TUGAS
MAKALAH
TENTANG
“MA’RIFAH”
DIAJUKAN
UNTUK MEMENUHI TUGAS INDIVIDU
STUDI
PERADABAN DAN PEMIKIRAN ISLAM
SEMESTER
: I (SATU)
PROGRAM
STUDI ILMU PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
OLEH:
RASIMAN
NIM.
2120103195
DOSEN
PENGAMPU :
Prof.DR.
RIS’AN RUSLI, M.Ag
PROGRAM
PASCASARJANA
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2013
I.PENDAHULUAN
Agar keimanan dan
keyakinan kita dalam beragama semakin hidup dan semakin tinggi kualitasnya,
maka agama islam telah mengajarkan kepada umatnya supaya mempergunakan akal
fikiran dengan optimal guna menganalisa, meneliti semua mahluk beserta alam
semesta yang telah diciptakan oleh Allah SWT.
Hal ini bertujuan
agar manusia mampu mengetahui Dzat yang telah menciptakan manusia beserta alam
dan seluruh isinya. Selagi manusia itu mau dan mampu untuk berfikir, maka
diwajibkan dalam melaksanakan amal ibadah kepada Allah SWT serta mengembangkan
ilmu pengetahuan dengan menghidupkan akal fikiran guna mendapatkan
pengetahuan-ma’rifat yang berimbas pada terbentuknya keyakinan yang sangat
kokoh.
Menurut Choirul
Anam Al-Kadiri mendefinisikan bahwa yang
disebut “ Ma’rifat berarti mengenal, sehingga “ma’rifatullah
berarti mengenal Allah” 1). Dalam kontek ini bahwa kata mengenal Allah
diartikan lebih dalam, antara lain mengenal Asma-Nya, mengenal kekuasaan-Nya,
mengenal kehendak-Nya, mengenal sifat-Nya, mengenal keagungan-Nya, mengenal
kebijaksanaan-Nya, yang atas hidayah-Nya akan bermuara kepada kesadaran
seseorang akan status kehambaan dirinya, kesadaran seseorang akan
ketidakberdayaan dirinya yang berujung pada kesadaran seseorang akan kefanaan
dirinya.
Mengenal Allah yang dimaksud adalah Sang Kholiq Yang Maha Esa, yang hanya Dia berhak dipuji,
disembah, diagungkan dan disanjung adalah yang fundamental dalam ajaran islam.
Hal ini disebabkan karena sumber datangnya keimanan kepada Allah SWT perlu
dipelajari sedini mungkin.
Ma’rifatullah harus ditopang dengan
usaha suka memikirkan dan merenungi ciptaan Allah yang tak terhingga dari yang
sangat mikro sampai yang sangat global. Hal ini mengandung hikmah yang dalam
dan menjadi petunjuk, pedoman dan bukti yang riil atas keberadaan (wujud) Allah
SWT di dunia ini.
1)
Choirul Anam Al-Kadiri, Delapan Langkah Mencapai Ma’rifatullah,
Jakarta, Amzah, 2010, hal.vi
Pada masa kini,
kata ma’rifat lantang terdengar dari pokok-pokok pembicaraan pada bidang ilmu
tasawuf ; suatu ilmu yang mengajarkan budi pekerti manusia terhadap dirinya,
terhadap sesama manusia, terhadap sesama mahluk ciptaan Allah, dan yang sangat
esensial adalah budi pekerti terhadap Allah SWT sebagai sang Kholiq jagad raya
beserta isinya ini.
Allah SWT
menciptakan berbagai hal di alam semesta ini. Ada manusia, hewan tumbuhan,
benda-benda mati, air, udara, api, gunung-gunung, meteor, planet dan lain-lain.
Manusia diperintahkan untuk senantiasa merenungkan ayat-ayat Allah di atas
dengan harapan agar keimanannya semakin kokoh. Manusia yang merenung pasti
senantiasa berfikir bahwa segala yang ada di alam semesta adalah ciptaan Allah
SWT. Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu- barang siapa
mengetahui dirinya, maka akan mengetahui Robbnya. Dari sinilah proses ma’rifah
berawal, yang dengannya maka keimanan kita akan bertambah.
اِنَّ
فِى الَّسَموتِ وَاْلَارْ ضِ لايتِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ “Sesungguhnya pada langit dan bumi
benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman” 2)
Ma’rifah
juga mengandung arti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat
melihat Tuhan (Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam islam hal75)
Rasa keingintahuan (ma’rifah) kepada Allah
merupakan sesuatu hal yang menjadi dambaan bagi seorang sufi. Oleh karenya,
ma’rifatullah adalah bagian yang menjadi sangat esensial.
Dari
hal tersebut diatas, maka penulis dapat kemukakan beberapa permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah Dasar ajaran ma’rifah itu dalam dunia sufi ?
2. Siapa sajakah tokoh-tokoh ma’rifah itu, dan bagaimana pokok-pokok
pemikirannya ?
3. Bagaimanakah pengaruhnya bagi dunia sufisme ?
2) Alqur’anul Karim , surat Al-Jatsiyah
[45] : 3
II. PEMBAHASAN
A.Dasar
Ajaran Ma’rifah
Ma’rifah adalah akhir perjalanan seorang peserta tasauf-salaf, tasauf
sunni Jam’u (bersatu, bukan menyatu), tasauf falsafati-ittihd(menyatu),
hulul(lebur menjadi satu), wahdatul wujud (menjadi satu wujud) sedangkan tasauf
kontenporer dinamakan sebagai penemuan kebahagiaan bathin yang dirasakan oleh
para tasauf.
Ma’rifah merupakan
penampakan kebenaran Illahi setelah salik mendengarkan, melihat dan merasakan
dengan kekaguman dan kebingungan (dahshah dan hayrah). Kebingungan yang
dimaksudkan adalah ketika seseorang tasauf berkondisi tidak sadarkan diri
karena menghadapi sesuatu yang luar biasa, sehingga salik hanya dapat berpasrah
(taslim) yang menunggu limpahan rahmat dari Robbil ‘Izati. Tiada kata yang
keluar dari mulutnya, melainkan kepasrahan. Ma’rifah, sangat sulit diterangkan.
Hal ini karena tidak ada keterangan pasti yang dapat dijadikan dasar dalam
beranalogi. Karena itu, ketika Dhu al-Nun al-Misri ditanya oleh muridnya
tentang keterangan ma’rifah yang sering dialami, ia hanya mengatakan : “ saya
pernah mendapatkan ma’rifah karena Tuhan-ku, seandainya bukan karena Tuhan-ku,
pasti saya tidak mendapatkannya 3).
Ada dua macam
pendapat dalam perolehan ma’rifah bagi setiap peserta tasauf sebagai berikut :
1.
Ada
yang mengatakan, bahwa ma’rifah itu merupakan proses kelanjutan dari kondisi
kejiwaan sebelumnya, misalnya taslim, fana’, baqo.
2.
Ada
juga yang mengatakan bahwa ma’rifah yang didapatkan oleh para peserta tasauf
harus melalui fana’ dan baqo’ yang dapat diperoleh melalui Zikir dan tafakkur
4)
3) Dahlan
al-Kadiri, Siraj al-Talibin, Juz II, (Bayrut Dar-alFikr,tt) hal.100
4)
Drs. Mahjuddin, M.Pd.I, Akhlak Tasawuf II, Jakarta ;Radar Jaya Offset,
2010, hal.241-242
Ma’rifah tinjauan doktrin dasar tasauf kontenporer terbagi menjadi lima
(5) macam, yaitu :
1.
Peserta
tasawuf harus mengerti dirinya sebagai hamba yang wajib menyembah Tuhan-nya (ya’rifu
nafsahu).
2.
Peserta
tasawuf harus mengerti Tuhan-nya sebagai wujud yang wajib disembah (ya’rifu
Robbahu).
3.
Peserta
tasawuf harus mengerti dunianya sebagai salah satu alam yang ditempati berjuang
untuk mengabdikan diri kepada Tuhan, beramal untuk diri, keluarga dan
masyarakatnya (ya’rifu al-Dunya).
4.
Peserta
tasawuf harus mengerti bahwa kehidupan dunia tidak kekal, karena masih ada lagi
kehidupan di akherat yang menuntut amalan dan pembalasan dari kehidupan dunia (ya’rifu
al-akherat).
5.
Kehidupan
manusia dilengkapi oleh keberadaan lingkungan hidupnya. Maka salah satu ajaran
dasar Tasauf Kontenporer adalah keikutsertaan melestarikan dan memperbaiki
lingkungan hidup (ya’rifu al-biah) 5).
Sebagai
manusia kita harus tahu diri, artinya kita harus mengetahui dari apa kita
diciptakan dan untuk apa kita diciptakan. Sungguh Allah telah menciptakan
manusia dari sari pati tanah (Adam AS-sebagai manusia pertama), pasca
dinikahkannya Adam AS dengan Siti Hawa, maka Allah menjadikannya khalifah di
muka bumi yang dengannya dalam proses kejadian manusia selanjutnya ada campur
tangan manusia di dalamnya. Allah dalam menciptakan manusia tidak lagi langsung
dari tanah, melainkan hakekat yang ada dalam tanah itu sendiri. Hal ini dapat
diketahui dari berbagai makanan yang bersumber dari bumi – sumber tanah yang
dikonsumsi oleh Adam AS-Siti hawa sampai dengan seluruh manusia di bumi (anak
cucu Adam AS dan Siti Hawa) menghasilkan sesuatu air kehidupan yang sangat
berharga tapi juga menjijikkan yang tersimpan kokoh dan dikeluarkan dari antara
tulang-tulang sulbi. Melalui hubungan yang sah-pernikahan, maka air kehidupan
itu-mudghoh dapat dikeluarkan secara legal sebagai awal kejadian
manusia.
5) Drs.
Mahjuddin, M.Pd.I, Akhlak Tasawuf II, Ibid., hal. 259
Di dalam siklus
keluarnya air kehidupan itu, ada suatu rasa, rasa dari sang Kholiq, Dzat yang Maha Kasih dan Maha
Penyayang yang dipancarkan kepada manusia dengan tidak berkurang sedikitpun. Dalam
periode yang telah ditentukan, maka air nuthfah itu menjadi mudghoh yang
terbungkus oleh daging dan ada tulang belulang dengan ditiupkannya ruh oleh
Allah SWT sehingga menjadi sosok manusia baru. Lalu, apa hubungannya dengan
ma’rifah ini, bahwa kita harus mengetahui dan sadar bahwa kita tercipta dari
air yang tidak berguna, jika tidak diiringi kemanfaatannya yaitu untuk
menyembah Allah SWT, maka kita menjadi sia-sia.
‘Arofa
Robbahu-mengetahui Tuhan-nya, adalah suatu konsekuensi yang harus ada bahwa : “
Tidaklah AKU ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-KU “ ( Al-qur’an
al-Karim). Ini cukup jelas bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah supaya
beribadah kepada Allah SWT dan memancarkan sifat-sifat Allah di dunia untuk kedamaian
dan ketenteraman umat di alam semesta.
Ya’rifu al-Dunya-mengetahui
dunia, yang sejalan dengan apa yang telah disabdakan oleh Rasul SAW bahwa : “
Dunia adalah kampung akherat-Addun ya mazroatul akherat”. Dunia adalah tempat
mengabdikan diri dan berjuang untuk mencari rahmat dan ridho Allah SWT karena
sabda Rasul SAW bahwa :“ Beramalah untuk urusan duniamu, seakan-akan engkau
akan hidup selamanya “.Hadits tersebut sebagai sumber motivasi agar kita giat
dalam berusaha dan beribadah. Ada hal penting yang harus disadari bahwa hidup
di dunia adalah waktu yang sangat singkat yaitu periode seperti menunggu antara
azan dan iqomah-telah disampaikan oleh Dr. Edyson Saifullah dalam perkuliahan
Studi Al-qur’an di pascasarjana IAIN Raden fatah Palembang.
Ya’rifu
al-Akherat-mengetahui akherat, menyadari bahwa ada kehidupan setelah kehidupan
di dunia, yaitu alam akherat. Firman Allah SWT : “ Carilah apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu tentang kebahagiaan hidup kampung akherat “.
Akherat adalah tempat yang Kekal dan milik Allah Zat Yang Maha Kekal.
Kebahagiaan hidup di akherat perlu diraih dengan berbagai upaya agar Allah SWT
ridho, sehingga akan memberikan kasih sayangnya kepada manusia.
Ya’rifu
al-Bi’ah-mengetahui bahwa kita perlu berpartisipasi di dalam melestarikan dan
menjaga lingkungan hidup, caranya dengan tidak membuat kerusakan di muka bumi
ini, karena Allah tidak suka dengan orang-orang yang berbuat kerusakan.
Untuk mencapai
ma’rifah, ada 8 (Delapan) langkah yang harus diperhatikan, yaitu :
1.
Meyakini
kebenaran Kodrat Allah. Kodrat memiliki arti “kuasa” atau kekuasaan, sehingga
kodratullah dapat diartikan sebagai kuasa atau kekuasaan Allah.Suatu kekuasaan
yang hanya satu-satunya, sesuatu kekuasaan yang tunggal, suatu kekuasaan yang
mutlak dan kekuasaan yang demikian hebat, tentunya hanya dimiliki oleh sesuatu
yang Maha Hebat pula, yakni suatu kekuasaan yang tidak tersaingi oleh apapun
dan siapa pun. Pemilik kekuasaan yang demikian hebat itulah yang patut
disembah, patut diikuti, patut diimani, dan itulah Tuhan kita, yaitu Allah 6).
اَوَلَمْ
يَرَوْا اَنَّ اللهَ الَّذِى خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَلَمْ يَعْى بِخَلْقِهِنَّ
بِقَدِرٍ عَلَى اَنْ يُّحْيىِ اْلمَوْتَ بَلى اِنَّهُ عَلَى كُلّ شَئٍ قَدِيْرٌ
Artinya : Dan apakah mereka tidak
memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan Dia tidak
payah menciptakannya, berkuasa pula menghidupkan yang telah mati, bahkan
sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu ( QS. Al-Ahqaf [46] :33)
2. Memahami Irodat Allah. Irodat memiliki arti kehendak,
sehingga Irodat Allah diartikan sebagai kehendak Allah. Apapun yang terjadi
bagi makhluk di dunia adalah berkat kehendak Allah SWT.
6) Choirul Anam Al-Kadiri, Opcit., hal. 1-2
3. Ilmu
Ilmu atau
pengetahuan merupakan langkah ketiga yang harus dilalui oleh seorang pencari
Tuhan (salik). Manusia dituntut untuk menyadari bahwa ilmu yang ada di dunia
dan di akherat, yang nyata atau yang ghaib merupakan ilmu Tuhan, manusia hanya
diberi oleh Allah, kecuali hanya sedikit.
4.Hayat
Hayat diartikan
sebagai hidup, Maha Hidup. Keyakinan bahwa Allah ada dan hidup harus menjadi
keyakinan utama bagi kaum muslim. Hidupnya Allah tak dapat disangkal lagi oleh
apapun, siapapun, kapanpun. Apabila Allah tidak ada, maka tidaklah ada alam
semesta ini, tidaklah ada dunia ini, tidaklah ada makhluk-makhluk penghuninya,
termasuk ketiadaan saya, anda dan kaum muslim itu sendiri.
5.Sama’
Sama’ artinya
mendengar, suatu sifat yang wajib bagi Allah. Dia Maha Mendengar atas segala
sesuatu, bukan saja terbatas pada mendengar yang memang terdengar jelas bagi
manusia, tetapi Dia mendengar pula yang halus, yang tidak terdengar oleh
manusia, dan yang ada di lubuk jantung manusia, yang menjangkau pembicaraan di
masa lampau, sekarang dan masa mendatang.
6.Bashar
Langkah keenam
adalah bashar, diartikan sebagai melihat. Sehingga bashar Allah diartikan
sebagai penglihatan Allah. Bashar sesungguhnya adalah milik Allah, baik yang
ada di dunia, akherat dan seisinya.
7.Kalam
Kalam dapat
diartikan sebagai Maha berfirman. Ilmu Kalam adalah ilmu yang membicarakan atau
mengandung keterangan tentang kalam Allah yang berupa firman-firman-Nya, yang
kemudian tersampaikan kepada umat manusia melalui para utusan-Nya.
8.Syariat
Syariat berasal
dari kata syara’ yang diartikan memperkenalkan atau mengedepankan atau
menetapkan, artinya Allah SWT telah memperkenalkan, mengedepankan dan
menetapkan aturan main di dunia ini kepada makhluk-makhluk-Nya, termasuk di
dalamnya adalah manusia melalui firman-firman-Nya dalam Al-qur’anul Karim.
Ditinjau dari cara
turunnya, Alqur’an ditirunkan melalui malaikat Jibril dengan cara :
(a)
Meresapkan
langsung firman-firman-Nya ke dalam jantung-hati Muhammad SAW.
(b)
Meyampaikan
firman-firman-Nya dengan menampakkan diri langsung sebagai seorang laki-laki.
(c)
Dalam
menyampaikan firman-Nya dengan diiringi suara gemerincing lonceng.
(d)
Menyampaikan
firman-firman-Nya dengan menampakkan diri sebagimana sosok yang aslinya.
Selanjutnya, ditinjau dari tempat dimana Surat-surat Al-qur’an
diturunkan maka hanya ada dua tempat turunnya ayat-ayat tersebut, yaitu :
(a)
Di
kota Mekah, disebut Surah Makiyyah, terjadi sebelum Nabi Muhammad SAW hijrak ke
Madinah, yang mempunyai ciri-ciri bahwa ayat-ayatnya pendek-pendek, umumnya diawali dengan yaa ayyuhannaas...,
yang menerangkan masalah keimanan, perintah, ancaman, pahala serta kisah;kisah
umat terdahulu agar menjadi contoh bagi umat Nabi Muhammad SAW.
(b)
Di
kota Madinah, disebut Surah Madaniyyah, terjadi sesudah Nabi SAW hijrah ke kota
Madinah. Pada periode ini, diturunkan sebanyak 28 surah yang mempunyai
ciri-ciri bahwa ayat-ayatnya panjang-panjang, umumnya diawali dengan yaa
ayyuhalladziina aamanu....yang pada umumnya menerangkan masalah
kemasyarakatan, ketatanegaraan dan masalah duniawi.
Kemudian jika ditinjau dari jenis pemaknaannya, maka ayat Al-qur’an
digolongkan menjadi dua yaitu :
(1)
Ayat
Muhkamat, adalah ayat-ayat yang sudah terang, jelas, tegas maknanya, mudah
dipahami, siapa yang membaca akan mengerti maksudnya (ummul kitab). Misalnya
dalam surat Al-Isra’ [17] : 32 yang artinya : “ janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya zina itu sangat keji dan sejahat-jahat jalan (terkutuk).
(2)
Ayat
mutasyabihat, yaitu ayat-ayat yang tidak atau belum jelas pemaknaannya, oleh
karenanya memerlukan penafsiran atau pemikiran yang mendalam.
Imam Al-Ghozali dalam “Ihya’ Ulumuddin” juz 4 membentangkan
buah fikirannya sampai tingkatan manusia meninggalkan dunia dan menghadap
kepada amal akherat ada 5 (lima) tingkatan, yaitu :
(1)
Tadzakkur,
yaitu menetapkan dua pengertian dalam hati, yakni : (1) menetapkan akherat
lebih utama dari dunia dengan jalan mendengarkan dari orang lain bahwa akherat
adalah lebih utama didahulukan dari pada duni, (2) karena dia mengetahui bahwa
yang lebih kekal, lebih utama didahulukan, dia mengerti bahwa akherat adalah
lebih kekal dari dunia.
(2)
Tafakkur,
mencari ma’rifat-pengertian dari kedua hal dia atas.
(3)
Tercapainya
ma’rifat yang selalu dicari dan terangnya hati dengan ma’rifat tersebut.
(4)
Perobahan
keadaan gerak-usiknya hati dari keadaan sebelumnya sebab tercapainya nur
ma’rifat.
(5)
Patuhnya
anggauta kepada hati menurut kadar perobahan yang diperbaharui oleh hati dimana
hati digambarkan sebagaimana orang memukulkan batu dia atas besi maka keluarlah
dari padanya cahaya yang menerangi tempat kanan kirinya sehingga mata bisa
melihat padahal sebelumnya tidak bisa melihat karena dalam keadaan gelap.
Setelah itu anggauta badan mau melakukan suatu perbuatan karena ada cahaya yang
meneranginya 7).
Ma’rifat billah merupakan
suatu kelezatan bagi kaum mutashowwifin, suatu hal yang senantiasa dicari dan
dikenangnya yang bersumber pada mahabbah waridho, cinta dan ridho, rindu dengan
melalui tafakkur dan amalan-amalan sholeh.
Tujuan yang akan dicapai orang-orang mutashowwifin di dalam
bertaqorub ilallah adalah karena ingin mencari ma’rifatullah dan
insan kamil.
Ma’rifat billah adalah melihat
Tuhan dengan hati mereka secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan
kebesaran-Nya 8)
Selanjutnya, Sayyid Abu Bakar Al-Makky menyatakan bahwa ma’rifat
kepada Allah adalah merupakan suatu cahaya yang telah dipancarkan Allah di hati
hamba-Nya sehingga dengan cahaya tersebut hamba Allah tadi bisa melihat
rahasia-rahasia kerajaan-kerajaan Allah di bumi dan di langit dan hamba
tersebut bisa mengamat-amati sifat kekuasaan dan kekuatan Tuhan 9)
Abu Bakar Siddiq r.a ketika ditanya
: Dengan apakah Engkau melihat Tuhanmu ? Beliau menjawab : “ Dengan sesuatu
yang telah Allah perlihatkan sendiri padaku, Dia tidak bisa ditemu dengan panca
indera, tidak bisa diukur dengan ukuran, dan yang dekat dengan kejauhannya dan
yang jauh dari kedekatan-Nya. Dia di atas segala sesuatu dan tidak boleh
dikatakan seperti sesuatu yang lain. Sungguh Maha Suci Dzat yang bersifat
demikian dan tidaklah bersifat yang demikian selain Allah “ 10)
7) Al-Ghozali, Ikhya’
Ulumuddin Juz IV, ( Singapura : Sulaiman Mar’i, tt, hal. 413
8) Drs. Abdul Karim as
Salawy, Titik Persimpangan Tasawuf dan Kebathinan,Pekalongan, CV.Bahagia, 1995,
hal.77
9) Sayyid Abu Bakar Al-Makky, Kifayatul Atqiya,
Bandung : Pajar Nusantara, tt, hal. 111
10) Sayyid Abu Bakar
Al-Makky, Ibid
Istilah lain dari ma’rifah
adalah ru’yah, musyahadah dan liqo’. Ru’yah bisa diproleh sesudah kasyaf,
sesudah terbukanya dinding yang selalu menyelimuti antara ‘ Abd ‘ dengan ‘
Kholik ‘.
Imam Al-Ghozali
pernah menyampaikan pengalamannya untuk menguatkan pembicaraan tentang ru’yah, katanya
: “ Begitu nyata sebagai saya pernah kenal Tuhan itu di dunia dengan ma’rifah
hakekat yang sempurna dengan tidak berupa gambaran dan khayal, dengan tidak ada
keterangan bentuk dan rupa, engkau melihat Tuhan itu demikian kelak di akherat
“ 11).
Selanjutnya Ahmad
Asy-Syirbashy dalam “ Ta’tsirut-tashawwuf fil Ghozali, beliau Imam Al-Ghozali
mengatakan :
وَعِلْمُ
مَكَا شَفَةٍ وَهُوَ عِلْمُ ااْلبَا طِنِ-وَهُوَ نُوْرٌ يَظْهُرِ فىِ اْلقَلْبِ
الطَّاهِرِ وَيَهْدِى اِلَى مَعْرِفَةِ الْحَقِيْقَةِ بِاللهِ تعالى-وَهُوَالَّذِى
يَرْتَفِعُ مَعَهُ اْلغِطَاءُحَقَّ تَتَّصِحَ جَلِيَّةَ اْلحَقِ اتِضَاحًا يَجْرِى مَجْرَى اْلعِياَنِ اَّلذِى
لَايَشُكّ فِيْهِ
“Ilmu Mukasyafah atau
ilmu bathin adalah cahaya yang terang dalam hati yang bersih dan mendatangkan
ma’rifat billah yang hakiki. Dia adalah suatu cahaya yang bias
menghilangkan tutup (tabir) sehingga
menjadi jelaslah kenyataannya Tuhan jelas sekali sama dengan penglihatan
mata yang tidak diragu-ragukan lagi 12)”
Ma’rifat
billah tetap bisa dicapai oleh seseorang bila ia sudah menjalankan syareat dan
membersihkan jiwanya dari segala kotoran maksiat. Ma’rifat billah adalah tujuan
utama mutashowwifin karena merupakan kelezatan yang tertinggi.
Orang-orang
sufi mengatakan bahwa : (1) kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari
manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup,dan ketika itu yang dilihatnya
hanya Tuhan.
11) H. Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat
Islam, Semarang: CV. Ramadhani, 1970, hal. 121-122
12) Ahmad Asy Syirbashy, Al-Ghozaly wat-Tashawwuful islamy,
Darul : Hilal, tt, hal. 197
(2) Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang
‘arif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah, (3) yang
dilihat orang ‘arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah,
(4) sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua yang melihat padanya akan
mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahan, dan semua cahaya akan
menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang gemilang ( Harun Nasution
hal. 76)
اَلْحَقّ
لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَاِنَّمَا الْمَحْجُوْبٍ اَنْتَ عَنِ النَّظَرِ اِلَيْهِ اُخْرُجْ
مِنْ اَوْصَا فِ بَشَرِيّتِكَ
عَنْكُلّ وَصْفٍ مُنَا قِضٍ لِعُبُوْدِ
يَّتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِالْحَقّ مُجِيْبًا وَمِنْ حَضْرَتِهِ
قَرِيْبًا “ Tuhan yang haq tidaklah ia tertutup, hanya saja
engkau saja terkadang tak melihat-Nya. Keluarlah engkau dari
sifat-sifat kemanusiaan, dari semua sifat-sifat yang bertentangan dengan sifat
penghambaanmu supaya engkau bias menjawab panggilan Tuhan yang haq serta dekat
di sisi-Nya” 13)
Selanjutnya
bahwa kelezatan mengenal Tuhan dan melihat keindahan ke-Tuhan-an dan melihat
rahasia-rahasia hal ke-Tuhan-an adalah lebih lezat dari derajat kepemimpinan
yang merupakan top dari kelezatan-kelezatan yang ada pada makhluk 14)
Ma’rifat
billah selain merupakan lezat dan besar bagi kaum mutashowwifin juga
menyebabkan adanya sifat malu dan mengagungkan kepada Tuhan sebagaimana tauhid
menyebabkan ridho dan menerahkan diri kepada Allah SWT 15)
Dengan
demikian bahwa ma’rifat bisa dikasab dengan melalui beberapa tingkatan dan
ma’rifat billah dapat dicapai dengan adanya nur yang dianugerahkan Allah
kedalam jantung-hati yang bersih sesudah hamba itu terlepas dari belenggu nafsu
dan kotoran ma’ashai, jadi sekali-kali tidak dicapai dengan panca indera.
13)
Ibn Ibad, Syarah Hikam,
(Semarang : Al-Munawar, tt, hal.29
14) Al-Ghozali, Ikhya Ulumuddin Juz IV, opcit, hal.300
15) Syeikh Muhammad Dahlan, Sirodjut
Thalibin, Juz II ( Mustopa : Al-babi Alhaby, tt.,hal.209
Ma’rifat billah itu tercapai ketika bersatunya manusia
dengan Tuhannya, yang disebut Union mystique, yang dalam bahasa jawa disebut
manunggaling kawulo gusti dan dilambangkan sebagai “curigo manjing ing warongko lan warongko
manjing ing curigo ( keris masuk dalam rangka dan rangka masuk dalam keris. Tentang Union mystique ini dalam ajaran
tashowwuf disebut hulul atau ittihat. Dalam keadaan ini sama seperti kita
melihat besi disepuh api sehingga berwarna merah, maka dikala itu kita tidak
dapat membedakan manakah besi dan manakah api, maka itulah api dan itulah besi.
Praktik ajaran hulul ini sebagaimana pernah dibawakan oleh Abu Mughis Husain
bin Mansyur Al-hallaj
16)
Dalam
Al-Qur’anul Karim Surat Al-Baqoroh ayat 186 disebutkan yang artinya : “ Dan
apabila hamba-KU bertanya kepadmu tentang AKU, maka (jawablah) bahwasannya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang mendo’a kepada-KU “.
Selanjutnya
di dalam Hadits Qudsi, bahwa Allah SWT
berfirman “ Barang siapa memusuhi seorang wali-KU, maka Aku
mengumumkan permusuhan-KU terhadapnya.
Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-KU kepada-KU yang lebih KUsukai dari
pada pegamalan segala yang KUfardhukan atasnya, kemudian hamba-KU yang
senantiasa mendekatkan diri kepada-KU, dengan melaksanakan amal-amal sunnah,
maka AKU senantisa mencintainya. Bila AKU telah cinta kepadanya, jadilah AKU
pendengarannya yang dengannya ia mendengar, AKU penglihatannya yang dengannya
ia melihat, AKU tangannya yang dengannya ia memukul, dan AKU kakinya yang
dengannya ia berjalan. Bila ia memohon kepada-KU, AKU perkenankan
permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia KUlindungi” (HR.Bukhory) 17)
16) Drs. Abdul Karim as Salawy, Tasawuf dan Kebathinan, opcit, hal.102-103
17) Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,
Jakarta : PT.Ichtiar Baru Van Hoeve,
2003, hal.76
Hakekat Ma’rifah
Menurut Ustadz
Labib MZ, bahwa derajat Ma’rifat itu terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
(1)
Ma’rifat
ciri dan sifat. Kesaksian-kesaksiannya muncul di dalam ciptaan, sebab telah
melihat cahaya dalam kesendirian dan kebaikan kehidupan akal guna menanamkan
fikiran. Syarat-syarat keyakinan ini tidak dapat terhimpun kecuali dengan
hal-hal yang melalui 3 (tiga) sendi, yakni : (1) penetapan sifat dengan dengan
nama tanpa adanya penyerupaan, (2)
penafikan penyerupaan, (3) putus asa di dalam mengetahui detailnya
(2)
Ma’rifat
Zat dengan menggugurkan perbedaan antara Dzat dan sifat, yang dapat dikuatkan
dengan ilmu keterpaduan, menjadi jernih di medan kefanaan, menjadi sempurna
dengan ilmu keabadian dan mendekati keterpaduan.
(3)
Ma’rifat
yang telah tenggelam di dalam kemurnian pengenalan, yang tidak dapat dicapai
dengan pembuktian, kesaksian dan wasilah yang mempunyai 3 (tiga) sendi
diantaranya : (1) mempersaksikan yang dekat, (2) naik untuk meningkatkan ilmu, (3)
memperhatikan kebersamaan. 18)
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan di dalam mencapai hakekat
makrifat yaitu :
a)
Hakekat
Ilmu. Ilmu hakekat itu datangnya dalam keadaan jelas dan bersifat mujmal,
setelah dibubuhi penjelasan barulah ia menjadi jelas. Datangnya ilmu hakekat
biasanya berupa ilham dari Allah SWT masuk melalui alam fikiran mengalir
melewati perasaan manusia. Ilmu itu akan menjadi terang makna dan tafsirnya
apabila diterima oleh para hamba Allah yang tingkatannya ma’rifah.
Setelah dapat mengerti dan memahami dengan jelas kemudian direnungkan dan
dianalisa dengan rasa serta berfikir dengan bersifat agama.
18) Ustadz Labib MZ,
Hakekat Makrifat, Surabaya : Giri Utama, 2002, hal. 64-66
b) Hakekat Keramat, yaitu merupakan suatu keadaan yang
sangat luar yang telah diberikan oleh
Allah SWT kepada orang yang alim, itulah yang disebut dengan karomah atau
keramat. Orang yang telah diberi keramat oleh Allah SWT, maka dia sudah sempurna
keikhlasannya, yang karenanya dia harus istiqomah. Karena istiqomah
itu adalah yang sangat diperlukan di dalam menjalankan amalan-amalan ibadah
kepada Allah SWT, sehingga tercapailah cita-cita guna untuk menghadap kehadirat
Allah SWT yang disebut Waliyullah.
c) Hakekat Asma Allah SWT. Pembuktian Asma Allah SWT yang
lima ( Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik) yang didasarkan pada dua
dasar, yaitu :
Dasar Pertama, Asma Allah
SWT telah menunjukkan akan sifat-sifat kesempurnaan Asma Allah SWT, yang merupakan
suatu sifat yang sangat bagus, karena itulah jika kita berdo’a senantiasa
menggunakan kata-kata : Ya Allah. Untuk itu, penafikan makna Asmaul Husna
adalah termasuk kufur yang sangat besar.
Dasar Kedua, Selain
menunjukkan kepada Dzat dan sifat yang sesuai dengan-Nya, maka menunjukkan juga
dua bukti lainnya yang mana sifatnya kandungan dan juga keharusan.
Oleh karenanya, Asma Allah SWT menunjukkan secara keseluruhan Asmaul Husna dan
sifat-sifat-Nya.
d) Hakekat Tawadhuk dan Takabur. Tawadhuk itu adalah merendahkan diri,
bersikap tenang, sederhana serta sungguh-sungguh di dalam menjauhi segala macam
perbuatan takabbur ganas atau pun membangkang. Orang mutawadhi ialah orang yang
tunduk, juga taat dalam melaksanakan yang benar serta menerima semua kebenaran
dari siapapun asalnya tanpa memandang warna kulit, jabatan, keturunan, yang
penting hal itu benar dan wajib untuk diikuti. Ulama membagi tawadhuk itu
menjadi 3 (tiga), yaitu : (1) Tawadhuk terhadap agama, yaitu sikap yang tidak
menentang dengan apa yang dinukil oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, (2) sikap yang
sangat rela dengan menjadikan sesama muslim sebagai saudara selama masih
menjadi hamba Allah yang taat, (3) merendahkan diri kepada yang haq yang
datangnya dari Allah SWT. Hakekat tawadhuk adalah jika seseorang telah
merasa bahwa dirinya adalah tawadhuk, maka orang tersebut dapat dikelompokkan
dengan orang yang sombong. Hakekat kesombongan adalah salah satu dari
penyakit yang paling ganas dan berbahaya, karena merasa bahwa dirinya tinggi,
disegani oleh orang lain.
e) Hakekat cinta kepada Allah SWT.
Cinta itu-hubb artinya suatu gejala emosi yang menggelora, yang timbul dari
dalam jiwa dan hati-jantung manusia yang diliputi rasa keinginan dan hasrat
yang memuncak terhadap Allah SWT. Tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah SWT
adalah : (1) dalam menghadapi kematian tidak ada keraguan, (2) senantiasa untuk
mengendalikan hawa nafsu dengan memusatkan segala macam perbuatan baik lahir
bathin untuk mentaati perintah Allah swt, (3) ingatannya tidak terlepas dari
Allah SWT, (4) rajin berkhalwat dan bersunyi selalu memohon do’a kepada Allah,
(5) senantiasa mengadakan koreksi dan instropeksi atas kelalaian dan kealfaan
dan mengadakan perbaikan, (6) merasa nikmat dalam beribadah, (7)terhadap kaum
muslimin selalu ramah dan bersikap terhadap orang yang ingkar, (8) dalam
mengerjakan ibadah bukan karena merasa takut, tapi karena sebagai seorang hamba
yang merupakan kewajiban, (9) beribadah secara sembunyi-sembunyi karena takut
dipuji orang, (10) hatinya senantiasa terpaut kepada Allah dan selalu ridha
untuk menerima cobaan yang ditimpakan kepadanya.
f) Perjalanan dari makrifat ke hakekat, kehendak yang sangat kuat
untuk mencapai makrifat tidak berarti hanya sampai pada apa yang telah
dikasyafkan oleh Allah SWT kepadanya, kecuali ia hanya ingin berhenti pada
suara hakekat yang memanggilnya... suara itu mengatakan : “ yang engkau cari
sekarang ada di hadapanmu, jangan engkau berhenti di situ “.
g) Pada hakekatnya Allahlah yang menjadi amal seseorang, jangan
engkau meminta ganti atau pahala atas amal yang telah diperbuat, cukuplah
sebagai balasan Allah SWT padamu atas sesuatu amal, jika Allah SWT menerima
amal tersebut.
h) Hakekat do’a. Jadikanlah do’a itu sebagai pelahiran dari sikap
seorang hamba yang selalu membutuhkan Allah SWT dan sebagai pematuhan di dalam
menuruti segala perintah-Nya.
B.Tokoh-tokoh Ma’rifah dan pemikirannya
Secara umum bahwa
tokoh-tokoh makrifat itu diawali dari Rasulullah SAW dan para sahabat yang
termasuk dalam khulafaur rasyidin. Pada masa ini, hampir tidak mengalami
kendala yang berarti karena disamping Al-Qur’an masih dalam proses turun di dua
tempat yaitu Mekah dan Madinah, tapi juga
karena Rasullah dibimbing langsung oleh Allah SWT melalui Malaikat
Jibril. Hal ini dibuktikan bahwa ketika Muhammad SAW berkhalwat di Gua
Hira-bukit Nur sampai diterimanya wahyu yang pertama Al-qur’an surat Al’alaq
ayat 1-5. Selanjutnya, para sahabat yang empat tinggal mengikuti apa yang
diucapkan, dilakukan dan ditaqrirkan oleh Rasulullah SAW.
Namun, para
pemikir atau ilmuwan islam ada juga yang berkonsentrasi dalam membicarakan
makrifah itu, antara lain :
1.
Imam Al-Ghazali.
Nama asli beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Ia
dilahirkan pada tahun450 H atau bertepatan dengan tahun 1059 M di Thus, sebuah
nama daerah yang ada di Khurasan. Ia terkenal dengan nama Al-Ghazali, karena
ayahnya adalah seorang pemintal tenun wol, atau juga karena ia berasal dari
Desa Ghazalah. Beliau wafat di tanah
kelahirannya, yaitu kota Thus pada hari senin 14 Jumadil akhi 505 H 19). Mulai
tahun 488 H / 1095 M beliau pindah ke Damaskus. Di masjid Umawi ia beri’tikaf
dan berdzikir di puncak menara sebelah barat sepanjang hari dengan hanya
sedikit makan dan minum. Beliau lalu memasuki suluk sufi dengan riyadhah
dan mujahadah secara terus menerus. Bagi Al-Ghazali, ma’rifah ialah
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang
segala yang ada
19)
Teguh Pramono, M.Pd.I, 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa ( Inspirasi
para muslim yang dicatat dengan tinta emas sejarah), Yogyakarta, Diva
Press, 2012, hal. 246-248
Al-Ghazali
menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat lagi
berbobot. Kualitasnya survive karena teori-teorinya hadir dari kajian dan self-experience
yang merupakan buah dari suluk, riyadhah dan nujahadah secara intensif lagi
berkesinambungan sampai seumur hayatnya.
Al-Ghazali membagi perjalanan menuju makrifat
ke dalam dua bagian penting, yaitu : (1) menyangkut ilmu muamalah, (2)
menyangkut ilmu mukasyafah seperti yang termaktub dalam ikhya’ ulumuddin.
Menurut Al-Ghazali, perjalanan menuju makrifat
pada hakikatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati secara terus
menerus sehingga mampu mencapai musyahadah, yaitu tahapan tertinggi kaum
sufi setelah menjalankan suluk. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya
pelatihan jiwa serta penempaan moral atau akhlak yang terpuji, baik di sisi
manusia maupun Tuhan 20).
2.Suhrawardi Al-maqtul.
Nama lengkapnya Syaikh Syihab al-Din Abu al-Futuh Yahya ibnu Habasy ibn Amirak
al_sahrawardi yang lahir di sahraward, negeri Iran Barat tidak jauh dari Zanjan
pada tahun 549 H / 1153 M. Beliau wafat pada tahun 587 H / 1191 yang terbunuh
atas perintah Shalahuddin al_ayyubi. Bahwa ada kerinduan kuat jiwa langit untuk
menerima penerangan dari sumber segala cahaya. Pendapatnya bahwa alam terbagi
atas : (1) alam akal-akal, (2) alam jiwa-jiwa, (3) alam bentuk, (4) alam
Mistsal yaitu suatu kelepasan manusia menuju kesempurnaan.
3.Zun al-Nun al-Misri.
Beliau lahir di suatu negeri yang terletak diantara Sudan dan Mesir dengan
tahun kelahiran tak diketahui dengan jelas, dan wafat pada tahun 860 M.
Ma’rifat menurut Zun al-Nun al-Misri adalah “
sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari “. Selanjutnya ada tiga
tanda-tanda orang yang telah mendapatkan makrifah, yaitu : (1) cahaya makrifatnya
tidak memadamkan kerendahan hatinya, (2) secara bathiniyah ia tidak mengakui
ilmu yang menyangkal hukum lahiriyah, (3) banyaknya karunia yang diterima tidak
membuatnya melanggar larangan Allah SWT.
20) Ibid. hal .248
Menurut Prof.Dr.
Harun Nasution, bahwa Zunnun al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan ada 3
(tiga) yaitu : (1) Pengetahuan awam, adalah Tuhan satu dengan perantaraan
syahadat, (2) Pengetahuan Ulama, adalah Tuhan satu menurut logika akal, (3)
Pengetahuan sufi adalah Tuhan Satu dengan perantaraan hati sanubari.
Hal ini mengandung
konsekuensi bahwa pengetahuan tipe pertama dan kedua belumlah merupakan
pengetahuan tentang Tuhan yang hakiki, tapi pengetahuan keduanya baru sebatas
‘ilmu, belum ma’rifah. Sedangkan pengetahuan jenis yang ketigalah yang
merupakan science hakiki tentang Tuhan yang sudah sampai pada apa yang
dinamakan dengan Ma’rifah.
4. Abu Yazid al-Bustami. Nama lengkapnya Abu Yazid
bin Isa bin Syurusan al-Bustami yang dilahirkan di Bustam- bagian Timur Laut
Persia pada tahun 188 H / 813 M. Beliau wafat pada tahun 261 H / 875 M . Abu
Yazid al-Bustami, mengusung faham Ittihad ( persatuan mistik, mystical
union) yang berarti bahwa seseorang telah merasa dirinya bersatu dengan
Tuhan karena kesadarannya telah lebur bersatu dengan eksistensi Tuhan. Sebelum
terjadinya ittihad, maka terlebih dahulu harus melalui fana’ dan baqo’.
C.Pengaruhnya bagi dunia sufisme
Pengaruh bagi
dunia sufisme adalah perjalanan para sufi
guna mengetahui rahasia dan ketentuan Allah menuju kepada makrifat Allah
SWT dengan senantiasa untuk mencapai keutamaan iman, dzikir dan tauhid,
keutamaan ilmu dan ulama, keutamaan majelis ilmu, keutamaan diam, keutamaan
bertashbih, keutamaan tawadhu’ dan keutamaan ilmu yang bermanfaat. Hal itu
dimaksudkan untuk mencapai derajat insan kamil.
III.KESIMPULAN
1.
Dasar
ajaran ma’rifah merupakan berbagai hal yang menghantarkan manusia pada
pengetahuan wujud penampakan kebenaran Illahi setelah salik mendengarkan,
melihat dan merasakan dengan kekaguman dan kebingungan akibat tidak sadarkan
diri dalam menghadapi sesuatu yang luar biasa berkat limpahan rahmat dari
Robbul Izzati. Untuk mencapai pada makrifah maka ada 8 (delapan) langkah ,
yaitu : (1) meyakini kebenaran kodrat Allah, (2) memahami irodat Allah, (3)
memahami ilmu Allah, (4) memahami sama’ Allah, (5) memahami bashar Allah, (6)
memahami bahwa Allah itu hayat, (7) memahami kalam Allah, (8) memahami syariat
untuk menuju-Nya. Dengan demikian, kita harus tadzakkur, tafakkur, taubat, istiqomah dan membersihkan jiwa dari
segala maksiat.
2.
Tokoh-tokoh
ma’rifat adalah Imam Al-Ghazali, Zun
al-Nun al-Misri, Suhrawardi Al-maqtul, Abu Yazid al-Bustami.
3.Pengaruh bagi
dunia sufisme adalah perjalanan para sufi
guna mengetahui rahasia dan ketentuan Allah menuju kepada makrifat Allah
SWT dengan senantiasa untuk mencapai
keutamaan iman, dzikir dan tauhid, keutamaan ilmu dan ulama, keutamaan majelis
ilmu, keutamaan diam, keutamaan bertashbih, keutamaan tawadhu’ dan keutamaan
ilmu yang bermanfaat. Hal itu dimaksudkan untuk mencapai derajat insan
kamil.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’anul Karim,
2009, Bandung : Sinar Baru Algesindo
Abu Bakar Aceh, 1970, Sejarah Filsafat Islam, Semarang :
CV.Ramadhan
Abu Bakar Al-Makky, tt, Kifayatul Atqiya, tt, Bandung Pajar
Nusantara
Abdul Karim Assalawy, Drs., 1995, Titik Persimpangan Tasawuf dan
Kebathinan,
Pekalongan : CV Bahagia
Al-Ghazali, tt., Ihya’ Ulumuddin, Singapora : Sulaiman Mar’i
Al-Kadiri, Choirul Anam, 2010, Delapan Langkah Mencapai Makrifat,
Jakarta:Amzah
Ahmad Asyirbashy, tt., Al-Ghazaly wat-Tashawuful Islamy,
Darul:Hilal
Al-Kadiri, Dahlan, tt., Siraj Al-Tholibin Juz 2, tt.,
Bayrut: Albabi alhaby
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
2003, Jakarta : PT. Ichtiar Baru
Ibn Ibad, tt., Syarah Hikam, Semarang : Al-Munawar
Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan
Bintang
Mahsudin, Drs., Akhlak Tasawuf, 2010, Jakarta : Radar Jaya
Offset
Syeih Muhammad Dahlan, tt., Siradjut Tholibin, Mustopa:
Al-baby
Teguh Pramono, M.Pd.I, 2012, 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa,
Yogyakarta : Diva Press
Ustadz Labib, MZ., 2002, Hakekat Makrifat, Surabaya, Giri
Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar