hijriah. Sayangnya, al-A’zami tidak menyebut nama mereka sehingga
tidak bisa dilacak dan dieksplorasi lebih jauh.
Bila teori
sistem isnad sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, maka dua
hal itu juga sangat memengaruhi problem validitas hadis. Sebab sistem isnad
adalah sistem untuk mengukur tingkat akurasi periwayatan hadis, sehingga hadis
itu bisa dinilai valid atau tidak. Dengan kata lain, validitas hadis sangat
bergantung pada penilaian terhadap akurasi penerapan sistem isnad.
Sementara
itu, pengkajian terhadap evolusi historisitas hadis sangat membantu pelacakan
otentisitas dan validitas sebuah hadis. Dengan kata lain, apakah keadaan sebuah
hadis bisa dibuktikan dengan adanya catatan historis atau tidak. Oleh sebab
itu, hasil kajian yang salah terhadap salah satu dari tiga hal tersebut sangat
memengaruhi hasil kajian yang lain.
Menurut Muhammad
‘Abd al-Razzaq Aswad dalam disertasinya
Al-Ittijahat al-Mu’asirah fi Dirasah al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Misr wa Bilad
al-Sham, Goldziher termasuk dalam lingkaran orientalis seperti Caetani, Guston
White, dan Wensinck yang berpendapat bahwa para sarjana hadis Muslim hanya
mengkritik sanad hadis, tidak mengkritik matan-nya.
Menurut
Goldziher, sebagaimana diringkas oleh MuhammadHamzah, umat Islam hanya fokus
pada kritik sanad tanpa kritik matan. Itu berasal dari peran dari kesaksian
atas kehidupan religi umat Islam, sehingga tingkat kesahihan hadis ditentukan
oleh derajat keadilan para periwayatnya. Meskipun dengan metode ini umat Islam
berhasil mengetahui banyak hal dan memisahkan banyak hadis yang silsilah isnad-nya
terdiri dari para periwayat mudallis, tetapi itu tidak cukup guna mendeteksi
hadis-hadis palsu. Sebab para pemalsu dan para mudallis berhasil mengedarkan
banyak hal dengan merangkai sanad-sanad imajinatif untuk hal-hal yang hendak
mereka edarkan. Pada saat yang sama, para mudallis mendasarkan periwayatan
hadis-hadis aneh mereka pada para periwayat terkenal. Silsilah sanad-sanad
imajinatif banyak memengaruhi para audiens yang cenderung mempercayai apa yang
diriwayatkan dari mereka.
Selanjutnya,
ia menarik kesimpulan bahwa langkah-langkah yang diterapkan dalam penyelidikan
dan penyaringan isnad-isnad kurang memadai dan gagal menyaring hadis-hadis dari
penambahan-penambahan yang tampak dengan jelas, karena kritik hadis dalam
pandangan umat Islam sejak awal lebih didominasi oleh aspek eksternal. Oleh
sebab itu, obyek kritiknya hanya pada aspek eksternal saja. Kesahihan matan
lebih terikat pada kritik silsilah isnad. Jika sanad hadis lolos dari
kaidah-kaidah kritik aspek eksternal, maka matan-nya juga akan sahih meskipun
bertentangan dengan realita atau berisi hal-hal kontradiktif.
Bila
Goldziher hanya meragukan validitas hadis, maka Schacht melangkah lebih jauh
lagi darinya. Orientalis yang mengklaim dirinya sebagai penerus Goldziher ini
menyatakan bahwa tidak ada satu pun hadis yang sahih, terutama hadis-hadis
fikih. Ia melampaui Goldziher dengan mengganti sikap skeptisnya menjadi sikap
penuh keyakinan dalam menolak kesahihan hadis.
Dalam
meragukan dan menolak validitas hadis, sebagai sarjana dengan reputasi baik
tentu saja mereka menggunakan perangkat keilmuan dengan usaha bertahun-tahun
sehingga sampai pada kesimpulan tersebut. Sebagai orientalis kenamaan,
Goldziher meneliti beragam disiplin keilmuan Islam, termasuk hadis. Begitu juga
Schacht melalui kajian mendalam terhadap al-Muwatta’ karya Malik ibn Anas dan
al-Risalah karya Muhammadibn Idris al-Shafi’i. Usaha mereka berdua kemudian
dilanjutkan oleh orientalis-orientalis lain, seperti G. H. A. Juynboll dan
Harald Motzki, baik itu berupa kritik, pengembangan dari penemuan sebelumnya,
bahkan penemuan-penemuan baru.
Juynboll,
misalnya, berusaha sunguh-sungguh mengembangkan teori common link gagasan
Schacht dalam meneliti otentisitas dan validitas hadis. Menurut Ali Masrur, ia
menggunakannya untuk menyelidiki asal-usul dan sejarah awal periwayatan hadis
selama dua puluh tahun terakhir ini. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa
semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik yang
menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, semakin besar pula seorang
periwayat dan jalur periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.
Ia
menawarkan teori ini sebagai ganti dari metode kritik hadis konvensional. Jika
metode kritik hadis konvensional berpijak pada kualitas periwayat, maka metode
common link tidak hanya menekankan kualitas periwayat saja, tetapi juga
kuwantitasnya. Menurutnya, kritik hadis konvensional memiliki beberapa
kelemahan yang cukup mendasar dan tidak mampu memberikan kepastian mengenai
sejarah periwayatan hadis.
Sementara
itu, menurut Ali Masrur, dalam upayanya memperbaiki metode analisis isnad
Juyboll, Motzki mengajukan suatu metode yang disebut dengan metode analasis isnad-cum-matn.
Metode ini bertujuan untuk menelusuri sejarah periwayatan hadis dengan cara
membandingkan varian-varian yang terdapat dalam berbagai kompilasi yang
berbeda-beda. Tentu saja metode ini tidak hanya menggunakan isnad, tetapi juga
matan hadis. Dalam mengamati varian-varian hadis yang dilengkapi dengan isnad,
metode ini berangkat dari asumsi dasar bahwa sebagian berbagai varian dari
sebuah hadis, setidak-tidaknya sebagiannya, merupakan akibat dari proses
periwayatan dan juga bahwa isnad dari varian-varian itu, sekurang-kurangnya
sebagiannya, merefleksikan jalur-jalur periwayatan yang sebenarnya.
Data-data
di atas menunjukkan adanya jaringan intelektual yang kuat antara Goldziher,
Schacht, Juynboll, dan Harald Motzki, terutama pengaruh pemikiran-pemikiran
hadis Goldziher terhadap Schacht dan Joynboll. Ini terbukti salah satunya
dengan keterkaitan ide dan kajian mereka di samping pengakuan mereka sendiri.
Bahkan menurut Fuat Sezgin, sebagaimana dinukil oleh Nur al-Din ‘Itr, para
peneliti menganggap pencapaian-pencapaian Goldziher dalam hal ini secara umum
bersifat pasti. Oleh karena itu, dalam proses penelitian terhadap
perkara-perkara utama dan rincian-rinciannya mereka mencukupkan diri pada
pencapaian-pencapaian Goldziher.
Lebih dari
itu, dalam mengkaji seluk-beluk hadis, para orientalis memiliki istilah-istilah
teknis tertentu yang sama atau berbeda sama sekali dengan istilah-istilah
teknis kreasi para sarjana Muslim, seperti kritik internal, kritik eksternal,
common link, common link cum partial common link, real common link, seeming (artificial)
common link, inverted common link, inverted partial common link, partial common
link, diving strand, single strand, argumente silentio, fabricator, source
critical method, spider, geometric progression, isnad-cum-matn, dan terminus
ante quem.
2. Tokoh-tokoh Orientalis dan pendapatnya
tentang Hadits
Berikut
ini, penulis contohkan beberapa tokoh orientalis dari sekian banyak yang
memperbincangkan hadis sebagai bahan pengetahuan guna instropeksi kita bahwa
begitu penting ilmu dalam kehidupan, terlebih ilmu hadis yang dijadikan sebagai
sumber dasar hukum kedua setelah al-Qur’an bagi umat Islam, yaitu :
a. Ignaz Goldziher (1850-1921)
Dia adalah
seorang revisionis hadits, dalam bukunya yang berjudul Muhammedianische
Studien menyatakan keraguannya atas kesejarahan dan keshahihan hadits . Ada empat argumentasi Goldziher dalam meragukan kesahihan hadis
Nabi saw. Pertama, koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber
tertulisnya dan memakai istilah-istilah isnad yang lebih mengimplikasikan periwayatan
lisan daripada periwayatan tertulis. Kedua, adanya hadits-hadits yang
kontradiktif. Ketiga perkembangan hadits secara massal tidak termuat
dalam koleksi hadits sebelumnya. Keempat, para sahabat kecil lebih
banyak mengetahui nabi dalam arti mereka lebih banyak meriwayatkan hadits dari
pada sahabat besar (Juynboll, 2007 : 33-34).
b. A. Sprenger (1813-1893)
Berpendapat bahwa
hadits yang ada itu sebagiannya adalah palsu (Juynboll, 18).
c. Joseph Schacht
(1902-1969)
Mengatakan bahwa isnad sebenarnya memiliki
kecenderungan berkembang ke belakang dimana pada awalnya hadits hampir tidak
pernah kembali pada nabi atau sahabat tetapi disebarkan berdasarkan otoritas
para sahabat Juynboll, 18).
d. G.
Weil, W. Muit dan R.P.A Dozy
Berpendapat
bahwa seidak-tidaknya separo hadits yang terdapat dalam koleksi al-Bukhori adalah otentik (Juynboll, 18).
e. Michael A. Cook
Dia mengakui bahwa metode Van Ess adalah metode seorang orientalis yang
mengkritik Common Link 9 Juynboll, 184).
f. A.M.M Azami
Dia
mengkritik metode common link bahwa menurutnya metode common link dalam
pengambilam kesimpulannya tidak relevan dan tidak mendasar sama sekali
(Juynboll,170) disamping itu juga ia berpendapat bahwa hadis apapun yang
diriwayatkan dari Nabi yang isinya keberatan atas praktik kebiasaan ini
tentunya adalah hadis palsu (Juyboll, 173).
g. H.H Motzki
Menurutnya
adalah banyak bukti yang mengidentifikasikan bahwa common link adalah para
kolektor hadis sistematis pertama yang sekaligus berperan sebagai guru yang
menjarkan ilmu pengetahuan secara umum dan mengajarkan hadis secara khusus
(Juynboll, 177).
h. Norman Calder
Bahwa
dia meragukan validitas metode common link dan informasi sejarah yang
didapatkan melaluinya.
i.
David Powers
Dia seorang pakar
hukum waris dari Cornell University, New York yang menggunakan metode Common
link dalam penelitiannya tentang hukum waris di masa awal Islam yang mengatakan
bahwa hukum Islam secara umum bersumber dari kehidupan Nabi, yang untuk
membuktikan teorinya Powers mengatakan bahwa : pertama, dia membatasi
pembagian waris sepertiga dan mengkaitkannya dengan persoalan hukum waris dalam
Islam. Kedua, analisis terhadap sembilan belas matan hadis Speight yang
mengarahkan pada kesimpulan bahwa tidak ada lagi alasan untuk menerima
penanggalan dari pembatasan wasiat sepertiga pada periode Umayyah (
Juynboll,199).
j. G.
H. A. Juynboll,
mengatakan
bahwa pada paruh pertama dari abad pertama hijriah hadis Nabi tidak mendapatkan
perlakuan seperti generasi-generasi Muslim belakangan. Ia berargumentasi dengan
informasi dari buku-buku koleksi hadis empat khalifah: Abu Bakar, ‘Umar,
‘Uthman, dan ‘Ali. Khusus khalifah pertama, jarang sekali ia menemukan dalam
karangan-karangan terdahulu seperti Tabaqat karya Ibn Sa’ad hadis-hadis dari
lisan khalifah ini. Malik tidak meriwayatkannya dalam al-Muwatta’-nya kecuali
empat puluh empat hadis. Satu di antaranya hadis musnad kepada Nabi dengan isnad
tidak terputus. Dalam Musnad al-Tayalisi ia menemukan sembilan hadis milik Abu
Bakar. Tujuh di antaranya tentang al-targhib dan al-tarhib. Sedangkan Musnad
Ahmad ibn Hanbal ia menemukan sembilan puluh tujuh dengan pengulangan, sisanya
tentang bermacam-macam tema, dan enam hadis yang tidak berkaitan dengan hukum-hukum
haram-halal. Berkaitan dengan Sahih al-Bukhari, ia menemukan lima hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Bakar. Juyboll lalu menarik kesimpulan melalu
perbandingan koleksi hadis yang beragam dalam sejarah kodifikasinya bahwa tidak
mungkin memasukkan Abu Bakar dalam daftar para periwayat atau periwayat
terbanyak dan bahwa hadis-hadis tidak berperan penting sepanjang
kekhalifahannya.
Pendapat
Juynboll menarik sehingga perlu dieksplorasi lebih jauh. Kalau kita merujuk
pada koleksi hadis tiga khalifah pertama selain Abu Bakar al-Siddiq (w. 13 H)
dalam buku-buku hadis kanonik, maka kita mendapatkan data serupa yaitu mereka
bertiga tidak termasuk para periwayat hadis dengan koleksi hadis terbanyak
seperti Abu Hurayrah (w. 59 H), ‘Ad secara ketat, sebagaimana tersurat dalam
perkataan Ibn Sirin di atas. Secara tidak langsung, itu juga membuktikan bahwa
proses transmisi hadis sebelum terjadinya fitnah berlangsung dengan longgar dan
tidak mendapatkan perhatian ekstra dibanding periode-periode belakangan.
3.Isu-isu penting terhadap hadits-hadits yang populer di masyarakat.
Mayoritas para
orientalis berpendapat bahwa hadits yang ada itu adalah bahwa tidak semua
hadits itu berasal dari Nabi, tetapi ada yang berasal para sahabat, oleh karena
itu orientalis berpendapat bahwa hadits-hadits yang ada saat ini adalah
mayoritasnya palsu.
Hal ini dapat dibuktikan dalam
realita kehidupan sehari-hari bahwa banyak dijumpai hadits-hadits yang
mengandung multi persepsi bahkan dapat dikatakan hadits bermasalah, sementara
hadits itu popular di kalangan masyarakat dan pada da’i sangat lazim
memakainya, hal ini yang menurut orientalis bahwa umat Islam kurang dianggap
jeli terhadap hadits sebagi sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an.
Umar bin Khottob
berkata : “ akan datang manusia yang mendebat kalian dengan meragukan
Al-Qur’an, maka bantahlah mereka dengan berbagai sunnah karena orang yang
mengikuti sunnah adalah lebih mengetahui al-Qur’an (Yusuf Qardhawi, 2007 :19).
Berikut ini penulis sampaikan
beberapa hadits yang popular di masyarakat tetapi setelah diteliti ternyata
bukan sabda nabi, atau bukan hadits, yaitu :
اعمل
لدنيا ك كآ نك تعيش ابدا واعمل لاءخرتك كآ
نك تموت غدا
Artinya : “ Bekerjalah kamu untuk
kepentingan duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah kamu
untuk kepentingan akheratmu seolah-olah kamu akan mati besok”.
Menurut Syekh Muhammad Nashir al-Din
al-Bani bahwa hadits dengan redaksi di atas tidak memiliki sanad sama sekali (
la ashla lah), artinya tidak berasal dari Nabi Muhammad SAW meskipun diakui
sangat popular di masyarakat (Ali Mustafa Yaqub, 2003 : 55-56)
2.
اختلا ف امتى رحمة artinya : “ perbedaan pendapatku adalah rahmat”.
Ibnu Hazm mengomentari
pernyataan di atas bahwa ungkapa di atas adalah tidak bermoral, alasannya jika
perbedaan pendapat itu adalah rahmat berarti kesepakatan mendatangkan kemurkaan
(Muhammad Fuat Syakir, 2005 :133), yang benar adalah “ dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. Merekalah itu orang-orang yang mendapat
siksa berat (QS. Ali Imran : 105).
Menurut Tafsir Al-Qur’an yang
diterbitkan Kementerian agama Republik Indonesia, bahwa QS. Ali Imran 105 itu :
“ Allah melarang umat Islam dari perpecahan, karena dengan perpecahan itu
bagaimanapun kukuh dan kuat kedudukan seuatu umat, pasti akan membawa kepada
keruntuhan dan kehancuran. Karena itu, Allah memperingatkan agar umat Islam tidak terjerumus ke jurang
perpecahan ( Al-Qur’an dan tafsirnya : 2012, hal.16).
4.اطلب االعلم ولو ب الصين فأ ن طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya : “ Carilah ilmu walaupun di negeri
Cina, karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. Hadis ini bagi para
ulama hadis dikategorikan sebagai Hadis masyhur yang non-terminologis, yaitu
hadis yang sudah popular di masyarakat meskipun –terkadang-hal ini belum
berarti bahwa ia benar-benar Hadis yang berasal dari Nabi SAW sebab yang
menjadi criteria di sini adalah ia disebut Hadis oleh masyarakat umu, dan ia
masyhur atau popular di kalangan mereka. Menurut Imam Ahmad bin Hambal bahwa
hadis tersebut adalah bukan hadis (Ali Mustafa Yaqub, 3).
5.مَنْ اَنْفَقَ دِرْهَمًا
فِىْ مَوْلِدِىْ فَكَأَنَّمَ اَنْفَقَ جَبَلاً مِنَ الّذّهَبِ فِيْ سَبِيْلِ الله
Artinya ; Barang siapa yang menginfaqkan uang satu
dirham untuk mengagungkan hari kelahiranku, maka tak ubahnya ia mengunfaqkan
emas sebesar gunung di jalan Allah. Dan مَنْ
عَظَمَ مَوْلِدِىْ كَانَ فِىُ الُجَنَّتِ مَعِى
Artinya
: Siapa yang mengagungkan hari kelahiranku, ia akan masuk surge bersamaku.
Teks-teks hadis
mauludan di atas yang popular di masyarakat
dan ternyata hadis-hadis tersebut tidak dijumpai di dalam kitab-kitab
yang mu’tabar sebagi rujukan hadis (Ali
Mustafa Yaqub,101).
Setelah kita
ketahui beberapa hadis yang menjadi perbincangan banyak khalayak termasuk para
orientalis, diharapkan kita semakin gigih dalam mencari dan belajar tentang
suatu ilmu, dalam hal ini ilmu hadis agar di masyarakat dalam menyampaikan
suatu hadis tidak menyimpang dari ajaran utama sehingga keotentikan hadis yang
dimiliki umat Islam senantiasa dapat terjaga.
C. Penutup
Sekelumit fakta dalam
pembahasan makalah ini membuktikan bahwa pandangan para orientalis tentang hadis bermacam-macam, termasuk pandangan mereka mengenai teori sistem isnad,
evolusi historisitas hadis, dan problem validitas hadis. Oleh karena itu,
menggeneralisasi mereka dalam satu kategori saja tidak dapat dibenarkan. Lebih
dari itu, sebagian orang menganggap negatif seluruh usaha mereka. Padahal
faktanya tidak demikian. Justeru sebagian usaha mereka sangat berarti bagi
kemajuan kajian Islam.
Salah satu nilai positif
kajian keislaman mereka terutama hadis adalah bisa memacu gairah kajian umat
Islam sendiri terhadap agama warisan intelektual para pendahulu mereka. Tidak
bisa dibayangkan bila kajian keislaman tidak mendapatkan sentuhan dari para
orientalis akan sepesat seperti sekarang. Sebagai bentuk kajian ilmiah dengan
beragam kepentingan, baik sentimen keagamaan, ekonomi, politik maupun murni
pengembangan kajian ketimuran, usaha mereka tetap harus tidak dipandang sebelah
mata. Sebab nilai positif tidak selalu atau harus berasal dari umat Islam,
sedangkan nilai negatif dari non-Muslim.
Yang terpenting
adalah agar keotentikan Ilmu hadis yang dimiliki umat Islam tetap terjaga
adalah dengan senantiasa terus belajar tanpa pernah berhenti agar ilmu tidak
ditarik oleh Allah SWT, maka perhatikan hadis berikut ini : وكتب عمر بن عبد العزيز الى ابي بكر بن حزم : انظر ما كان
من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاكتبه فآنى خفت دروس العلم وذهب العلماء
ولاتقبل الا حديث النبي صلى الله عليه وسلم ولتفشوا العلم ولتجلسوا حتى يعلم من لا
يعلم فآن العلم لا يهلك حتى يكون سرا
Artinya : Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Abu Bakar bin
Hazm, “ Lihat apa yang ada pada hadis nabi SAW, dan tulislah. Aku khawatir akan
terhapusnya ilmu dan hilangnya ulama. Dan, jangan engkau terima kecuali hadis
Nabi SAW. Sebarkanlah ilmu dan duduklah kalian hingga orang yang belum tahu
menjadi tahu. Sebab ilmu tidak akan hilang hingga dibiarkan menjadi rahasia
(Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedi Hadits Shahih
Al-Bukhari, 2011 :30).
Menyadari hal itu, usaha
mereka tetap harus diterima dengan kepala dingin seraya menyelidiki,
mengkritik, bahkan dikembang sedemikian rupa agar spirit mengkaji Islam
terutama hadis tetap menyala di tengah-tengah umat Islam. Bila itu dilakukan,
setidaknya mereka akan menyadari bahwa Islam serta kekayaan warisan intelektual
para sarjana Muslim merupakan dua hal yang sangat berarti, sehingga mereka
sebagai para pewaris sah tidak rela bila yang berhasil mengembangkan apalagi
yang menghancurkannya adalah orang lain di luar komunitas mereka.
Dalam makalah ini, penulis
membuktikan bahwa mereka mengkaji hadis dengan serius, bahkan rela menghabiskan
puluhan tahun dari sisa hidupnya sehingga menghasilkan beberapa karya dan
penemuan yang tidak bisa dilakukan oleh umat Islam. Sebagai peneliti outsiders,
tentu saja metode dan hasil kajian mereka tidak harus sama dengan metode dan
hasil kajian umat Islam. Oleh sebab itu, kelebihan dan kekurangan tetap
menghiasi metode dan hasil kajian mereka, sebagaimana juga berlaku terhadap
metode dan hasil kajian umat Islam sebagai peneliti insiders.
Daftar Pustaka
Agus Hidayatullah, dkk.,
2012, Al-Jamil Alqur’an tajwid warna terjemah perkata,
Bekasi : Cipta Bagus Segara
Al-Ghazali, Syaikh
Muhammad, 1994, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW Antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung : Mizan
Al-qur’an dan tafsirnya, 2012,
Kementerian Agama RI
An-Nawawy,
Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarf, 1986,
(Tarjamah H. Salim Bahreisy), Riadhus Shalihin, Bandung, al-Ma’arif
Aswad, Muhammad ‘Abd al-Razzaq, 2008, Al-Ittijahat al-Mu’asirah fi Dirasah al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Misr wa
Bilad al-Sham. Damaskus: Dar
al-Kalim al-Tayyib
Al-A’zami, Muhammad Mustafa. Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih.
Beirut: al-Maktab al-Islami,
Aziz Masyhuri, H.A., 1993, Ilmu Mustholah Hadits, Solo, Ramadhani
Baha’ al-Din, Muhammad, 1999, Al-Mustashriqun wa al-Hadith al-Na
Shbawi. Kuala Lumpur: Fajar Ulung SDN. BHD
Bustamin, dan M. Isa H.A. Salam, 2004, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada
Fuad Syakir, Muhammad, 2005, Bukan Sabda Nabi, Semarang : pustaka
zaman
Hallaq, Wael, 2007, Nash’ah
al-Fiqh al-Islami wa Tatawwuruh. Beirut: Dar al-Madar Islami, 2007
Hamzah, Muhammad, 2005, Al-Hadith al-Nabawi wa
Makanatuha fi al-Fikr al-Islami al-Hadith, Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi
Hasbi Ash Shiddieqyan, T.M, 1993, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, Jakarta, Bulan Bintang
............................................., 2001, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang,
PT. Pustaka Rizki Putra
............................................., 2009, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra
Hartono Ahmad Jaiz, 2005, Ada Pemurtadan
di IAIN, Jakarta, Pustaka
al-Kautsar
Ibnu Hajar al-Asqalani, 1995, (Tarjamah A. Hassan), Bulughul Maram, Bandung, CV. Diponegoro
‘Itr, Nur al-Din, 2008, Manhaj al-Naqd fi
‘Ulum al-Hadith. Damaskus: Dar al-Fikr
Juynboll, G. H. A., 2007, Common Link-Melacak Akar Kesejarahan
Hadits, Yogyakarta : LKIS Yogyakarta
Kelompok Ilmuan MKDK, 2002, Hadits IAIN Raden Fatah Palembang, Hadits,
Palembang, IAIN Raden Fatah Press
Muhammad Ahmad, 2004, Muhammad Mudzakir, Drs., Ulumul Hadits,
Bandung, Pustaka Setia
Masrur, Ali. Teori Common link G. H. A. Juynboll, 2007, Melacak Akar
Kesejarahan Hadits Nabi. Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Abu Abdullah,
2011, Ensiklopedi Hadits Shahih Al-Bukhari-Mendalami Islam dari sumber yang
Otentik, terj., Jakarta : Al-Mahira
Nurkholis, Mujiono, 2005, Metode Syarah Hadis, Bandung : Fasygil Grup
Qardawi, Yusuf, 1996, Studi Kritis As Sunah, terj., Bandung
: Trigenda Karya
--------------------, 2007, Pengantar Studi Hadits, Bandung :
Pustaka Setia
Umi Sumbulah, 2010, Kajian Kritis Ilmu Hadits, Malang,
UIN-MALIKI PRESS
Wahid, Abdurrahman, dkk., 1993, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia,
Bandung : Remaja Rosda Karya
Yaqub, Ali Mustafa, 2008, Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus
-------------------------,
2003, Hadits-hadits Bermasalah, Jakarta : Pustaka Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar