Mengenai Saya

Selasa, 14 Mei 2013

Filsafat Pendidikan Islam dan Sistem Nilai Dalam Pembentukan Kepribadian Muslim ( Individu, Keluarga dan Masyarakat)



(rasiman.bakrasyid@gmail.com)

A.Pendahuluan
           Diciptakannya manusia di dunia ini oleh Allah swt bukanlah tidak mempunyai tujuan, tetapi manusia mengemban tugas berat dengan gelar yang disandang sebagai “kholifah fil ardh” (Kemenag RI, 2012 : 121).  Atas dasar itu, maka manusia dalam posisinya sebagai individu, yang hidup di dalam keluarga dan masyarakat harus mengetahui apa hakekat diciptakan dirinya di dunia ini.
            Di dalam Islam, bahwa hakekat diciptakannya manusia oleh Allah swt adalah untuk mengabdikan dirinya kepada Sang Kholiq, yaitu Allah Azza wajalla ( Q.S 51:56) yang berbunyi : وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون . Mengingat tugas berat manusia yang dibebankan oleh Allah swt , maka Dia membekali manusia dengan sebuah potensi esensial yang jika dipergunakan potensi itu maka manusia akan dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Potensi itu adalah berupa fitrah (QS.30:30). Yang disebut fitrah menurut Quraish Shihab dan Yaqob Sumardjo dalam Jalaluddin adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia berkaitan dengan jasmani, akal serta ruhnya yang dengannya manusia cenderung untuk selalu mencintai kebenaran sampai setiap orang menyatakan setuju terhadap apa yang ditemuinya (Jalaluddin, 2011:7). Kebenaran itu, sebagaimana menurut Bradley adalah suatu kenyataan (Inu Kencana Syafiie, 2010 : 31). Oleh karena itu, hasil olah akal, ruh, jasmani dan fitrah itu harus dapat dibuktikan secara perbuatan yang nyata dalam rangka pengabdian diri kepada Allah swt.
            Filsafat Pendidikan adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang pendidikan ( Omar Muhamma al-Thoumy al-Syaibany, 1979 :30) yang  menurut Jalaluddin  untuk menciptakan manusia yang baik dan benar, berbakti kepada Allah untuk membangun struktur kehidupan di dunia sesuai dengan hukum (syari’ah) dan menjalani kehidupan tersebut sesuai iman yang dianut ( Jalaluddin, 45).
       Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan berdasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filodof Muslim sebagai sumber sekunder ( Abuddin Nata, 2001:15).
       Filsafat Pendidikan Islam merupakan suatu sistem, yaitu suatu himpunan gagasan atau prinsip yang saling bertautan, yang tergabung menjadi suatu keseluruhan  (Imam Barnadib, 1994 : 19) yang menurut Jalaludin bahwa sistem itu terdiri dari berbagai komponen, yang masing-masing saling terkait, saling tergantung dan saling menentukan guna menopang terselenggaranya aktivitas pendidikan dengan baik ( Jalaluddin, 122).
           Filsafat Pendidikan Islam merupakan suatu Sistem Nilai yang dengannya dianggap sebagai sesuatu yang benar, hingga perlu dipertahankan bahkan pada taraf tertentu, terkadang orang lebih memilih mengorbankan “ nyawa “ demi mempertahankan sebuah kebenaran ( Jalaluddin, 8 ), yang menurut Imam Barnadib Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan Suatu Sistem Nilai keindahan yakni suatu kenikmatan yang dihasilkan dalam pengalaman bila kognisi dan perasaan bercampur atau saling mempengaruhi.  Kognisi dimaksud merupakan persoalan persepsi sebagaimana dihubungkan dengan kenikmatan keindahan  yang dapat dipadukan antara pengalaman, persepsi dan perasaan (Imam Barnadib, 51 ). 
           Mengingat begitu pentingnya pendidikan Islam sebagai Sistem Nilai yang harus dipertahankan, maka sistem nilai itu harus terpatri di dalam diri manusia agar dapat diaplikasikan di dalam hidup, sehingga akan tercermin dengan terbentuknya kepribadian Muslim, baik itu secara individu, di dalam keluarga atau pun di dalam masyarakat.
       Dengan demikian, Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan suatu  kajian dan gagasan secara filosofis tentang suatu kebenaran yang beradasarka Al-Qur’an dan Al- Hadits, yang saling terkait antara satu dengan lainnya dan perlu dipertahankan agar output pendidikan selaras dengan ajaran al-Qur’an dan al-Hadits tersebut.
       Berkenaan dengan hal di atas, maka dapat ditemukan berbagai permasalah yang muncul adalah sebagai berikut : bagaimanakah cara membentuk kepribadian muslim secara individu,  bagaimana cara membangun kepribadian muslim di dalam keluarga, dan bagaimanakah cara mewujudkan kepribadian muslim di dalam masyarakat ?

B. Pembahasan
1.Membentuk Kepribadian Muslim sebagai seorang Individu
            Manusia secara individual merupakan pemimpin bagi dirinya yang harus mempertanggung jawabkan apa yang pernah dilakukan  kepada Allah swt. Hal ini relevan dengan hadits Nabi saw كلكم راع مسؤل عن رعية   Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya dari hal yang dipimpinnya (HR. Bukhary-Muslim)” (Salim Bahreisy, 1986 : 528).
       Oleh karena itu, manusia secara individual yang mengetahui dan menyadari bahwa dirinya adalah pemimpin, yang harus mempertanggung jawabkan atas apa yang dipimpinnya itu kepada Allah swt, berarti manusia tersebut telah memiliki suatu aturan yang disebut dengan agama.
Agama adalah aturan yang diberikan Allah dan rasul-Nya sebagai tuntunan hidup di dalam mengatur dan mengendalikan dirinya, sebagai aturan antara manusia, makhluk lain dan sebagai aturan di dalam hubungan antara manusia dengan al-Khaliqnya, yaitu Allah swt (Mochtar Effendy, 1997:1). Agama yang dimaksud adalah agama Islam, sehingga individu yang beragama Islam disebut sebagai muslim. Manusia atau individu  yang demikian itulah, yang menurut Jalaluddin disebut sebagai homo religious, yaitu makhluk beragama (Jalaluddin, 78).



a.      Penanaman Sistem Nilai dalam Kehidupan Pribadi Muslim
       Menurut Jalaluddin dan Abdullah Idi bahwa : “ Manusia merupakan salah satu makhluk yang sudah ribuan abad lamanya menghuni bumi, yang sebelum terjadi proses pendidikan di luar dirinya, pada awalnya manusia cenderung berusaha melakukan pendidikan pada dirinya sendiri, di mana manusia berusaha mengerti dan mencari hakekat kepribadian tentang siapa diri mereka sebenarnya (Jalaluddin & Abdullah Idi, 2011 : 130).
            Sebagai pribadi muslim yang telah memahami suatu doktrin yang dianggap sebagai sesuatu yang benar, maka doktrin ajaran yang dimiliki itu merupakan suatu sistem nilai yang harus dipertahankan dan dibela dari pelbagai ancaman yang datang guna menjaga tetap utuh dan eksisnya doktrin kebenaran itu.
       Sistem nilai yang harus dipertahankan adalah suatu yang telah dibawa manusia sejak lahir, yang disebut sebagai fitrah. Menurut Murtadha Muthahhari, fitrah itu adalah sesuatu yang berkaitan dengan keadaan manusia dan hubungan keadaan tersebut dengan agama (Murtadha Muthahhari, 1998:8). Hal ini relevan dengan fitrah yang ada di dalam Al-Qur’an, yang berbunyi                                : 
فطرت الله التى فطرالناس عليها
Artinya : Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah ( QS. 30:30).
       Bahwa sistem nilai yang ada itu, berupa fitrah beragama, di dalamnya terdapat sesuatu pemikiran dan  materi yang memfungsikan seluruhnya dalam membangun manusia, dimana  pada kondisi awalnya manusia itu sebagai makhluk yang individu.
       Hal ini menurut Muhammad Imarah bahwa agama merupakan fitrah yang  berfungsi memelihara jiwa dan memelihara perkembang biakan yang baik bagi jiwa serta meletakkan proses perkembang biakan ke dalam fitrah kasih sayang dan privasi keluarga dengan menjaga keturunan dan martabat ( Muhammad Imarah, 1999:33). Bahwa dengan mempertahankan sistem nilai, maka manusia akan mengetahui apa  hakekat manusia yang sebenarnya, yang untuk mengetahuinya tidak didapatkan secara tiba-tiba, tetapi melalui suatu proses pendidikan yang terus menerus.
           Menurut Jalaluddin bahwa hakekat diciptakan manusia adalah bahwa Allah menjadikan manusia sebagai pengabdi Allah yang setia, yakni sosok manusia yang berakhlak mulia (akhlaqul karimah), yang dengannya menjadi sosok pribadi yang mampu mewujudkan sikap dan perilaku terpuji yang ditampilkan dalam berbagai aktivitas amal shalih, yang memberi nilai manfaat bagi kehidupan sehingga mampu menempatkan diri sebagai teladan dalam berbuat ma’ruf agar orang lain termotivasi untuk melakukannya (amar ma’ruf) serta mampu melakukan tindakan preventif hingga perbuatan mencegah (nahi munkar) atas dasar keimanan kepada Allah (tu’minu billah), didorong keyakinan penuh dan ketulusan, bahwa yang bersumber dari Allah adalah benar (jalaluddin, 118).
        Jika manusia sebagai individu telah mengetahui hakekat manusia, maka di dalam dirinya akan muncul sifat optimistis dan jiwa yang tenang karena yakin bahwa apa yang dilakukan itu senantiasa dilihat oleh Allah walaupun manusia tidak dapat melihatnya (ihsan), yang dengannya muncul suatu ketenteraman hidup penuh khusnuzhan kepada Allah, pada zona yang luas akan dapat mewujudkan suatu keadaan yang disebut sebagai baldatun, thayyibatun, warabbun ghaffur.
       Untuk mempelajari tentang hakekat manusia, satu-satu jalan yang paling meyakinkan adalah dengan merujuk ke sumber dari sang Pencipta manusia itu sendiri, yaitu Allah swt. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan mengenai konsep manusia, yang menurut Jalaluddin istilah manusia menggunakan sebutan :      Abd Allah,  yang secara hierarkis abd atau abdi berada dalam posisi yang paling rendah yakni milik dan hamba “Tuan” nya, namun aktivitas tertinggi dari manusia sebagai seorang abd (hamba) adalah dalam menunjukkan kepatuhan, ketundukan, maupun ketaatan, yakni tindak ibadah. Bani Adam, dalam konsep ini dinyatakan bahwa secara antropologis fisik, manusia terbagi menjadi tiga ras induk yakni, Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid. Yang terpenting adalah perbedaan warna kulit, dan lain-lain tidak perlu diperdebatkan karena semua itu adalah merupakan Anak Adam as yang harus beribadah kepada Allah swt, tolok ukurnya adalah
اني جاعل فى الارض خليفة  Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi “ (QS. 2:30).
       Bani Basyr, diartikan sebagai keturunan manusia. Hal ini juga berarti, bahwa manusia bukan keturunan makhluk selain manusia seperti jin, malaikat ataupun hewan. Selain itu, menurut Muhaimin dalam Jalaluddin,  al-Basyr merupakan konsep yang lebih menitikberatkan pada pendekatan biologi.  Pendekatan biologi ini,  manusia disadarkan bahwa seluruh makanan dan minuman yang diperolehnya bersumber dari Allah swt, apa yang diperolehnya adalah nikmat, karenanya wajib disyukuri  ( Jalaluddin, 83-84). Dengan demikian, bahwa jika  menurut Darwin, manusia berasal dari kera, adalah pendapat yang salah.
Al-insan, menurut M. Quraisy shihab berasal dari akar kata uns, yang berarti jinak, tampak, dan harmonis. Penggunaan al-insan dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan manusia secara totalitas. لقد خلقن الانسا ن فى احسن تقويم   yang artinya “ sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S 95:4).  Pada konsep ini, manusia memiliki kelebihan yang perfect dibandingkan dengan makhluk Allah yang lainnya misalnya anggota tubah yang sempurna, dan yang sangat fundamental adalah manusia memiliki akal fikiran yang cerdas.  Berhubungan dengan otak ini, menurut Makoto Shichida pakar otak kanan Jepang dalam bukunya “Children Can Change Through Right Brian Education”, mengatakan bahwa stimulasi otak kanan sejak usia dini dapat membuat seseorang memiliki kecerdasan intelektual, nalar kuat, dan daya tangkap cepat (Femi Olivia, 2012 :10).
Al-ins, lihat Al-Qur’an 51:56 yang berbunyi           وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون  :      Artinya “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia (al-ins) melainkan supaya mereka menyembah-KU” (Q.S 51:56). Konsep Al-ins mengacu pada potensi manusia untuk menjadi makhluk berperadaban (Jalaluddin, 90). Konsep al-nas, perhatikan Q.S 49:13 yang artinya “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”.
Hakekat pada pada konsep ini adalah bahwa manusia cenderung hidup menetap dalam komunitas, mulai unit social terkecil yakni keluarga hingga ke bentuk komunitas yang lebih besar seperti masyarakat dan bangsa (Jalaluddin, 91).
           Ketika manusia telah mengetahui siapa dirinya, maka manusia itu akan mempunyai Optimisme penuh khusnuzhan, yang diperoleh akibat dapat pengetahuan tentang hakekat manusia, sehingga dapat menumbuhkan kemauan dan semangat membara, yang karenanya  manusia akan dapat mengetahui kehidupan “dunia lain” yang ada di dalam dirinya.
            Menurut Syahban, yang dimaksud dunia lain dalam diri manusia adalah akal dan hati, karena dengan akal dan hati dapat menjadikan manusia  lebih unggul dibanding makhluk lainnya, maka sangat wajar jika manusia diberi tanggung jawab sebagai khalifah Tuhan di bumi, karena dibekali akal dan hati. Senada dengan itu, menurut Ahmad thoha Faz, yang dikutip syahban bahwa puncak kelebihan manusia adalah mengenali diri yang berujung pada pengenalan Allah sehingga  menjadi hamba-Nya yang sadar (Syahban, 2009:29).
             Dengan penanaman sistem nilai dalam kehidupan pribadi muslim diharapkan akan termotivasi akan lahirnya suatu kesadaran dalam diri kita yang dengannya mampu mengenal dan mengkaji serta mengembangkan kreatifitas dalam rangka berbuat yang terbaik dalam melahirkan karya-karya nyata dalam rangka membangun kemashlahatan umat.

b.Mengetahui Potensi diri manusia
          Potensi yang ada pada diri manusia itu merupakan fitrah, hal ini mengacu pada sesuatu yang disebut sebagai kebutuhan manusia (human necessary) dalam hal ini sebagai individu.
       Menurut Jalaluddin yang mengutip pendapat Murtadha Muthahhari bahwa kebutuhan fitrah mencakup kebutuhan-kebutuhan jasmani dan kebutuhan-kebutuhan rohani (spiritual). Kebutuhan jasmani adalah kebutuhan-kebutuhan yang seratus persen berkaitan dengan jasmani, ia merupakan sifat fisik dan jasmani semata, berkaitan dengan bangunan tubuh, yang mencakup kebutuhan primer meliputi makan, minum dan seksual dalam kategori naluri (al-gharaiz) dalam system kerja dan kordinasi syaraf dengan otak yang berjalan otomatis. Kebutuhan rohani (spiritual) adalah berupa motif-motif suci, yang meliputi mencari kebenaran, moral (akhlak), estetika (keindahan), kreasi dan penciptaan, kerinduan dan ibadah. Selain itu juga, ada yang berpendapat bahwa potensi manusia itu terdiri dari naluri instinktif (ghariziyyah), inderawi (hissiyah), akal (aqliyah) dan agama (dinniyah) (Jalaluddin, 99-104).
       Kemampuan dasar yang disebut fitrah manusia ini terdiri dari banyak macam diantaranya “fitrah beragama” (Syahminan Zaini, 1986 : 21). Senada dengan hal di atas, menurut Nazarudin Rahman bahwa fitrah beragama ini bersumber dari suatu kenyataan bahwa manusia jauh sebelum keberadaannya di dunia ini-ketika di alam ruh, sudah mengakui eksistensi kebenaran adanya Allah (Nazarudin Rahman, 2010 : 15).  Konsep fitrah, menuntut agar pendidikan Islam itu harus bertujuan mengarahkan pendidikan demi terjalinnya ikatan kuat seorang manusia dengan Allah (Abdurrahman Saleh Abdullah, 1994 : 64). Hal ini relevan dengan firman Allah swt dalam Al-Qur’an yang artinya “ Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “ Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, mereka menjawab : “betul, (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi “ ( Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, 1989 : 250).
       Menyadari keberadaan diri sebagai makhluk berarti bahwa ada keterkaitan diri kita kepada Allah yang menciptakan kita, oleh karenanya wajib mempercayainya sebagai Tuhan yang wajib disembah, tidak ada yang lain selain DIA yang harus hidup berdasarkan tuntunan atau pedoman yang dibuatnya serta mempertanggungjawabkan segala yang telah diperbuat di dalam kehidupan ini (Rusli Amin, 2006 : 10).      
c.Membangun Kualitas Diri dengan Akhlakul Karimah
            Akhlak merupakan suatu naluri asli dalam jiwa seseorang manusia, yang dapat melahirkan sesuatu tindakan dan kelakuan dengan gampang dan mudah tanpa rekaan fikiran. Maka jika naluri tersebut melahirkan suatu tindakan dan kelakuan yang baik lagi terpuji menurut akal dan syara, dinamakan budi pekerti yang baik, tetapi manakala naluri itu melahirkan sesuatu perbuatan dan kelakuan yang jahat, maka dinamakan budi pekerti buruk (Al-Ghozali, tt., juz III : 52).Selain itu, akhlak berarti kebiasaan berkehendak (Ahmad Amin, 1975 : 62).
            Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui bahwa yang disebut akhlak adalah sesuatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang, jika yang diulang-ulang itu perbuatan terpuji, maka akan mempunyai akhlak terpuji (mahmudah). Sebaliknya, jika perbuatan yang dilakukan itu adalah yang dilarang agama, maka melahirkan akhlak tercela (mazmumah). Oleh karena itu, yang penting diketahui dan dilakukan adalah bahwa manusia sebagai individu harus membiasakan berperilaku yang baik serta membiasakan untuk meninggalkan perilaku tercela yang dilarang oleh agama.
       Sejalan dengan hal tersebut, menurut Christine Sanford & Wyn Beardsley bahwa setiap individu mempunyai pengalaman yang berbeda dalam dirinya dan dari perbedaan ini pola individu dari respon dibina, yang membawanya memahami pola perilaku (Christine Sanford & Wyn Beardsley, 1994 : 66).
            Cara yang dilakukan untuk membiasakan berperilaku yang baik menurut Abdul Karim yang mengutip pendapat Imam al-Ghozali adalah bahwa memperbaiki akhlak itu tak akan tercapai kecuali setelah membersihkan jiwa, sedangkan membersihkan jiwa adalah tunduk (patuh) terhadap cara-cara (ketentuan) syara’ (Abdul Karim, 1995 : 35 ). Berkenaan dengan hal itu, Ahmad Amin berpendapat bahwa cara mendidik akhlak dan meninggikannya adalah melalui : pertama : meluaskan lingkungan fikiran, maksudnya sebagaimana menurut Herbert Spencer bahwa sungguh fikiran sempit merupakan sumber beberapa keburukan, dan akal yang kacau balau tidak akan membuahkan akhlak yang tinggi, kedua : berkawan dengan orang-orang terpilih, ketiga : membaca dan menyelidiki perjalanan para pahlawan dan yang berfikiran luar biasa, keempat : yang lebih penting memberi dorongan kepada pendidikan akhlak ialah supaya orang mewajibkan dirinya melakukan perbuatan baik bagi umum yang selalu diperhatikan olehnya dan dijadikan tujuan yang harus dikejarnya sehingga berhasil, kelima : apa yang kita tuturkan di dalam “kebiasaan” tentang menekan jiwa melakukan perbuatan yang tidak ada maksud kecuali menundukkan jiwa (Ahmad Amin, 63-66).
            Selain hal-hal yang di atas bahwa untuk membiasakan meninggalkan perilaku tercela dan membiasakan melakukan perilaku yang terpuji itu memerlukan suatu riadhah atau latihan tertentu agar jiwa kita tidak menjadi liar. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Ghazali bahwa : “budi pekerti luhur hanya dapat dicapai dengan mengekang hawa nafsu dengan melakukan mujahadah, melatih diri, berusaha menjernihkan jiwa dan mempertinggi akhlak” (Al-Ghazali, 2011, tt., : 172-173). Yang menjadi perhatian intens bahwa, untuk berakhlak terpuji, harus dilakukan melalui pembiasaan atau urf, walaupun pada awalnya terkesan terdapat pemaksaan, tetapi pada akhirnya setelah dilakukan berulang-ulang, maka kesan “pemaksaan” itu hilang secara otomatis, apalagi setelah kegiatan pembiasaan itu, akan melahirkan “rasa cinta dan kesadaran” akan perlunya akhlakul karimah bagi setiap individu di dalam hidup dan kehidupannya.

2.Membangun Kepribadian Muslim di dalam Keluarga
     a.Pandangan Al-Qur’an tentang Etika dalam Berkeluarga
        Keluarga merupakan gerbang untuk membuka jendela kebahagiaan dalam sebuah keluarga. Yang diawali dengan sebuah perkawinan yang sakral, maka keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah akan tercipta.Hal ini dapat terwujud jika dalam keluarga dihiasi dengan budi pekerti yang luhur, yang saling menjunjung tinggi, mengajarkan dan mengaplikannnya di dalam keluarga termasuk di dalamnya pendidikan anak-anak.
       Sebagai orang tua, bertanggung jawab penuh secara lahir dan bathin dalam menjaga keutuhan dan keselamatan keluarga di dunia dan akherat yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah swt. Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa قواانفسكم واهليكم نارا    “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Tahrim/66 : 6).
      Sistem kekeluargaan yang diakui Islam ialah “Sistem Al-Usrah Azzaujiah” yaitu keluarga terdiri dari suami, isteri dan anak-anak : khas yang belum cukup umur atau belum berumah tangga (Omar Mohammad Al-Toumy Al- Syaibany, 1979, 205). Dalam konteks ini, bahwa anak-anak yang menjadi tanggung jawab orang tuanya adalah dimulai ketika di dalam kandungan sampai anak tersebut belum menikah.
        Di dalam tafsir Al-Qur’an Tematik Kemenag RI dijelaskan bahwa dalam kehidupan berkeluarga, suami isteri dituntut untuk menjaga hubungan yang baik, menciptakan suasana yang harmonis yaitu dengan menciptakan saling pengertian, saling menjaga, saling menghormati, saling menghargai serta saling memenuhi kebutuhan masing-masing karena apabila suami isteri melalaikan tugas dan kewajiban maka akan terjadi kesenjangan hubungan yang akibatnya dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti mengakibatkan kesalahpahaman, perselisihan dan ketegangan hidup berumah tangga (Kemenag RI, 2012 : 344-345).         
       ومن ايته انخلقلكم من انفسكم ازواجا لتسكنوااليها وجعل بينكم مودةورحمة . ان في ذلك لايت لقوم يتفكرون
Artinya : “ dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan ia di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kamu yang berfikir (Q.S Ar-Rum /30:21).
       Berdasarkan ayat di atas bahwa prinsip dan tujuan perkawinan adalah untuk membina keluarga yang tenang dan bahagia, hidup saling mencintai, bertaqwa kepada Allah dalam membentengi diri dari perbuatan maksiat dan penyelewengan seksual, membina hubungan kekeluargaan yang utuh dalam rangka mempererat silaturrahmi.
       Pasca pernikahan, maka secara kodrati tercipta suatu aturan dan tanggung jawab yang mengikat keluarga itu agar apa yang menjadi tujuan dalam mengarungi bahtera kehidupan tercapai sesuai aturan Allah. Hal ini selaras dengan pendapat Yusuf Qardawi yang kutip Kemenag RI bahwa ciri-ciri yang menonjol di dalam keluarga Muslim adalah tetapnya dominan kesetiaan, ketaatan, kasih sayang, membina silaturrahmi  (Kemenag RI, 360).
b.Mendidik anak dalam keluarga
           Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ibu adalah sekolah pertama al-ummu madrasatul-ula (Kemenag RI, 2012 : 148), yang mengandung, melahirkan dan menyusui anaknya, merawat dan membesarkan anak, serta mengasuh dan mendidik anak-anak, baik itu anak laki-laki ataupun wanita.  Oleh karena itu, orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Demikian juga, lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling utama di mana sebagian besar kehidupan anak itu ada di dalam keluarga, oleh karenanya pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah pendidikan di dalam keluarga.
            Orang tua sebagai lingkungan pertama dan utama bagi anak untuk berinteraksi dengan seorang ibu yang merupakan pendidik pertama (madrosatu al-ula) dan ayah sebagai sosok ideal kepala keluarga bagi ibu dan  anak,  yang menurut Alex Sobur bahwa Ayah seyogyanya memiliki kesadaran bahwa ia juga turut bertanggung jawab dalam penjagaan, perawatan dan pemeliharaan serta pendidikan anak-anaknya itu bersama dengan sang ibu mulai dari anak itu lahir hingga dewasa (Alex Sobur, 1991 : 25), sehingga keluarga di tempatkan sebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan.    Oleh karena itu, orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya, lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga.
             Anak merupakan buah hati setiap pasangan dalam sebuah keluarga yang harus dididik dengan benar agar nantinya menjadi pewaris dinasti keluarga di masa mendatang. Jika anak tidak dididik dengan benar, maka akan meninggalkan generasi yang lemah. Walaupun demikian, bahwa di dalam diri anak, masih terdapat jiwa yang suci, dimana dalam proses pengisian jiwa itu harus memperhatikan berbagai aspek pendidikan agar tidak terjadinya salah didik atau salah asuh bagi anak.
            Pendidikan keluarga merupakan tanggung jawab bersama antara ayah dan ibu dalam sebuah keluarga tersebut, dan tidak boleh menganggap enteng terhadap pendidikan anak di dalam keluarga, mengingat bahwa keluarga adalah lingkungan pertama dimulainya suatu pendidikan di rumah (home schooling).
            Menurut Murtadha Muthahhari bahwa hati atau jiwa tidak boleh diperintah secara paksa tetapi harus dilatih dan dibina secara arif dan bijaksana, sebagaimana bahwa dalam proses pendidikan dan pembelajaran persiapan mental ataupun kondisi spiritual harus benar-benar diperhatikan karena sangat menentukan hasil yang akan dicapai (Murtadha Muthahhari, 2011 : 39). Atas dasar itu, diketahui bahwa dalam mendidik anak di keluarga memerlukan suatu kearifan, kesabaran, keuletan dengan tidak semata-mata memaksa anak untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik oleh orang tua, tetapi memerlukan suatu penelitian khusus jika ditemukan ada anak yang melakukan perilaku  menyimpang, walaupun sebenarnya “dalam kondisi prinsip” pemaksaan terhadap anak perlu dilakukan. Kondisi prinsip yang dimaksudkan adalah suatu kondisi yang menyangkut masalah aqidah dan prinsip hukum Islam, misalnya anak malas dalam melakukan ibadah, maka pemaksaan untuk beribadah itu diperlukan.
            Untuk menjaga fitrah yang ada di dalam jiwa anak, maka tujuan pendidikan harus diarahkan pada pembentukan insan yang berwawasan Islam dengan terpancarnya akhlaqul karimah di dalam setiap kehidupannya. Senada dengan tujuan pendidikan di atas , menurut Ali Ashraf bahwa tujuan akhir pendidikan Muslim adalah perwujudan  penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya ( Ali Ashraf, 1996 : 2).
1)      Tanggung Jawab Orang Tua Kepada Anak   
a)      Tanggung Jawab Pendidikan Iman
       Yang dimaksud dengan Pendidikan Iman adalah mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak ia mengerti, membiasakannya dengan rukun islam sejak ia memahami, dan mengajarkan kepadanya dasar-dasar syariat sejak usia tamyiz (Abdullah Nashih Ulwan, 2007 : 165).
اِفْتَحُوْا عَلَى صِبْيَانِكُمْ اَوَّلَ كَلِمَةٍ بِلَا اِلهَ اِلَّاالله
Artinya : “Bacakanlah kepada anak-anak kamu kalimat pertama dengan Laa Ilaaha Illallaah “ (HR. Ibnu Abbas).
       Manfaatnya adalah agar kalimat tauhid dan syiar Islam menjadi yang perdana didengar anak sebagaimana juga adanya tuntunan pembacaan azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri ketika anak baru lahir.
       Hal ini dilakukan mengingat tingkat umur anak selalu beralih  dari masa kanak-kanak ke masa remaja, bahkan dewasa, yang menurut Paul Lengrand mengatakan bahwa “ agar saat peralihan tersebut mempunyai arti sepenuhnya, dan tidak menunjukkan saat kehancuran, tetapi membuktikan unsur kemajuan ke arah kesadaran yang lebih mendalam, dan pengetahuan  yang lebih mantap serta penguasaan lebih besar terhadap diri sendiri, maka diperlukan suatu usaha pendidikan yang khusus pada tiap peristiwa, seolah-olah untuk langkah baru guna memasuki masa dewasa” (Paul Lengrand, 1983 : 33).
مُرُوْا اَوْلَادَكُمْ بِا الصَّلاَةِ وَهُمُ اَبْناَءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ اَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي اْلمَضَاجِعِ
Artinya : “Perintahkan anak-anakmu menjalankan shalat jika mereka sudah berusia tujuh tahun, dan jika mereka sudah berusia sepuluh tahun maka pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya, dan pisahkanlah tempat tidur mereka “(HR. Hakim).
b)      Tanggung Jawab Pendidikan Moral
       Yang dimaksud pendidikan moral adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi lautan kehidupan (Abdullah Nashin Ulwan, 193).
مَا نَحَلَ وَالِدٌ مِنْ نَحْلٍ اَفْضَلَ مِنْ اَدَبٍ حَسَنٍ
 Artinya :” Tidak ada suatu pemberian yang lebih utama yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya, kecuali budi pekerti yang baik “ (HR. Tirmidzi).
مَنْ حَقّ الْوَلَدِ عَلَى الْوَلَدِ اَنْيُحْسِنَ اَدَبَهُ وَيُحُسِنَ  اسْمُهُ
Artinya : “ Di antara yang menjadi hak seorang anak atas orang tuanya adalah memperelok budi pekertinya dan menamakannya dengan nama yang baik “ (HR. Baihaqi).
c)      Tanggung Jawab Pendidikan Fisik
      Tanggung jawab ini meliputi pemberian nafkah kepada keluarga dan anak dengan rizki yang halal, mengikuti aturan-aturan yang sehat dalam makan, minum dan tidur, melindungi diri dari penyakit menular, pengobatan terhadap penyakit, merealisasikan”prinsip-prinsip tidak boleh menyakiti diri sendiri dan orang lain”, membiasakan anak-anak berolah raga dan bermain ketangkasan, membiasakan anak untuk zuhud dan tidak larut dalam kenikmatan, membiasakan anak bersikap tegas, menjauhkan diri dari pengangguran, penyimpangan dan kenakalan (Abdullah Nashih Ulwan, 245-256).
d)     Tanggung Jawab Pendidikan Rasio (Akal)
      Yang dimaksud dengan pendidikan rasio adalah membentuk(pola) pikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, seperti ilmu-ilmu agama, kebudayaan dan peradaban (Abdullah Nashih Ulwan, 301).
Berkaitan dengan ini, maka orang tua harus mengajari anak dengan pelajaran-pelajaran yang senantiasa membawa kemashlahatan, menumbuhkan kesadaran berfikir, dan pemeliharaan kesehatan rasio.   Pada tahap pengembangan rasio anak, bahwa ia diajak untuk mempergunakan akalnya dalam memikirkan hal-hal yang baik atau yang tidak baik dengan harapan bahwa anak-anak dapat bertingkah laku meninggalkan perilaku yang jelek dan membiasakan berperilaku yang terpuji, karena menurut Alex Sobur bahwa pada dasarnya anak-anak masih selalu membutuhkan penilaian terhadap tingkah lakunya, kalau ia mendengar pengakuan bahwa apa yang dilakukan itu benar, ia merasa mantap dan menjadi gembira ( Alex Sobur, 59), ini berarti bahwa pemberian reward bagi anak sangat penting. Reward yang sederhana dapat berupa Pemberian balasan yang sifatnya siprituil dengan cara memujinya di depan teman-teman, apalagi memberikannya hadiah kepada anak  akan sangat berpengaruh dalam meningkatkan prestasi anak dalam berbuat kebaikan.

e)      Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan
       Pendidikan kejiwaan adalah pendidikan yang dimaksudkan untuk mendidik anak semenjak mulai mengerti supaya bersikap berani terbuka, mandiri, suka menolong, bias mengendalikan amarah, dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak (Abdullah Nashih Ulwan, 363).
       Hal di atas sangat penting bagi anak mengingat posisi jiwa anak pada masa ini yang masih labil, sehingga membutuhkan suatu motivasi tertentu agar jiwa anak dapat terbentuk dengan matang.
      
2)      Pola Pembinaan Rasa Keagamaan pada diri anak
       Orang tua (ayah) merupakan factor lingkungan yang sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian si anak. Berdasarkan temuan psikoanalisa, disimpulkan bahwa : perasaan keagamaan anak tumbuh dari pandangan anak terhadap sikap dan tingkah laku bapak sebagai father image(Jalaluddin, 1995: 51). Dalam konteks ini, figur seorang ayah mempunyai posisi yang istimewa di dalam jiwa anak, oleh karena itu ayah harus menjadi pribadi yang baik bagi anak-anaknya. Bukan hanya sosok yang cerdas, berwibawa, sumber curhat bagi anak, tetapi ayah harus mempunyai kemampuan lebih serta kepiawaiannya di dalam mencari nafkah untuk menghasilkan rezeki yang halal bagi keluarganya. Jika demikian, maka secara otomatis seorang ayah telah mengadakan pembinaan dalam rangka menumbuhkan rasa keagaan bagi anak-anak dan keluarga tercinta.
       Dalam rangka pembinaan rasa keagamaan anak, menurut Abdullah Nasi Ulwan dalam Nazarudin Rahman bahwa ada lima metode penting yang dipergunakan oleh orang tua untuk menumbuhkan rasa keagamaan pada diri anak, yaitu : pertama: Pembinaan dengan keteladanan, kedua : Pembinaan dengan kebiasaan, ketiga : Pembinaan dengan nasehat, keempat: Pembinaan dengan perhatian, kelima : Pembinaan dengan hukuman (Nazarudin Rahman, 70)

3)      Tahapan-tahapan perkembangan Pendidikan Anak
       Boomingnya pendidikan di era global ini, tidak terlepas dari jasa-jasa pendahulu di bidang pendidikan kita yang lebih dahulu berkiprah di dunia pendidikan,  sehingga melalui pengetahuan dari mereka kita dapat mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi di dalam perkembangan dan pertumbuhan  anak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sosial pada pendidikan anak adalah meliputi : keluarga, guru muslim, teladan yang baik, ibadah-ibadah fardhu (Sayyid Muhammad Az-za’Balawi, 2007 : 159). Diantara teori-teori perkembangan pendidikan anak adalah:
Pertama,
Teori konstruktivisme Piaget, (Suparno, 2001:5) bahwa yang mendasari  pengetahuan dibentuk oleh murid atau orang yang sedang belajar. Pengetahuan tidak diterima begitu saja dari guru, namun murid sendirilah yang harus mengkoordinasikan, memikirkan, dan membentuk pengetahuan. Tanpa kegiatan aktif membentuk pengetahuan dalam pikirannya seseorang tidak akan tahu sesuatu. Sejalan dengan itu, menurut Davidoff  bahwa teori Piaget menjelaskan tentang pengertian seseorang mengalami perkembangan dari lahir sampai menjadi dewasa. Dalam tahap-tahap perkembangannya masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Piaget membedakanya dalam empat tahap perkembangan kognitif seseorang antara lain  tahap sensorimotor pada usia 0-2 tahun, tahap praoperasional usia 2-7 tahun, tahap operasi konkrit pada usia 7-11 tahun dan tahap operasi formal setelah usia 11 tahun keatas. Perkemabngan tahap-tahap tersebut berurutan karena setiap tahap memerlukan tahap sebelumnya. Awal dan perkembangan tahap-tahap tersebut dapat berbeda untuk setiap pribadi  (Davidoff, 1988 :371)
                    Kedua,
       Teori Bowlby, (Singgih D. Gunarsa, 1987 : 171-176 ) mengatakan bahwa pendidikan anak dibagi menjadi empat tahapan, yaitu :
a)              Masa I (0-3 bulan). Pada masa pertama ini, bayi memperlihatkan      bermacam-macam jawaban dengan memberikan respon   senyuman dan ocehan serta adanya reflek menggenggam, reflek            memeluk atau mendekap (reflek Moro) untuk semua orang di           dekatnya.
b)              Masa II (3 -6 bulan). Pada masa ini, senyuman, ocehan bayi             bukan diperlihatkan kepada semua orang yang mendekatinya,     melainkan diberikan kepada orang yang sudah dikenalnya.
c)              Masa III (6 bulan-3 tahun). Pada masa ini, anak sudah          mempertahankan hubungan dengan tokoh tertentu, misalnya anak           anak akan kecewa atau menangis jika tokoh yang diidolakan      meninggalkannya.
d)              Masa IV ( 3 tahun-akhir masa kanak-kanak). Pada masa ini, anak     sudah dapat membentuk kerja sama.
                   Ketiga,
                          Teori Charlot Byhler  (Abdul Muis Kabry, 1964 : 42) bahwa perkembangan pendidikan anak terbagi menjadi beberapa fase, yaitu :
a)              Fase I (0-6 tahun) dinamakan Scola Materna (sekolah Ibu).
b)              Fase II (6-12 tahun) dinamakan Scola Vermacula (sekolah   Bahasa Ibu).
c)              Fase III (12-18) dinamakan Scola Latina (sekolah Latin)
d)              Fase IV (18-24) dinamakan Academis atau akademi.
                 Dengan mengetahui beberapa tahapan atau fase pada perkembangan jiwa anak, diharapkan bahwa dalam upaya pembiasaan akhlak yang baik (akhlaqul karimah) tidak terjadi penyimpangan, atau mal praktik yang akan berpengaruh terhadap masa depan anak sebagai generasi penerus bangsa.

3.Mewujudkan Kepribadian Muslim di dalam Masyarakat
       Di dalam mewujudkan kepribadian Muslim di dalam masyarakat, hal yang fondasional yang perlu dilakukan dalam rangka menumbuhkembang kepribadian manusia adalah sebagai berikut :
 Pertama :
       Dengan mengamalkan ajaran agama, karena agama adalah pengendali, pengontrol, dan pengawas nafsu dan hati (Abu Al-Hasan Ali Al-Bashri Al-mawardi, 2002 : 97). Dengan kondisi ini, maka agama dijadikan dasar kebahagiaan bermasyarakat di “dunia”  yang esensial, berpengaruh dan kokoh, sehingga Allah swt dan Rasul-Nya adalah sandaran dalam berperilaku di masyarakat. Dalam mengamalkan agama ini, anak harus ditanamkan prinsip dasar kejiwaan yang mulia, meliputi taqwa, persaudaraan, kasih sayang, mengutamakan orang lain, pemaaf, dan keberanian akan pembelaan terhadap kebenaran (Abdullah Nashih Ulwan, 436).
 Kedua : 
       Memprioritaskan pergaulan dengan sesama Muslim, caranya adalah dengan memperlakukan teman sesama muslim sebagai saudara kandung, sesama muslim yang seiman harus mawas diri, dilarang untuk mengejak dengan berbagai sebutan atau gelar yang buruk, menjauhkan diri dari prasangka buruk terhadap sesama muslim, dan dilarang menggunjing sesama muslim (Jalaluddin, 2009 : 381). Selain itu juga, bahwa dalam bergaul hendaknya senantiasa memelihra kesetiaan yang tulus,   ketahuilah bahwa kesetiaan tidak berarti selalu mengabulkan permintaan saudara dalam apa yang bertentangan dengan kebenaran dalam masalah agama, tetapi kesetiaan itu adalah sangat berhati-hati terhadap perpisahan dan secara naluriah merasa malu pada berbagai penyebabnya (Imam Al-Ghazali, 1994 :63). Hal ini mengandung maksud, bahwa kesetiaan yang tulus itu adalah tidak akan mencerai beraikan persaudaraan yang dilandasi kecintaan dan ketaatan kepada Allah.   

Ketiga:
       Beramal shaleh dengan fikiran yang cerdas dan punya banyak ilmu. Menurut Syahminan (1995 : 37-38) bahwa untuk membina agar manusia mempunyai fikiran cerdas dan punya banyak ilmu, Islam memberikan petunjuk sebagai berikut :
a.       Islam memrintahkan untuk menuntut ilmu
b.      Islam melarang mengerjakan sesuatu yang belum dimengerti
c.       Agar mengerti segala yang akan dikerjakan itu, maka Islam memerintahkan untuk meneliti segala sesuatu yang ada di alam ini
d.      Islam menyatakan bahwa amal yang akan diterima Allah adalah amal yang dikerjakan dengan pengertian
e.       Islam menghendaki agar ilmu itu diaplikasikan di dalam segala lapangan kehidupan manusia
f.       Islam mencela orang-orang yang bodoh.
Keempat:
       Menerima kritik dengan lapang dada, ini sebuah konsep bahwa jangan anggap semua kritik yang diarahkan kepadamu sebagai suatu bentuk permusuhan, ambillah manfaat yang ada di dalamnya, tanpa harus melihat maksud dari si pengkritik, sebab sebenarnya anda memang membutuhkan kritikan dari pada pujian (Aidh al-Qarni, 2006 : 93).
Kelima :
       Mempunyai hobby yang bermanfaat, ternyata kegemaran atau hobby terhadap sesuatu mampu menghilangkan rasa cemas dan stress dari berbagai himpitan hidup, di samping itu juga bahwa hobby memiliki manfaat yang luas dalam menggapai kesuksesan hidup (Iqbal Hamdy, 2005 : 97).
Keenam :
       Toleransi, karena Allah swt tidak melarang umat Islam berhubungan sosial dengan umat non-Islam selama mereka tidak memusuhi Islam. Karena itu, jangan sampai umat Islam menjadi risih dengan keberadaan umat lain lalu menjadikan mereka musuh. Jika mereka tidak memerangi, jadikanlah mereka sebagai teman (Fathul Anas, 2010 : 122).
Ketujuh :
       Menumbuhkembangkan Kemandirian Remaja, caranya dengan menciptakan partisipasi dan keterlibatan remaja dalam keluarga, menciptakan keterbukaan, menciptakan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan, menerima secara positif tanpa syarat, empati terhadap remaja, menciptakan kehangatan hubungan dengan remaja (Muhammad Al-Mighwar, 2011 : 214-2150). Yang dimaksud menerima secara positif tanpa syarat adalah menerima kelemahan atau kekurangan remaja dengan tidak membeda-bedakan antara remaja satu dengan yang lainnya dan menghargai potensi remaja dalam bentuk kegiatan produktif.

C. Kesimpulan
            Fitrah manusia itu dapat dilihat bagaimana kepribadian seorang muslim itu terbentuk, sehingga produktivitas di dalam masyarakat senantiasa membawa kemanfaatan, baik itu kepribadian sebagai seorang muslim individu, keluarga atau masyarakat.
       Untuk membentuk kepribadian muslim sebagai individu, dapat dilakukan melalui kegiatan penanaman nilai-nilai agama sebagai sistem nilai di dalam kehidupan pribadi muslim, pengetahuan terhadap potensi dirinya dan membangun kualitas diri dengan akhlaqul karimah.
       Membangun kepribadian muslim di dalam keluarga dilakukan dengan mengetahui dan mempelajari tentang bagaimana pandangan Al-Qur’an tentang etika dalam keluarga, dan bagaimana cara mendidik anak dalam keluarga.
       Mewujudkan kepribadian muslim dalam masyarakat dilakukan melalui upaya pengamalan agama, bergaul dengan sesama muslim (prioritas), beramal shaleh, menerima kritik, mempunyai hobby yang bermanfaat, toleransi dan menumbuhkembangkan kemandirian remaja.












               
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an  dan terjemah, 2012, Aljamil Al-Qur’an Tajwid warna, Terjemah Per Kata,       Terjemah Inggris, Jakarta : PT. Cipta Bagus
 Ali Al-Bashri Al-mawardi, Abu Al-Hasan 2002, terj., Etika Agama dan dunia,      Bandung : Pustaka Setia 
Al-Mighwar, Muhammad, 2011, Psikologi Remaja, Bandung : Pustaka Setia
Al-Toumy al-Syaibany, Omar Mohammad, 1979, terj., Falsafah Pendidikan Islam,             Jakarta : Bulan Bintang
Amin, Ahmad, 1975, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta : Bulan Bintang
Amin, Rusli, 2006, Kiat-kiat Sukses Sebuah Pendekatan Qur’ani untuk Membangun           Kualitas Diri dan Kehidupan, Jakarta : Al-Mawardi Prima
Anas, fathul, 2010, The Miracle Of Quranic Motivation, Jakarta : Citra Risalah
Asraf, Ali, 1996, terj., Horison Baru Pendidikan Islam, N. Massachusetts : Pustaka            Firdaus
Bahreisy, Salim, 1986, Riadhus shalihin, Bandung : PT. Al-Ma’arif
Barnadib,  Imam, 1994, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, Yogyakarta : Abdi           Offset
D. Gunarsa, Singgih, 1987, Dasar dan Teori Perkembangan Anak, Jakarta:Gunung           Mulia
Departemen Agama RI, 1989, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : PT. Thoha            Putra
Effendy, Mochtar,  1997, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam, Palembang : Al-  Muhtar
Faz, Ahmad Thoha, 2007, Titik Ba’ : Paradigma Revolusioner dam Kehidupan      Pembelajaran, Bandung : Mizan
Ghozali, Al, tt., Ihya’ Ulumuddin, Singapura : Sulaiman Mar’i
--------, 1994, terj., Menjalin Persaudaraan, Bandung : Al-Bayan
--------, 2011,terj., Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Yogyakarta : Bintang Cemerlang,
Hadits-hadits Nabawi
Hamdy, Iqbal, 2005, Menggapai Hidup yang Bermakna, Jakarta : Republika
Imarah, Muhammad, Islam dan Keadaan Sosial, Jakarta : Gema Insani
Jalaluddin, 1995, Mempersiapkan anak Shaleh, Tela’ah Pendidikan Terhadap Sunnah              Rasulullah SAW, Jakarta : Raja Grafindo
--------, 2009, Fiqih Remaja (Bacaan Populer Remaja Muslim), Jakarta : Kalam                       Mulia
--------., 2011,  Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia
Jalaluddin & Abdullah Idi, 2011, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan                      Pendidikan), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Kabry, Abdul Muis, 1964, Membina Naluri Beragama, Bandung : PT. Al-Ma’arif
Karim, Abdul, Titik Persimpangan tasawuf dan Kebathinan, Pekalongan : CV. Batang
Kemenag RI, 2012, Tafsir Al-Qur’an Tematik (Etika Berkeluarga, bermasyarakat dan       berpolitik), Jakarta : Direktorat URAIS dan Pembinaan Syari’ah
--------, 2012, Tafsir Al-Qur’an Tematik (Kedudukan dan Peran Perempuan),          Jakarta : Direktorat Urais dan Pembinaan syari’ah
--------, 2012, Tafsir Ilmi Penciptaan Manusia Dalam perspektif Al-Qur’an Dan sains,        Jakarta : Kemenag RI
Lengrand, Paul, 1983, Pengantar Pendidikan Sepanjang Hayat, Jakarta : Gunung Agung
Muthahhari, Murtadha, 1998, Fitrah, terj. Afif Muhammad, Jakarta : Lentera Basritama
--------, 2011, Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan Islam, Jakarta :            Sadra Press
Nashih Ulwan, Abdullah, 2007, Pendidikan Anak Dalam Islam Jilid I, terj., Jakarta :          Pustaka amani
Nata, Abuddin, 2001, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu
Olivia, Femi, 2012, Klinik Belajar Otak Kanan, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Qarni, Al, Aidh, Menakjubkan !Potret Hidup insan Beriman, Solo : Aqwam
Rahman, Nazarudin, 2010, Spiritual Building-Pembinaan Rasa Keagamaan Anak Menurut Islam, Yogyakarta : Felicha
Saleh Abdullah, Abdurrahman, 1994, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an,       Jakarta : Rineka Cipta
Sobur, Alex, 1991, Komunikasi Orang Tua dan Anak, Bandung : Angkasa
Syafiie, Inu Kencana, Pengantar Filsafat, Bandung : PT. Refika Aditama
Syahban, J., 2009, Energi Ketuhanan Untuk Berbisnis, Yogyakarta :DIVA Press
Zaini, Syahminan, 1986, Mengapa Manusia Harus Beragama, Jakarta : Kalam Mulia
--------, 1995, Kehidupan Sosial Seorang Muslim, Jakrta : Kalam Mulia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila