AGAMA
SEBAGAI PRODUK PERUBAHAN SOSIAL
( by
: Rasiman )
PENDAHULUAN
Agama yang kita
miliki ini adalah sebagai penuntun hidup dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Dalam konteks ini, bahwa agama erat hubungannya dengan kehidupan sosial. Hal
ini merupakan cerminan dari bukti keberagamaan setiap insan, karena agama punya
andil besar dalam pembentukan perubahan sosial (social changer).
Berbagai jenis
pernik pengalaman dalam pengamalan beragama yang ada di masyarakat, menjadi hal
yang menarik untuk dikaji dalam penambahan khazanah guna memahami agama secara
kaffah.
Menurut Abuddin Nata (2011 : 44)
mendefinisikan bahwa sosial berasal dari bahasa Inggris “social” yang secara
harfiah berarti pertemuan silaturrahmi, ramah tamah, sedangkan dari bahasa arab
kata sosial itu merupakan terjemahan dari kata isyrirakiyah yang berasal dari
kata isytaraka yang berarti partnership (perkawanan), participation (ikut
serta), sharing (ikut andil), joining (ikut serta), community (masyarakat),
kemudian menjadi isytirakiyah yang socialism (paham tentang kemasyarakatan)[1]
Berdasarkan
definisi di atas, penulis dapat mengambil
suatu generalisasi bahwa agama sebagai produk perubahan sosial berarti
bahwa agama yang ada dengan segala ajarannya dapat menghasilkan perilaku sosial
bagi penganutnya untuk senantiasa berperilaku positif agar persaudaraan terjalin kokoh untuk memberikan sumbangsih sosial di masyarakat sebagai pancaran nilai
keagamaan.
Atas dasar di
atas, dapat penulis sampaikan beberapa permasalahan yang ada relevansinya
dengan agama sebagai produk perubahan sosial sebagai berikut :
1.
Bagimanakah
kajian agama Islam dalam produk perubahan sosial ?
2.
Prinsip-prinsip,
pendekatan dan Metode apa sajakah yang
dipakai dalam memahami agama sebagai produk perubahan sosial?
PEMBAHASAN
A.Kajian Islam bahwa Agama adalah Produk Perubahan Sosial
Untuk mengkaji bahwa
agama sebagai produk perubahan sosial, Abuddin Nata (2011 : 447) memberikan
pandangan terhadap pokok pembicaraan di atas sebagai berikut :
Pertama, Islam pada
hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi
mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Islam bukan hanya mengatur
hubungan baik antara manusia dengan Tuhan, melainkan juga mengatur hubungan
yang baik dengan manusia dan dengan alam jagat raya. Melalui hubungan yang baik
ini, akan tercipta sebuah kehidupan yang seimbang, tertib, aman, damai dan
harmonis yang selanjutnya menjadi syarat bagi manusia untuk melakukan berbagai
kegiatan lainnya.
Kedua, ajaran Islam
yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Tuhan dalam arti yang formal,
khusus dan langsung diatur dalam ilmu tauhid, fikih dan tasawuf. Adapun hubungan
manusia dengan manusia dalam arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam
ilmu sosial politik. Melaui ilmu sosial, manusia selain diperkenalkan tentang
bentuk-bentuk masyarakat, proses pembentukan dan cara melakukan hubungan dan konsolidasi yang membahas hukum dan etika
sosial. Demikian juga melalui ilmu politik, manusia selain diperkenalkan
tentang cara mendapatkan, mengelola dan mempertahankan kekuasaan.
Ketiga, Islam memiliki
ajaran yang selain berhubungan dengan kewajiban yang bersifat individual-fardhu
‘ain tetapi juga ada bersifat kolektif-fardhu kifayah. Ajaran yang kolektif ini
termasuk ajaran yang berkaitan dengan masalah sosial.
Keempat, dalam
Al-Qur’an selain terdapat ayat-ayat yang menyuruh manusia agar saling
berkenalan, melakukan kerja sama, tolong menolong dan bersinergi, juga terdapat
ayat-ayat tentang perlunya taat kepada pemimpin.
Kelima, dewasa ini ada
keinginan yang kuat dari seluruh masyarakat di dunia untuk mewujudkan tatanan
kehidupan sosial yang lebih tertib, aman, damai, harmonis dan sejahtera[2]
Dari teori kajian
diatas, menurut hemat penulis bahwa manusia itu pada galibnya tidak mampu untuk
hidup seorang diri, tetapi harus hidup berdampingan di dalam masyarakat yang
masing-masing harus berkonsekuensi terhadap tanggung jawabnya masing-masing dan
tetap berpegang teguh terhadap ajaran agama serta harus menjaga hubungan baik
antara dirinya dengan Tuhannya, dirinya dengan masyarakat sekitar-sosial dan dirinya
dengan lingkungan alam (hablun minallah, hablun minannaas, hablun minal ‘alam) agar terciptanya kehidupan yang aman, damai
tenteram, saling tolong menolong sehingga terciptanya baldatun toyyibatun
warabbun ghofur.
Adapun Berger dan Luckmann
(1990:67-73) menyatakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungannya
bercirikan keterbukaan dunia sehingga memungkinkan manusia melakukan berbagai
aktivitas. Adanya keterhubungan manusia dengan lingkungannya seperti itu,
membuat ia mengembangkan dirinya bukan berdasarkan naluri tetapi melalui banyak
macam kegiatan terus-menerus penuh variasi. Maka itu, dalam mengembangkan
dirinya manusia tidak hanya berhubungan secara imbal-balik dengan lingkungan
alam tertentu tetapi juga dengan tatanan sosial dan budaya yang spesifik, yang
dihubungkan melalui perantaraan orang-orang yang berpengaruh (significant-others).
Perkembangan manusia sejak kecil hingga dewasa memang sangat ditentukan secara
sosial, sehingga keanekaragaman sosial dan pertumbuhan masyarakat tercipta sosiologi baru yaitu ekologi manusia[3]
Untuk itu, perlu
adanya Penelitian
keagamaan yang objek kajiannya
adalah agama sebagai produk perubahan sosial dalam rangkan menjaga hablun
munannaas dalam rangka mempertahankan status manusia yang diberikan oleh
Allah SWT sebagai khalifah fil ardhi.
Agama sebagai produk perubahan
sosial, memiliki dua perspektif perubahan yang berbeda, yakni perubahan sosial
dalam perspektif evolusi dan perubahan sosial dalam perspektif
revolusi. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk
“evolusi” antara lain Herbert Spencer dan August Comte. Keduanya memiliki
pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk
perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif.
Perubahan sosial menurut pandangan
evolusi berjalan lambat namun menuju suatu bentuk kesempurnaan dalam
masyarakat pada umumnya yang ada di dunia.
Sedangkan agama dalam perspektif
revolusi merupakan sebuah bentuk perubahan sosial yang berlangsung cepat.
Revolusi merupakan wujud perubahan
sosial yang spektakuler. Sztompka memberikan gambaran bahwa revolusi merupakan
puncak dari perubahan sosial. Revolusi merupakan sebuah proses pembentukan
ulang masyarakat sehingga menyerupai proses reinkarnasi kelahiran kembali. Perubahan
yang terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan yang luas dan menyentuh semua
tingkat dan dimensi masyarakat. Perubahan akibat revolusi bersifat radikal,
fundamental dan menyentuh langsung pada inti dan fungsi dari struktur sosial.
Proses perubahan tersebut hanya memerlukan waktu yang cepat, sesuatu yang
bertolak belakang dengan konsep evolusi pada perubahan sosial.
Berbicara mengenai perubahan sosial,
kita harus mengenal beberapa faktor yang menyebabkan
perubahan itu terjadi. Untuk mempelajari perubahan pada masyarakat, perlu
diketahui sebab-sebab yang melatari belakangi terjadinya perubahan itu. Apabila
diteliti lebih mendalam sebab terjadinya suatu perubahan sosial pada masyarakat
dikarenakan adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi
memuaskan.
Secara garis besar faktor
penyebab perubahan sosial menurut Zulfahmi dapat dikelompokkan dalam
dua perspektif, yaitu materialistic factors dan idealistic factors [4].
1.Perspektif Materialis ,Karl Marx mengemukakan teori Marxisme, berarti paham yang mengikuti
pandangan-pandangan dari Karl Marx tentang materialisme yang diterapkan dalam kehidupan
sosial. Marxisme lahir dari konteks masyarakat industri Eropa abad ke-19,
dengan semua ketidakadilan, eksploitasi manusia khususnya kelas bahwah/kelas
buruh yang struktur organisasi dalam proses
produksi dan struktur masyarakat masih bertahan pada tingkat lama yang
ditentukan oleh kepentingan-kepentingan kelas atas.[5]
Kelompok perspektif materialis
memandang bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya faktor material yang
menyertainya. Hal tersebut muncul dari faktor ekonomi dan teknologi yang
berhubungan dengan ekonomi produksi.
Pada dasarnya, perspektif ini menyatakan bahwa
teknologi baru atau modal produksi baru menghasilkan perubahan pada interaksi
sosial, organisasi sosial dan pada akhirnya menghasilkan nilai budaya,
kepercayaan dan norma.
2.Perspektif Idealis
Sedangkan perspektif idealis
melihat bahwa perubahan sosial disebabkan oleh faktor non material.
Faktor non material ini antara lain ide, nilai dan ideologi. Ide merujuk pada
pengetahuan dan kepercayaan, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu yang
pantas atau tidak pantas, sedangkan ideologi berarti serangkaian kepercayaan
dan nilai yang digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi bentuk tindakan di
masyarakat.
Salah satu pemikir dalam perspektif idealis adalah Weber yang memiliki
pendapat yang dapat mempengaruhi
perubahan sosial adalah dari bentuk rasionalisme yang dimiliki. Dalam
kehidupan masyarakat barat model rasionalisme akan mewarnai semua aspek
kehidupan.
Tokoh lain
adalah Lewy yang memperjelas pendapat Weber tentang peranan agama
dalam perubahan sosial dan menggambarkan bahwa nilai-nilai agama
mempengaruhi arah perubahan.
Dengan demikian kita dapat
memahami perubahan sosial yang terjadi akibat perubahan rasionalisme dan
ideologi yang mampu menyebabkan perubahan sosial,yaitu : (1)Ideologi dapat
melegitimasi keinginan untuk melakukan perubahan, (2) Ideologi mampu menjadi dasar solidaritas
sosial yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan, (3) Ideologi dapat
menyebabkan perubahan dengan menyoroti perbedaan dan permasalahan yang ada pada masyarakat.
Sesuai dengan uraian di atas, maka penulis simpulkan bahwa ada hubungan antara
agama, ideologi dan material kapitalis dalam pembentukan perubahan sosial dalam sejarah peradaban manusia.
Berkenaan dengan itu bahwa ada
beberapa alasan mengapa agama dapat melakukan perubahan sosial, yaitu :
Pertama,
agama mengajarkan cara berinteraksi dengan manusia.
Kedua, agama mengajarkan kejujuran dalam berinteraksi
sosial yang menuntut tanggung jawab, baik itu kepada diri sendiri, kepada
Allah, kepada sesama makhluk dan kepada alam sekitar agar terbentuknya
lingkungan sosial yang baldatun, toyyibatun warobbun ghofur berdasarkan pada
kondisi real secara empirik.
Agama sebagai perubah sosial, dapat
dilihat pada Teori konstruksi sosial (social construction) yang
disampaikan Berger dan Lukmann merupakan teori sosiologi kontemporer yang
berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori ini terkandung pemahaman bahwa
kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan pengetahuanmerupakan dua
istilah kunci untuk memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yangterdapat
dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya
sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan
pengetahuanadalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan
memiliki karakteristik yang spesifik (Berger, 1990:1).[6]
1.
Pandangan
Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial
Sejak kelahirannya belasan abad yang
lalu, Islam telah tampil sebagai agama yang memberi perhatian pada
keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat; antara hubungan manusia
dengan Tuhan; antara hubungan manusia dengan manusia; dan antara urusan
ibadah dengan urusan muamalah. Untuk mengkaji masalah-masalah yang berhubungan
dengan sosial, maka kita perlu mempergunakan Ilmu pengetahuan sosial yang digali dari nilai-nilai agama,yang oleh
Kuntowijoyo menyebutnya sebagai ilmu sosial profetik.
Menurut Kuntowijoyo, kita butuh ilmu
sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan
mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana
transformasi itu dilakukan, untuk apa dana oleh siapa. Yaitu ilmu sosial
yang mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita. etik dan profetik tertentu;
perubahan tersebut didasarkan pada tiga hal, yaitu :
Pertama, cita-cita kemanusiaan,kedua, liberasi dan ketiga,
transendensi.
Nilai-nilai kemanusiaan
(humanisasi), liberasi dan transendensi yang dapat digali dari ayat
tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut : Humanisasai adalah memanusiakan
manusia dari proses dehumanisasi. Liberasi adalah pembebasan
manusia dari lingkungan teknologi, pemerasan kehidupan, menyatu dengan
orang miskin yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa dan berusaha
membebaskan manusia dari belenggu yang kita buat sendiri. Transendensi
adalah menumbuhkan dimensi transendental dalam kebudayaan.
Dalam ilmu sosial profetik, kita
ingin melakukan reorientasi terhadap epistemologi, orientasi terhadap
mode of thought dan mode of inquirity, yaitu suatu pandangan bahwa
sumber ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan empirik sebagaimana yang
dianut dalam masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu.
Tekstualitas agama lebih
mengafirmasi konteks perubahan sosial yang merupakan bentuk ajaran kehidupan yang
lebih melihat kenyataan sosial, tidak hanya berupa turunan dari
langit.
Selagi manusia masih sangat
dibutuhkan oleh lingkungan, sedangkan kapasitasnya belum mengambil peranan, maka beradaptasi dengan alam lingkungannya adalah
hal yang penting.
Selaku produk perubah sosial, agama
mengajarkan tentang pergaulan hidup antara sesama makhluk dan sesama
ciptaan-Nya harus dapat memberikan kontribusi yang dinamis dalam proses
perubahan kesempurnaan kehidupan sosial, yang menurut Guillame De Cruf,bahwa
pergaulan hidup atau warna kehidupan dari tiap-tiap anggota masyarakat bukanlah
selamanya merupakan suatu tindakan statis dan permanen, tetapi perbuatan akan
bervariasi sesuai dengan latar belakang, kemampuan dan keinginan individu
akibat tuntutan kemajuan[7].
Sehingga kita perlu mencermati lebih
mendalam bahwa agama merupakan tuntunan yang dapat memproduksi perubahan sosial
di dalam masyarakat dalam rangka mencapai perubahan (agent of change).
Menurut Fathul Anas (2010:25) mengungkapkan bahwa perubahan-perubahan
dalam hidup sangat diperlukan agar terjadi perkembangan yang lebih baik untuk
menciptakan perubahan itu manusia harus kerja keras dan bersungguh-sungguh
karena allah akan mengubah keadaan seseorang jika ia bersungguh-sungguh,
sebaliknya jika bermalas-malasan, selamanya hidupnya akan selalu dalam keadaan
sengsara[8].
Apa yang disampaikan oleh Fathul
Anas adalah bahwa agama sebagai produk Perubahan Sosial yang merupakan agent
pembahru bagi pemeluknya untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan selaku
insan sosial di masyarakat.
Untuk mencapai tujuannya, maka
memerlukan apa yang disebut sebagai life skill dalam beragama selaku produk
perubahan sosial. Kecakapan terhadap kesadaran diri merupakan penghayatan diri
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga negara serta
menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sekaligus
menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang
bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan sosialnya.
Kecakapan hidup yang relevan itu oleh Dirjendikdasmen
disebut kecakapan hidup generik yaitu kecakapan yang harus dimiliki oleh setiap
manusia yang terdiri kecakapan personal (personal skill) dan kecakapan sosial[9]
Apabila perubahan sosial dipahami sebagai
suatu bentuk peradaban manusia maka pada
dasarnya perubahan sosial merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi sepanjang
hidup.
Ruang gerak perubahan itu pun juga
berlapis-lapis, dimulai dari kelompok terkecil seperti keluarga sampai pada kejadian
yang paling lengkap mencakup tarikan kekuatan kelembagaan dalam masyarakat.
2.Prinsip-prinsip hukum sosial
Menurut
HM.Quraish Shihab bahwa Al-Qur’an adalah sarat dengan uraian tentang
hukum-hukum yang mengatur lahir, tumbuh dan runtuhnya suatu masyarakat[10].
Tumbuh
atau berkembangnya suatu masyarakat sosial bagi Al-qur’an adalah merupakan
sunnatullah, artinya bahwa kepastian hukum itu tidak akan pernah mengalami
perubahan.
Menurut
Abuddin Nata, prinsip-prinsip hukum sosial itu ada 7 (tujuh), yaitu :
1. Perubahan
sikap Mental, lihat
Al-Qur’an Surat Ar-Ra’du [13] : 11, yang mengandung pengertian bahwa hukum
kemasyarakatan merupakan hukum perubahan ( The change of Law). Bahwa
konsekuensi mental manusia akan berubah dari jelek menjadi baik, dari malas
menjadi rajin, dari bodoh menjadi cerdas, dari biadab menjadi beradab, dari
semaunya menjadi disiplin dengan syarat adanya upaya kearah itu.
2. Perubahan
akhlak. Lihat
ungkapan Syauki Bey, bahwa “Innamal umamu akhlaaqu maa baqiyat wa in hukum
zahabat akhlaaqukum zahabu “ yang artinya maju mudurnya suatu bangsa sangat
bergantung pada akhlaknnya, jika akhlak bangsa itu baik, maka baik pula bangsa
itu, dan jika akhlak bangsa tersebut rusak, maka rusak pula bangsa itu. Seperti
kerajaan Romawi dan Persia, dahulu kedua bangsa tersebut telah berkuasa selama
berabad-abad karena baiknya tabiat bangsa tersebut. Namun, ketika kedua negara
besar itu terjadi dekadensi moral, maka mereka terjadi kemunduran dan
keruntuhan.
3. Saling kerja
sama. Jika suatu
masyarakat yang di dalamnya terdapat semangat kerja sama yang harmonis dalam
berbagai bidang kebaikan, maka masyarakat tersebut dijamin akan mencapai kemajuan.
4. Saling
menghormati. Islam
mewajibkan kepada setiap anggota masyarakat untuk saling menghargai antara satu
dengan yang lainnya dan jangan sekali-kali mengejeknya.
5. Manusiawi, artinya memperlakukan manusia
sesuai dengan fitrahnya, baik secara fisik atau non-fisik karena manusia
mempunyai kecenderungan kepada materi dan mempunyai keterbatasan.
6. Egaliter, adalah istilah yang mengacu kepada
faham yang menganggap bahwa keragaman pada manusia, seperti jender, warna
kulit, suku bangsa, bahasa, budaya dan agama merupakan ciptaan Allah yang tak
perlu didiskriminasikan tetapi harus tetap dijunjung tinggi.
7. Keadilan dan
kebaikan. Adil atau
keadilan merupakan istilah yang mengacu kepada sikap yang seimbang, atau
memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan jasa dan peran yang
diberikannya. Adapun kebaikan adalah sikap yang mengacu pada sikap yang
menyenangkan dan membantu mengatasi kesulitan orang lain sehingga orang
tersebut merasa senang[11].
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas,
akan dapat menimbulkan rasa berkeagamaan di lingkungan sosial, sehingga manusia
disebut sebagai homo relius.
Menurut Nazarudin Rahman (2010 : 10 ), bahwa yang
disebut Homo religius adalah manusia memiliki rasa kasih, pemaaf, cinta dan
kerinduan, rasa kedamaian serta perasaan-perasaan lainnya yang disebut dengan
sifat-sifat ketuhanan, karenanya maka dalam kehidupannya manusia tidak mungkin
terlepas atau luput sama sekali dari kesadaran bertuhan[12].
Rasa keberagamaan inilah yang
menjadi cikal bakal munculnya keimanan dalam diri manusia di tengah-tengah
hiruk pikuknya keramaian dalam beradaptasi di lingkungan sosial.
Agama akan tetap menghasilkan
nilai-nilai kemanusian yang akan memberikan pengayoman dan ketenangan bathin
setiap insan dimana posisi kehidupannya semakin kokoh karena manusia selalu merasa diawasi oleh
Tuhan dan akan selalu dibantu oleh manusia yang lain dalam pergaulan di
masyarakat yang mengedepankan kebersamaan di dalam keyakinan beragama di
masyarakat sebagai kelompok sosial.
Karena agama sebagai produk perubahan sosial, maka
menurut Ahmad Amin ( 1993 : 155) berpendapat bahwa ada perubahan rasa keberagamaan
di lingkungan sosial yang akan muncul adalah : (1) saling memberikan kasih
sayang mereka, gembira karena kegembiraan mereka, (2) mengambil dan memberi,
artinya ia tahu bahwa ia wajib memberi sebagaimana ia mengambil, (3) tolong
menolong dengan arti bahwa yang kuat menolong yang lemah, yang besar menolong
yang kecil dan barang siapa menolong kepada lainnya hendaknya berusaha untuk
menolongnya[13].
Agama sebagai produk perubahan
sosial akan membuat pemeluknya menjadi pribadi yang memiliki kecerdasan sosial.
Menurut Mulyasa ( 2009 : 186 ) bahwa pribadi yang memiliki kecerdasan sosial
ditandai adanya hubungan kuat dengan Allah SWT, memberi manfaat kepada
lingkungan, dan menghasilkan karya untuk membantu orang lain agar santun,
peduli sesama, jujur dan bersih dalam berperilaku[14].
Untuk memberikan perubahan sosial
masyarakat, maka agama akan mengedepankan program-program yang langsung
bersinggungan dengan kehidupan masyarakat sosial pada umunya, yang langsung
dapat dirasakan dan dinikmati.
Program-program yang dimaksud,
menurut Made Pidarta ( 2011 : 196 )disebut Program yang sensitif, yaitu program
yang mudah menyentuh hati masyarakat, dimana program tersebut menyangkut segala
yang dibutuhkan dan komprehensif, maksudnya ialah program itu terpadu,
terintegrasi menjadi satu kesatuan[15].
Program yang dimaksud adalah bahwa
agama sebagai rahmat seluruh alam yang ajarannya mencakup tujuan kehidupan,
baik untuk kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat, yaitu mencakup
aturan fardhu ‘ain atau fardhu kifayah.
Program tersebut harus
dipropagandakan dan dijabarkan oleh para peubah sosial yaitu para tokoh agama
agar ajaran agama dapat diterima oleh masyarakat sosial secara umum. Ajaran
agama yang bagus itu harus terus disebarluaskan kepada seluruh pemeluknya dan
kepada lingkungan sosial yang ada di sekelilingnya sebagai konsep dasar dalam
sistem sosial.
Konsep dasar tentang sistem sosial
berasal ( devired ) dari Parson (1951), kemudian pelaksanaannya teori sistem
sosial yang berkaitan dengan model sistem sosial.
Menurut Wahjosumidjo (2011:150)
bahwa model sistem sosial memberikan petunjuk dalam suatu organesasi sebagai
satu sistem sistem sosial, yaitu :
1. Sederetan
unsur yang terdiri dari institusi, peran dan harapan-harapan, yang secara
bersama-sama membentuk dimensi normatif sosiologis,
2. Sederetan
unsur yang mencakup individu, kepribadian dan keperluan watak (need
disposition) yang secara bersama-sama melahirkan dimensi kepribadian atau
psikologis,
3. Perilaku
sosial sebagai hasil interaksi antara faktor institusi dengan unsur-unsur di
dalamnya dengan faktor individu beserta unsur-unsurnya[16].
Tujuan mengadakan perubahan sosial,
menurut Zubaidi ( 2011 : 289 ) adalah sebagai berikut :
1.
Mengembangkan pengetahuan dasar
kesosiologian atau konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya,
2.
Mengembangkan kemampuan berfikir
kritis, pemecahan masalah, dan keterampilan sosial,
3.
Membangun komitmen dan kesadaran
terhadap nilai-nilai kemanusiaan,
4.
Memiliki kemampuan berkomunikasi,
berkompetisi dan bekerja sama dalam masyarakat majemuk[17].
Dari uraian di atas, jika
penghayatan terhadap agama sebagai produk perubahan sosial, maka akan
memunculkan yang namnya “sahabat sejati” yang akan menemani dalam berbagai
keadaan bagi suka maupun duka dengan senantiasa menjaga kejujuran, saling
menghormati, berakhlak mulia yang akan senantiasa menjaga hak dan kewajiban tali
persahabatan. Sahabat sejati adalah sahabat yang baik. Saudara sejati
itu adalah saudara seiman, seakidah dan seagama yakni sahabat yang baik dalam
kapasitas sebagai makhluk sosial.
Menurut Iqbal Hamdy ( 2006 : 150)
mengatakan bahwa sahabat yang baik adalah sahabat yang harus memberikan faedah
bagi kehidupan, memberikan nilai-nilai kebenaran, untuk mengarahkan menuju
jalan yang lurus[18]
B.Pendekatan Sosiologis dan metode penelitian sosial
Sebelum
kita mempelajari tentang pendekatan secara sosiologis, maka akan disampaikan
beberapa definisi yang disampaikan oleh para pakar sosiologis agar mempermudah
untuk dalam mempelajari sosiologi dan gejala-gejala ilmu itu sendiri.
Menurut
Hasan sadily mendefinisikan bahwa Sosiologi, adalah ilmu yang mempelajari hidup
bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu.
Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan
tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula
kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup dalam
tiap persekutuan hidup manusia[19].
Menurut
Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang
membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan arah
mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang
menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut
yang di dalamnya juga dibahas tentang proses-proses sosial yang mengingat bahwa
pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh
gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia[20].
Menurut
Abuddin Nata bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang
keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala
sosial lainnya yang saling terkait. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat
dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya suatu hubungan,
mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadi proses
tersebut [21]
Dari
tiga definisi diatas dapat dijumpai bahwa sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari dan mengatur hubungan antar sesama manusia secara komplek baik itu
keadaan hidupnya, stratifikasinya, keyakinannya, strukturnya, mobilitasnya,
fenomenanya, faktor-faktor terjadinya hubungan serta proses yang terjadi akibat
hubungan tersebut.
1.Sosiologi dapat dijadikan sebagai suatu pendekatan dalam
memahami agama, karena ilmu ini dapat membantu dalam mengetahui berbagai kajian
agama secara proporsional di lingkungan masyarakat.
Mengingat
begitu pentingnya pendekatan sosiologis dalam memahami suatu
agama, maka Abuddin Nata mengutif pendapat Jalaluddin Rahmad dalam bukunya
yang berjudul “Islam Alternatif” dimana agama yang memberikan
perhatian yang cukup besar terhadap problematika sosial di masyarakat dengan
alasan sebagai berikut :
Pertama, dalam Al-qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar adalah masalah muamalah.
Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya al-Hukumah Al-Islamiyah
yang dikutib Jalaludin rahmat dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat
ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding
seratus-untuk satu ayat ibadah dan seratus ayat untuk muamalah (masalah
sosial).
Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam
islam ialah adanya kenyataan bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan
urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditanggunhkan,
melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan
diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perseorangan.
Contohnya : sholat berjama’ah pahalanya 27 derajat, lebih tinggi dari pada
sholat munfarid.
Keempat, dalam islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah
dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu maka
kifarahnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
Contohnya bila puasa wajib di bulan ramadhan tidak mampu melakukan karena
lanjut usia misalnya maka jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah.
Kelima, dalam islam terdapat ajaran bahwa amal baik
dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah
sunnah. Lihatlah hadits berikut ini yang artinya : “ Orang yang bekerja keras
untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah
dan seperti orang yang terus menerus shalat malam.....” HR. Bukhari Muslim)[22]
Dengan melalui pendekatan
sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah karena agama itu diturunkan
untuk kepentingan sosial. Dalam Al-Qur’an kita jumpai ayat-ayat tertentu yang
berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang
menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa atau yang sebaliknya.
2.Metode Penelitian Sosial
Menurut
Atho Muzhar (2011 : 47), metode penelitian sosial itu menggunakan “ Grounded
Research”, yaitu metode penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori
melalui data yang diperoleh secara sistematik dengan menggunakan metode analitis
komparatif konstant, yang mempunyai 3 (tiga) ciri-ciri yaitu : (1)adanya
tujuan menemukan atau merumuskan teori, (2)adanya data sistematik, (3)
digunakannya analisis komparatif konstant[23].
a. Tujuan
merumuskan teori Grounded Research, untuk menilai kegunaan suatu teori harus
juga dilihat dari segi bagaimana dahulunya teori itu dirumuskan,
penelitian-penelitian sosial-sosiologi untuk membuktikan kebenaran teori, teori
yang didasarkan atas data yang tahan lama dan sulit diubah, teori yang
dihasilkan adalah teori dasar, adanya teori verifikatif yaitu bertitik tolak
dari hipotesa kemudian dilakukan pembuktian.
b. Data yang
sistematik, adalah data yang diperoleh sesuai dengan prosedur : ada persiapan,
pengumpulan data, pengkodean, analisis dan penulisan laporan.
c. Prosedur
penelitian : menentukan sasaran studi dan memilih kelompok-kelompok sosial, data
yang diperoleh diklasifikasikan dengan cara mencari persamaannya untuk
mendapatkan “kategori-kategori”. Kategori itu adalah hasil data setelah
diklasifikasi, kategori itu dicari ciri-ciri pokoknya untuk menentukan
sifatnya, stelah diketahui sifatnya dihubungkan satu sama lainnya sehingga
melahirkan hipotesis, hipotesis tersebut dihubungkan lagi satu sama lain
sehingga melahirkan jalur-jalur kecebderungan yang umum.
d. Analisis
komparatif : membandingkan setiap datum untuk memunculkan berbagai kategori,
membandingkan dan mengintegrasikan kategori dan sifat-sifatnya untuk
memunculkan hipotesis dan memberi batasan teori[24].
KESIMPULAN
Yang menjadi dasar kajian agama sebagai Produk Perubah Sosial
adalah sebagai berikut : Pertama, Islam pada hakekatnya membawa
ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai
segi dari kehidupan manusia yang mengatur hubungan baik antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam jagat raya agar tercipta
sebuah kehidupan yang seimbang, tertib, aman, damai dan harmonis yang
selanjutnya menjadi syarat bagi manusia untuk melakukan berbagai kegiatan
lainnya.Kedua, ajaran Islam yang berkenaan dengan hubungan manusia
dengan Tuhan dalam arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam ilmu
tauhid, fikih dan tasawuf.Ketiga, Islam memiliki ajaran yang selain
berhubungan dengan kewajiban yang bersifat individual-fardhu ‘ain, tetapi juga
ada bersifat kolektif-fardhu kifayah yang berkaitan dengan masalah sosial.Keempat,
dalam Al-Qur’an selain terdapat ayat-ayat yang menyuruh manusia agar saling
berkenalan, melakukan kerja sama, tolong menolong dan bersinergi, juga terdapat
ayat-ayat tentang perlunya taat kepada pemimpin.Kelima, agama
mengajarkan akan keinginan yang kuat
dari seluruh masyarakat di dunia untuk mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang
lebih tertib, aman, damai, harmonis dan sejahtera.
Prinsip-prinsip hukum sosial menurut Abuddin Nata, prinsip-prinsip hukum
sosial itu ada 7 (tujuh), yaitu :(a)Perubahan sikap Mental, lihat
Al-Qur’an Surat Ar-Ra’du [13] : 11, yang mengandung pengertian bahwa hukum
kemasyarakatan merupakan hukum perubahan ( The change of Law).
(b)Perubahan akhlak. Lihat ungkapan Syauki Bey, bahwa “Innamal
umamu akhlaaqu maa baqiyat wa in hukum zahabat akhlaaqukum zahabu “ yang
artinya maju mudurnya suatu bangsa sangat bergantung pada akhlaknnya, jika
akhlak bangsa itu baik, maka baik pula bangsa itu, dan jika akhlak bangsa
tersebut rusak, maka rusak pula bangsa itu. (c)Saling kerja sama. Jika
suatu masyarakat yang di dalamnya terdapat semangat kerja sama yang harmonis
dalam berbagai bidang kebaikan, maka masyarakat tersebut dijamin akan mencapai kemajuan dan kesejahteraan.(d).Saling
menghormati. Islam mewajibkan kepada setiap anggota masyarakat untuk saling
menghargai antara satu dengan yang lainnya.
(e).Manusiawi, artinya memperlakukan manusia
sesuai dengan fitrahnya, baik secara fisik atau non-fisik .(f) Egaliter,
adalah istilah yang mengacu kepada faham yang menganggap bahwa keragaman pada
manusia, seperti jender, warna kulit, suku bangsa, bahasa, budaya dan agama
merupakan ciptaan Allah yang tak perlu didiskriminasikan tetapi harus tetap
dijunjung tinggi(g)Keadilan dan kebaikan.
Metode Penelitian Sosial,Menurut
Atho Muzhar (2011 : 47), metode penelitian sosial itu menggunakan “ Grounded
Research”, yaitu metode penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori
melalui data yang diperoleh secara sistematik dengan menggunakan metode
analitis komparatif konstant, yang mempunyai 3 (tiga) ciri-ciri
yaitu : (1)adanya tujuan menemukan atau merumuskan teori, (2)adanya data
sistematik, (3) digunakannya analisis komparatif konstant dengan tujuan
merumuskan teori Grounded Research yaitu untuk menilai kegunaan suatu teori
harus juga dilihat dari segi bagaimana dahulunya teori itu dirumuskan,
penelitian-penelitian sosial-sosiologi untuk membuktikan kebenaran teori, teori
yang didasarkan atas data yang tahan lama dan sulit diubah, teori yang
dihasilkan adalah teori dasar, adanya teori verifikatif yaitu bertitik tolak
dari hipotesa kemudian dilakukan pembuktian.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehansif, Jakarta : Fajar Inter Pratama, 1993
------------------, Metodologi Studi Islam,
Jakarta : PT.Raja Grafindo, 2012
Amin, Ahmad, Etika, Jakarta : Karya Unipress,
1993
Anas, Fathul, The Miracle of Quranic Motivation,
Yogyakarta : Citra Risalah,
2010
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011
Azizy, A.H.A, Qodri, dkk, Islam dan Lingkungan
Hidup, Jakarta : Dirjen binbaga,
2002
Berger, Peter, L dan Thomas Lucmann, Tafsir Sosial
atas Kenyataan, Jakarta :
LP3S, 1990
Bert. F, Hoselitz, ed, Panduan Dasar-dasar Ilmu
Sosial, Jakarta : Rajawali, 1988
Depdiknas, Indikator Keberhasilan, Jakarta :
dirjendepdiknas, 2004
Hasan Sadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia,
Jakarta : Bina Aksara, 1983
Iqbal Hamdy, Menggapai Hidup Yang Bermakna,
Jakarta : Republika, 2006
Made Pidarta, Managemen Pendidikan Indonesia,
Jakarta : Reneka Cipta, 2011
Michael H., Hart, Seratus Tokoh Yang Paling
Berpengaruh dalam Sejarah Dunia,
Jakarta : Dunia Pustaka, 1978
Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru,
Bandung : Rosda Karya,
2009
Quraish Shihab, Wawasan Al_Qur’an, Bandung :
Mizan, 1996
Rahman, Nazarudin, Spiritual Building, Yogyakarta
: Felicha, 2010
Soerjono, Soehanto, Sosiologi Suatu Pengantar,
Jakarta : CV. Rajawali, 1981
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah,
Jakarta : Karisma Putra Offset,
2011
www.Zulfahmi.co.id, Agama Sebagai Peubah Sosial,didownload tanggal 10/1/13
Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter, Jakarta :
Kencana Prenada Media, 2011
[1] Abuddin
Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta : Fajar Inter Pratama Offset,
2011, hlm.448-449.
[2] Ibid.
hlm. 447-448
[3] Bert.F.
Hoselitz, ed, Panduan Dasar Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta : Rajawali, 1988,
hlm.16
[4]
www.Zulfahmi.co.id, Agama Sebagai Peubah Sosial,didownload tanggal 10/1/2013
[5] Michael H. Hart, Seratus Tokoh
yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,
1978).
[6] Berger, Peter L. & Thomas
Luckmann 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentangSosiologi
Pengetahuan (diterjemahkan dari bukuasli The SocialConstruction of
Realityoleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES.
[7] H.A Qodri A. Azizy, dkk, Islam dan
Lingkungan Hidup, Jakarta :Dirjen Binbaga, 2002, hlm.8
[8] Fathul
Anas, The Miracle of Qur’anic Motivation, Yogyakarta : Citra Risalah,
2010, hlm.25
[9]
Departemen Pendidikan Nasional, Indikator Keberhasilan, dirjendikdasmen, Jakarta, 2004, hlm.3
[10] Quraish
Shihab, Wawasan A-Qur’an, Bandung : Mizan, 1996, cet. III hlm.322
[12] Nazarudin Rahman, Spiritual Building,
Yogyakarta : Felicha, 2010, hlm. 10
[13] Ahmad Amin, Etika, Jakarta : Karya
Unipress, 1993, hlm.155
[14] Mulyasa, Standar Kompetensi dan
Sertifikasi Guru, Bandung : Rosda Karya, 2009, hlm.186
[15] Made Pidarta, Managemen Pendidikan
Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2011, edisi revisi, hlm.196
[17] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter,
Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011, hlm.289
[18] Iqbal Hamdy, Menggapai Hidup Bermakna,
(Jakarta : Republika), 2006, hlm.150
[19] Hasan Sadily, Sosiologi untuk masyarakat
Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1983), cet.IX, hlm.1
[20] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu
Pengantar, (Jakarta : CV.Rajawali, 1982) cet.1, hlm. 18 dan 53
[21] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,
(Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, cet,19, 2012) hlm.39
[22] Ibid. hlm. 40-41
[23] Atho
Mudzhar, Pendekatan studi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011)
cetakan ke.VIII, hlm.47
[24] Ibid. hlm. 47-52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar