(rasiman.bakrasyid@gmail.com) |
A.Pendahuluan
Diciptakannya
manusia di dunia ini oleh Allah swt bukanlah tidak mempunyai tujuan, tetapi
manusia mengemban tugas berat dengan gelar yang disandang sebagai “kholifah
fil ardh” (Kemenag RI, 2012 : 121). Atas dasar itu, maka manusia dalam posisinya
sebagai individu, yang hidup di dalam keluarga dan masyarakat harus mengetahui
apa hakekat diciptakan dirinya di dunia ini.
Di dalam Islam,
bahwa hakekat diciptakannya manusia oleh Allah swt adalah untuk mengabdikan
dirinya kepada Sang Kholiq, yaitu Allah Azza wajalla ( Q.S 51:56) yang
berbunyi : وما خلقت الجن والانس
الا ليعبدون . Mengingat tugas berat manusia yang dibebankan oleh Allah swt ,
maka Dia membekali manusia dengan sebuah potensi esensial yang
jika dipergunakan potensi itu maka manusia akan dapat menjalankan tugasnya
dengan baik. Potensi itu adalah berupa fitrah (QS.30:30). Yang
disebut fitrah menurut Quraish Shihab dan Yaqob Sumardjo dalam Jalaluddin
adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia berkaitan dengan jasmani, akal
serta ruhnya yang dengannya manusia cenderung untuk selalu mencintai kebenaran
sampai setiap orang menyatakan setuju terhadap apa yang ditemuinya (Jalaluddin,
2011:7). Kebenaran itu, sebagaimana menurut Bradley adalah suatu kenyataan (Inu
Kencana Syafiie, 2010 : 31). Oleh karena itu, hasil olah akal, ruh, jasmani
dan fitrah itu harus dapat dibuktikan secara perbuatan yang nyata dalam rangka
pengabdian diri kepada Allah swt.
Filsafat
Pendidikan adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam
bidang pendidikan ( Omar Muhamma al-Thoumy al-Syaibany, 1979 :30) yang menurut Jalaluddin untuk menciptakan manusia yang baik dan benar,
berbakti kepada Allah untuk membangun struktur kehidupan di dunia sesuai dengan
hukum (syari’ah) dan menjalani kehidupan tersebut sesuai iman yang
dianut ( Jalaluddin, 45).
Filsafat Pendidikan
Islam adalah suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang
terdapat dalam kegiatan pendidikan berdasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits
sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filodof Muslim
sebagai sumber sekunder ( Abuddin Nata, 2001:15).
Filsafat Pendidikan
Islam merupakan suatu sistem, yaitu suatu himpunan gagasan atau prinsip
yang saling bertautan, yang tergabung menjadi suatu keseluruhan (Imam Barnadib, 1994 : 19) yang
menurut Jalaludin bahwa sistem itu terdiri dari berbagai komponen, yang
masing-masing saling terkait, saling tergantung dan saling menentukan guna
menopang terselenggaranya aktivitas pendidikan dengan baik ( Jalaluddin,
122).
Filsafat
Pendidikan Islam merupakan suatu Sistem Nilai yang dengannya dianggap
sebagai sesuatu yang benar, hingga perlu dipertahankan bahkan pada taraf
tertentu, terkadang orang lebih memilih mengorbankan “ nyawa “ demi
mempertahankan sebuah kebenaran ( Jalaluddin, 8 ), yang menurut Imam
Barnadib Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan Suatu Sistem Nilai
keindahan yakni suatu kenikmatan yang dihasilkan dalam pengalaman bila
kognisi dan perasaan bercampur atau saling mempengaruhi. Kognisi dimaksud merupakan persoalan persepsi
sebagaimana dihubungkan dengan kenikmatan keindahan yang dapat dipadukan antara pengalaman,
persepsi dan perasaan (Imam Barnadib, 51 ).
Mengingat begitu
pentingnya pendidikan Islam sebagai Sistem Nilai yang harus dipertahankan, maka
sistem nilai itu harus terpatri di dalam diri manusia agar dapat diaplikasikan
di dalam hidup, sehingga akan tercermin dengan terbentuknya kepribadian Muslim,
baik itu secara individu, di dalam keluarga atau pun di dalam masyarakat.
Dengan demikian, Filsafat Pendidikan Islam
itu merupakan suatu kajian dan gagasan
secara filosofis tentang suatu kebenaran yang beradasarka Al-Qur’an dan Al-
Hadits, yang saling terkait antara satu dengan lainnya dan perlu dipertahankan
agar output pendidikan selaras dengan ajaran al-Qur’an dan al-Hadits tersebut.
Berkenaan dengan hal
di atas, maka dapat ditemukan berbagai permasalah yang muncul adalah sebagai
berikut : bagaimanakah cara membentuk kepribadian muslim
secara individu, bagaimana cara membangun
kepribadian muslim di dalam keluarga, dan bagaimanakah cara mewujudkan
kepribadian muslim di dalam masyarakat ?
B. Pembahasan
1.Membentuk Kepribadian Muslim sebagai
seorang Individu
Manusia secara individual merupakan
pemimpin bagi dirinya yang harus mempertanggung jawabkan apa yang pernah
dilakukan kepada Allah swt. Hal ini
relevan dengan hadits Nabi saw كلكم راع مسؤل عن رعية “ Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya dari hal yang dipimpinnya (HR.
Bukhary-Muslim)” (Salim Bahreisy, 1986 : 528).
Oleh karena itu, manusia secara individual yang mengetahui dan menyadari
bahwa dirinya adalah pemimpin, yang harus mempertanggung jawabkan atas apa yang
dipimpinnya itu kepada Allah swt, berarti manusia tersebut telah memiliki suatu
aturan yang disebut dengan agama.
Agama adalah
aturan yang diberikan Allah dan rasul-Nya sebagai tuntunan hidup di dalam
mengatur dan mengendalikan dirinya, sebagai aturan antara manusia, makhluk lain
dan sebagai aturan di dalam hubungan antara manusia dengan al-Khaliqnya, yaitu
Allah swt (Mochtar Effendy, 1997:1). Agama yang dimaksud adalah agama
Islam, sehingga individu yang beragama Islam disebut sebagai muslim. Manusia
atau individu yang demikian itulah, yang
menurut Jalaluddin disebut sebagai homo religious,
yaitu makhluk beragama (Jalaluddin, 78).
a. Penanaman Sistem Nilai dalam Kehidupan Pribadi Muslim
Menurut Jalaluddin dan
Abdullah Idi bahwa : “ Manusia merupakan salah satu makhluk yang sudah ribuan
abad lamanya menghuni bumi, yang sebelum terjadi proses pendidikan di luar
dirinya, pada awalnya manusia cenderung berusaha melakukan pendidikan pada
dirinya sendiri, di mana manusia berusaha mengerti dan mencari hakekat
kepribadian tentang siapa diri mereka sebenarnya (Jalaluddin & Abdullah
Idi, 2011 : 130).
Sebagai pribadi muslim yang telah
memahami suatu doktrin yang dianggap sebagai sesuatu yang benar, maka doktrin
ajaran yang dimiliki itu merupakan suatu sistem nilai yang harus dipertahankan
dan dibela dari pelbagai ancaman yang datang guna menjaga tetap utuh dan
eksisnya doktrin kebenaran itu.
Sistem nilai yang harus dipertahankan
adalah suatu yang telah dibawa manusia sejak lahir, yang disebut sebagai
fitrah. Menurut Murtadha Muthahhari, fitrah itu adalah sesuatu yang
berkaitan dengan keadaan manusia dan hubungan keadaan tersebut dengan agama (Murtadha
Muthahhari, 1998:8). Hal ini relevan dengan fitrah yang ada di dalam Al-Qur’an,
yang berbunyi :
فطرت الله التى فطرالناس عليها
Artinya : Dia telah menciptakan manusia
menurut fitrah ( QS. 30:30).
Bahwa sistem nilai yang ada itu, berupa fitrah beragama, di dalamnya
terdapat sesuatu pemikiran dan materi
yang memfungsikan seluruhnya dalam membangun manusia, dimana pada kondisi awalnya manusia itu sebagai
makhluk yang individu.
Hal ini menurut Muhammad Imarah bahwa agama merupakan fitrah
yang berfungsi memelihara jiwa dan
memelihara perkembang biakan yang baik bagi jiwa serta meletakkan proses
perkembang biakan ke dalam fitrah kasih sayang dan privasi keluarga dengan menjaga
keturunan dan martabat ( Muhammad Imarah, 1999:33). Bahwa dengan
mempertahankan sistem nilai, maka manusia akan mengetahui apa hakekat manusia yang sebenarnya, yang untuk
mengetahuinya tidak didapatkan secara tiba-tiba, tetapi melalui suatu proses
pendidikan yang terus menerus.
Menurut Jalaluddin bahwa hakekat diciptakan manusia
adalah bahwa Allah menjadikan manusia sebagai pengabdi Allah yang setia, yakni
sosok manusia yang berakhlak mulia (akhlaqul karimah), yang dengannya
menjadi sosok pribadi yang mampu mewujudkan sikap dan perilaku terpuji yang
ditampilkan dalam berbagai aktivitas amal shalih, yang memberi nilai manfaat
bagi kehidupan sehingga mampu menempatkan diri sebagai teladan dalam berbuat ma’ruf
agar orang lain termotivasi untuk melakukannya (amar ma’ruf) serta mampu
melakukan tindakan preventif hingga perbuatan mencegah (nahi munkar)
atas dasar keimanan kepada Allah (tu’minu billah), didorong keyakinan penuh dan
ketulusan, bahwa yang bersumber dari Allah adalah benar (jalaluddin, 118).
Jika manusia
sebagai individu telah mengetahui hakekat manusia, maka di dalam dirinya akan
muncul sifat optimistis dan jiwa yang tenang karena yakin bahwa apa yang
dilakukan itu senantiasa dilihat oleh Allah walaupun manusia tidak dapat
melihatnya (ihsan), yang dengannya muncul suatu ketenteraman hidup penuh
khusnuzhan kepada Allah, pada zona yang luas akan dapat mewujudkan suatu
keadaan yang disebut sebagai baldatun, thayyibatun, warabbun
ghaffur.
Untuk mempelajari tentang hakekat manusia,
satu-satu jalan yang paling meyakinkan adalah dengan merujuk ke sumber dari
sang Pencipta manusia itu sendiri, yaitu Allah swt. Di dalam Al-Qur’an
dijelaskan mengenai konsep manusia, yang menurut Jalaluddin istilah manusia
menggunakan sebutan : Abd Allah, yang
secara hierarkis abd atau abdi berada dalam posisi yang paling
rendah yakni milik dan hamba “Tuan” nya, namun aktivitas tertinggi dari
manusia sebagai seorang abd (hamba) adalah dalam menunjukkan kepatuhan,
ketundukan, maupun ketaatan, yakni tindak ibadah. Bani Adam, dalam konsep ini dinyatakan bahwa secara
antropologis fisik, manusia terbagi menjadi tiga ras induk yakni, Kaukasoid,
Negroid dan Mongoloid. Yang terpenting adalah perbedaan warna kulit, dan
lain-lain tidak perlu diperdebatkan karena semua itu adalah merupakan Anak
Adam as yang harus beribadah kepada Allah swt, tolok ukurnya adalah
اني جاعل فى الارض خليفة “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi “ (QS. 2:30).
Bani Basyr, diartikan sebagai keturunan manusia. Hal ini juga berarti, bahwa
manusia bukan keturunan makhluk selain manusia seperti jin, malaikat ataupun
hewan. Selain itu, menurut Muhaimin dalam Jalaluddin, al-Basyr merupakan konsep yang lebih
menitikberatkan pada pendekatan biologi.
Pendekatan biologi ini, manusia
disadarkan bahwa seluruh makanan dan minuman yang diperolehnya bersumber dari
Allah swt, apa yang diperolehnya adalah nikmat, karenanya wajib disyukuri ( Jalaluddin, 83-84). Dengan demikian,
bahwa jika menurut Darwin, manusia
berasal dari kera, adalah pendapat yang salah.
Al-insan, menurut M.
Quraisy shihab berasal dari akar kata uns, yang berarti jinak, tampak,
dan harmonis. Penggunaan al-insan dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan
manusia secara totalitas. لقد خلقن
الانسا ن فى احسن تقويم yang
artinya “ sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya” (Q.S 95:4). Pada konsep
ini, manusia memiliki kelebihan yang perfect dibandingkan dengan makhluk
Allah yang lainnya misalnya anggota tubah yang sempurna, dan yang sangat fundamental
adalah manusia memiliki akal fikiran yang cerdas.
Berhubungan dengan otak ini, menurut Makoto Shichida pakar
otak kanan Jepang dalam bukunya “Children Can Change Through Right
Brian Education”, mengatakan bahwa stimulasi otak kanan sejak usia dini
dapat membuat seseorang memiliki kecerdasan intelektual, nalar kuat, dan daya
tangkap cepat (Femi Olivia, 2012 :10).
Al-ins, lihat
Al-Qur’an 51:56 yang berbunyi وما
خلقت الجن والانس الا ليعبدون : Artinya
“ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia (al-ins) melainkan supaya mereka
menyembah-KU” (Q.S 51:56). Konsep Al-ins mengacu pada potensi manusia
untuk menjadi makhluk berperadaban (Jalaluddin, 90). Konsep al-nas, perhatikan Q.S
49:13 yang artinya “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”.
Hakekat pada
pada konsep ini adalah bahwa manusia cenderung hidup menetap dalam komunitas,
mulai unit social terkecil yakni keluarga hingga ke bentuk komunitas yang lebih
besar seperti masyarakat dan bangsa (Jalaluddin, 91).
Ketika manusia telah mengetahui siapa
dirinya, maka manusia itu akan mempunyai Optimisme penuh khusnuzhan, yang
diperoleh akibat dapat pengetahuan tentang hakekat manusia, sehingga dapat
menumbuhkan kemauan dan semangat membara, yang karenanya manusia akan dapat mengetahui kehidupan “dunia
lain” yang ada di dalam dirinya.
Menurut
Syahban, yang dimaksud dunia lain dalam diri manusia adalah akal dan
hati, karena dengan akal dan hati dapat menjadikan manusia lebih unggul dibanding makhluk lainnya, maka
sangat wajar jika manusia diberi tanggung jawab sebagai khalifah Tuhan di bumi,
karena dibekali akal dan hati. Senada dengan itu, menurut Ahmad thoha Faz,
yang dikutip syahban bahwa puncak kelebihan manusia adalah mengenali diri yang
berujung pada pengenalan Allah sehingga
menjadi hamba-Nya yang sadar (Syahban, 2009:29).
Dengan penanaman
sistem nilai dalam kehidupan pribadi muslim diharapkan akan termotivasi akan
lahirnya suatu kesadaran dalam diri kita yang dengannya mampu mengenal dan
mengkaji serta mengembangkan kreatifitas dalam rangka berbuat yang terbaik
dalam melahirkan karya-karya nyata dalam rangka membangun kemashlahatan umat.
b.Mengetahui Potensi diri manusia
Potensi yang ada pada diri manusia itu
merupakan fitrah, hal ini mengacu pada sesuatu yang disebut sebagai kebutuhan
manusia (human necessary) dalam hal ini sebagai individu.
Menurut Jalaluddin yang mengutip pendapat Murtadha Muthahhari
bahwa kebutuhan fitrah mencakup kebutuhan-kebutuhan jasmani dan kebutuhan-kebutuhan
rohani (spiritual). Kebutuhan jasmani adalah kebutuhan-kebutuhan yang
seratus persen berkaitan dengan jasmani, ia merupakan sifat fisik dan jasmani
semata, berkaitan dengan bangunan tubuh, yang mencakup kebutuhan primer
meliputi makan, minum dan seksual dalam kategori naluri (al-gharaiz)
dalam system kerja dan kordinasi syaraf dengan otak yang berjalan otomatis.
Kebutuhan rohani (spiritual) adalah berupa motif-motif suci, yang
meliputi mencari kebenaran, moral (akhlak), estetika (keindahan), kreasi dan
penciptaan, kerinduan dan ibadah. Selain itu juga, ada yang berpendapat bahwa
potensi manusia itu terdiri dari naluri instinktif (ghariziyyah),
inderawi (hissiyah), akal (aqliyah) dan agama (dinniyah) (Jalaluddin,
99-104).
Kemampuan dasar yang disebut fitrah manusia ini terdiri dari banyak
macam diantaranya “fitrah beragama” (Syahminan Zaini, 1986 : 21).
Senada dengan hal di atas, menurut Nazarudin Rahman bahwa fitrah beragama ini
bersumber dari suatu kenyataan bahwa manusia jauh sebelum keberadaannya di
dunia ini-ketika di alam ruh, sudah mengakui eksistensi kebenaran adanya
Allah (Nazarudin Rahman, 2010 : 15).
Konsep fitrah, menuntut agar pendidikan Islam itu harus bertujuan
mengarahkan pendidikan demi terjalinnya ikatan kuat seorang manusia dengan
Allah (Abdurrahman Saleh Abdullah, 1994 : 64). Hal ini relevan dengan
firman Allah swt dalam Al-Qur’an yang artinya “ Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “ Bukankah Aku ini
Tuhanmu?”, mereka menjawab : “betul, (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi “
( Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, 1989 : 250).
Menyadari keberadaan diri sebagai makhluk berarti bahwa ada keterkaitan
diri kita kepada Allah yang menciptakan kita, oleh karenanya wajib
mempercayainya sebagai Tuhan yang wajib disembah, tidak ada yang lain selain
DIA yang harus hidup berdasarkan tuntunan atau pedoman yang dibuatnya serta
mempertanggungjawabkan segala yang telah diperbuat di dalam kehidupan ini (Rusli
Amin, 2006 : 10).
c.Membangun Kualitas Diri dengan Akhlakul Karimah
Akhlak merupakan suatu naluri asli dalam
jiwa seseorang manusia, yang dapat melahirkan sesuatu tindakan dan kelakuan
dengan gampang dan mudah tanpa rekaan fikiran. Maka jika naluri tersebut
melahirkan suatu tindakan dan kelakuan yang baik lagi terpuji menurut akal dan
syara, dinamakan budi pekerti yang baik, tetapi manakala naluri itu melahirkan
sesuatu perbuatan dan kelakuan yang jahat, maka dinamakan budi pekerti buruk (Al-Ghozali,
tt., juz III : 52).Selain itu, akhlak berarti kebiasaan berkehendak (Ahmad
Amin, 1975 : 62).
Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui bahwa yang disebut akhlak
adalah sesuatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang, jika yang
diulang-ulang itu perbuatan terpuji, maka akan mempunyai akhlak terpuji (mahmudah).
Sebaliknya, jika perbuatan yang dilakukan itu adalah yang dilarang agama, maka
melahirkan akhlak tercela (mazmumah). Oleh karena itu, yang penting
diketahui dan dilakukan adalah bahwa manusia sebagai individu harus membiasakan
berperilaku yang baik serta membiasakan untuk meninggalkan perilaku tercela
yang dilarang oleh agama.
Sejalan dengan hal tersebut, menurut Christine Sanford & Wyn
Beardsley bahwa setiap individu mempunyai pengalaman yang berbeda dalam
dirinya dan dari perbedaan ini pola individu dari respon dibina, yang
membawanya memahami pola perilaku (Christine Sanford & Wyn Beardsley,
1994 : 66).
Cara yang dilakukan untuk membiasakan berperilaku yang baik menurut Abdul
Karim yang mengutip pendapat Imam al-Ghozali adalah bahwa
memperbaiki akhlak itu tak akan tercapai kecuali setelah membersihkan jiwa,
sedangkan membersihkan jiwa adalah tunduk (patuh) terhadap cara-cara
(ketentuan) syara’ (Abdul Karim, 1995 : 35 ). Berkenaan dengan hal itu,
Ahmad Amin berpendapat bahwa cara mendidik akhlak dan meninggikannya adalah
melalui : pertama : meluaskan lingkungan fikiran, maksudnya
sebagaimana menurut Herbert Spencer bahwa sungguh fikiran sempit merupakan
sumber beberapa keburukan, dan akal yang kacau balau tidak akan membuahkan
akhlak yang tinggi, kedua : berkawan dengan orang-orang terpilih,
ketiga : membaca dan menyelidiki perjalanan para pahlawan dan
yang berfikiran luar biasa, keempat : yang lebih penting memberi
dorongan kepada pendidikan akhlak ialah supaya orang mewajibkan dirinya
melakukan perbuatan baik bagi umum yang selalu diperhatikan olehnya dan
dijadikan tujuan yang harus dikejarnya sehingga berhasil, kelima :
apa yang kita tuturkan di dalam “kebiasaan” tentang menekan jiwa
melakukan perbuatan yang tidak ada maksud kecuali menundukkan jiwa (Ahmad
Amin, 63-66).
Selain hal-hal yang di atas bahwa untuk membiasakan meninggalkan
perilaku tercela dan membiasakan melakukan perilaku yang terpuji itu memerlukan
suatu riadhah atau latihan tertentu agar jiwa kita tidak menjadi liar. Hal ini
sejalan dengan pendapat Al-Ghazali bahwa : “budi pekerti luhur hanya
dapat dicapai dengan mengekang hawa nafsu dengan melakukan mujahadah, melatih
diri, berusaha menjernihkan jiwa dan mempertinggi akhlak” (Al-Ghazali, 2011,
tt., : 172-173). Yang menjadi
perhatian intens bahwa, untuk berakhlak terpuji, harus dilakukan melalui
pembiasaan atau urf, walaupun pada awalnya terkesan terdapat pemaksaan,
tetapi pada akhirnya setelah dilakukan berulang-ulang, maka kesan “pemaksaan”
itu hilang secara otomatis, apalagi setelah kegiatan pembiasaan itu, akan
melahirkan “rasa cinta dan kesadaran” akan perlunya akhlakul karimah
bagi setiap individu di dalam hidup dan kehidupannya.
2.Membangun Kepribadian Muslim di dalam
Keluarga
a.Pandangan
Al-Qur’an tentang Etika dalam Berkeluarga
Keluarga merupakan gerbang untuk membuka jendela kebahagiaan dalam
sebuah keluarga. Yang diawali dengan sebuah perkawinan yang sakral, maka
keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah akan tercipta.Hal
ini dapat terwujud jika dalam keluarga dihiasi dengan budi pekerti yang luhur,
yang saling menjunjung tinggi, mengajarkan dan mengaplikannnya di dalam
keluarga termasuk di dalamnya pendidikan anak-anak.
Sebagai orang tua, bertanggung jawab penuh secara lahir dan bathin dalam
menjaga keutuhan dan keselamatan keluarga di dunia dan akherat yang harus
dipertanggungjawabkan kepada Allah swt. Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa قواانفسكم واهليكم نارا “Jagalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Tahrim/66 : 6).
Sistem kekeluargaan yang diakui Islam ialah “Sistem Al-Usrah
Azzaujiah” yaitu keluarga terdiri dari suami, isteri dan anak-anak : khas
yang belum cukup umur atau belum berumah tangga (Omar Mohammad Al-Toumy Al-
Syaibany, 1979, 205). Dalam konteks ini, bahwa anak-anak yang menjadi
tanggung jawab orang tuanya adalah dimulai ketika di dalam kandungan sampai
anak tersebut belum menikah.
Di dalam tafsir Al-Qur’an Tematik Kemenag
RI dijelaskan bahwa dalam kehidupan berkeluarga, suami isteri dituntut untuk
menjaga hubungan yang baik, menciptakan suasana yang harmonis yaitu dengan
menciptakan saling pengertian, saling menjaga, saling menghormati, saling
menghargai serta saling memenuhi kebutuhan masing-masing karena apabila suami
isteri melalaikan tugas dan kewajiban maka akan terjadi kesenjangan hubungan
yang akibatnya dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti mengakibatkan
kesalahpahaman, perselisihan dan ketegangan hidup berumah tangga (Kemenag
RI, 2012 : 344-345).
ومن ايته
انخلقلكم من انفسكم ازواجا لتسكنوااليها وجعل بينكم مودةورحمة . ان في ذلك لايت لقوم يتفكرون
Artinya : “ dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya
ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan ia di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kamu yang berfikir (Q.S Ar-Rum /30:21).
Berdasarkan ayat di atas bahwa prinsip dan tujuan perkawinan adalah
untuk membina keluarga yang tenang dan bahagia, hidup saling mencintai,
bertaqwa kepada Allah dalam membentengi diri dari perbuatan maksiat dan
penyelewengan seksual, membina hubungan kekeluargaan yang utuh dalam rangka
mempererat silaturrahmi.
Pasca pernikahan, maka secara kodrati tercipta suatu aturan dan tanggung
jawab yang mengikat keluarga itu agar apa yang menjadi tujuan dalam mengarungi
bahtera kehidupan tercapai sesuai aturan Allah. Hal ini selaras dengan pendapat
Yusuf Qardawi yang kutip Kemenag RI bahwa ciri-ciri yang menonjol di
dalam keluarga Muslim adalah tetapnya dominan kesetiaan, ketaatan, kasih sayang,
membina silaturrahmi (Kemenag RI, 360).
b.Mendidik anak dalam keluarga
Keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ibu adalah sekolah pertama al-ummu
madrasatul-ula (Kemenag RI, 2012 : 148), yang mengandung, melahirkan dan
menyusui anaknya, merawat dan membesarkan anak, serta mengasuh dan mendidik
anak-anak, baik itu anak laki-laki ataupun wanita. Oleh karena itu, orang tua
berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Demikian juga, lingkungan keluarga
merupakan lingkungan yang paling utama di mana sebagian besar kehidupan anak itu
ada di dalam keluarga, oleh karenanya pendidikan yang paling banyak diterima
anak adalah pendidikan di dalam keluarga.
Orang tua sebagai lingkungan pertama dan
utama bagi anak untuk berinteraksi dengan seorang ibu yang merupakan pendidik
pertama (madrosatu al-ula) dan ayah sebagai sosok ideal kepala keluarga
bagi ibu dan anak, yang menurut Alex Sobur bahwa Ayah seyogyanya
memiliki kesadaran bahwa ia juga turut bertanggung jawab dalam penjagaan,
perawatan dan pemeliharaan serta pendidikan anak-anaknya itu bersama dengan
sang ibu mulai dari anak itu lahir hingga dewasa (Alex Sobur, 1991 : 25),
sehingga keluarga di tempatkan sebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya
disinilah dimulai suatu proses pendidikan. Oleh karena itu, orang tua berperan sebagai
pendidik bagi anak-anaknya, lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang
paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga
pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga.
Anak merupakan buah hati setiap pasangan
dalam sebuah keluarga yang harus dididik dengan benar agar nantinya menjadi
pewaris dinasti keluarga di masa mendatang. Jika anak tidak dididik
dengan benar, maka akan meninggalkan generasi yang lemah. Walaupun demikian, bahwa di dalam diri anak, masih terdapat jiwa yang
suci, dimana dalam proses pengisian jiwa itu harus memperhatikan berbagai aspek
pendidikan agar tidak terjadinya salah didik atau salah asuh bagi anak.
Pendidikan keluarga merupakan tanggung
jawab bersama antara ayah dan ibu dalam sebuah keluarga tersebut, dan tidak
boleh menganggap enteng terhadap pendidikan anak di dalam keluarga, mengingat
bahwa keluarga adalah lingkungan pertama dimulainya suatu pendidikan di rumah (home
schooling).
Menurut Murtadha Muthahhari bahwa hati
atau jiwa tidak boleh diperintah secara paksa tetapi harus dilatih dan dibina
secara arif dan bijaksana, sebagaimana bahwa dalam proses pendidikan dan
pembelajaran persiapan mental ataupun kondisi spiritual harus benar-benar
diperhatikan karena sangat menentukan hasil yang akan dicapai (Murtadha
Muthahhari, 2011 : 39). Atas dasar itu, diketahui bahwa dalam mendidik anak
di keluarga memerlukan suatu kearifan, kesabaran, keuletan dengan tidak
semata-mata memaksa anak untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik oleh orang
tua, tetapi memerlukan suatu penelitian khusus jika ditemukan ada anak yang
melakukan perilaku menyimpang, walaupun
sebenarnya “dalam kondisi prinsip” pemaksaan terhadap anak perlu
dilakukan. Kondisi prinsip yang dimaksudkan adalah suatu kondisi yang
menyangkut masalah aqidah dan prinsip hukum Islam, misalnya anak malas dalam
melakukan ibadah, maka pemaksaan untuk beribadah itu diperlukan.
Untuk menjaga fitrah
yang ada di dalam jiwa anak, maka tujuan pendidikan harus diarahkan pada
pembentukan insan yang berwawasan Islam dengan terpancarnya akhlaqul karimah
di dalam setiap kehidupannya. Senada dengan tujuan pendidikan di atas , menurut
Ali Ashraf bahwa tujuan akhir pendidikan Muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat
individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya ( Ali Ashraf, 1996 : 2).
1)
Tanggung Jawab Orang Tua Kepada Anak
a)
Tanggung
Jawab Pendidikan Iman
Yang dimaksud dengan Pendidikan Iman
adalah mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak ia mengerti,
membiasakannya dengan rukun islam sejak ia memahami, dan mengajarkan kepadanya
dasar-dasar syariat sejak usia tamyiz (Abdullah Nashih Ulwan, 2007 : 165).
اِفْتَحُوْا
عَلَى صِبْيَانِكُمْ اَوَّلَ كَلِمَةٍ بِلَا اِلهَ اِلَّاالله
Artinya : “Bacakanlah kepada anak-anak kamu kalimat pertama dengan
Laa Ilaaha Illallaah “ (HR. Ibnu Abbas).
Manfaatnya adalah agar
kalimat tauhid dan syiar Islam menjadi yang perdana didengar anak sebagaimana
juga adanya tuntunan pembacaan azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri
ketika anak baru lahir.
Hal ini dilakukan mengingat
tingkat umur anak selalu beralih dari
masa kanak-kanak ke masa remaja, bahkan dewasa, yang menurut Paul Lengrand
mengatakan bahwa “ agar saat peralihan tersebut mempunyai arti sepenuhnya,
dan tidak menunjukkan saat kehancuran, tetapi membuktikan unsur kemajuan ke
arah kesadaran yang lebih mendalam, dan pengetahuan yang lebih mantap serta penguasaan lebih
besar terhadap diri sendiri, maka diperlukan suatu usaha pendidikan yang khusus
pada tiap peristiwa, seolah-olah untuk langkah baru guna memasuki masa
dewasa” (Paul Lengrand, 1983 : 33).
مُرُوْا اَوْلَادَكُمْ بِا الصَّلاَةِ وَهُمُ اَبْناَءُ
سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ اَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرّقُوْا بَيْنَهُمْ
فِي اْلمَضَاجِعِ
Artinya : “Perintahkan anak-anakmu menjalankan shalat jika mereka
sudah berusia tujuh tahun, dan jika mereka sudah berusia sepuluh tahun maka
pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya, dan pisahkanlah tempat tidur
mereka “(HR. Hakim).
b)
Tanggung
Jawab Pendidikan Moral
Yang dimaksud pendidikan moral adalah
serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat)
yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga
ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi lautan kehidupan (Abdullah
Nashin Ulwan, 193).
مَا نَحَلَ وَالِدٌ مِنْ نَحْلٍ اَفْضَلَ مِنْ اَدَبٍ حَسَنٍ
Artinya :” Tidak ada suatu pemberian
yang lebih utama yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya, kecuali budi
pekerti yang baik “ (HR. Tirmidzi).
مَنْ حَقّ الْوَلَدِ عَلَى الْوَلَدِ اَنْيُحْسِنَ اَدَبَهُ
وَيُحُسِنَ اسْمُهُ
Artinya : “ Di antara yang menjadi hak seorang anak atas orang tuanya
adalah memperelok budi pekertinya dan menamakannya dengan nama yang baik “ (HR.
Baihaqi).
c)
Tanggung
Jawab Pendidikan Fisik
Tanggung jawab ini meliputi pemberian
nafkah kepada keluarga dan anak dengan rizki yang halal, mengikuti
aturan-aturan yang sehat dalam makan, minum dan tidur, melindungi diri dari
penyakit menular, pengobatan terhadap penyakit, merealisasikan”prinsip-prinsip
tidak boleh menyakiti diri sendiri dan orang lain”, membiasakan anak-anak
berolah raga dan bermain ketangkasan, membiasakan anak untuk zuhud dan tidak
larut dalam kenikmatan, membiasakan anak bersikap tegas, menjauhkan diri dari pengangguran,
penyimpangan dan kenakalan (Abdullah Nashih Ulwan, 245-256).
d)
Tanggung
Jawab Pendidikan Rasio (Akal)
Yang dimaksud dengan
pendidikan rasio adalah membentuk(pola) pikir anak dengan segala sesuatu
yang bermanfaat, seperti ilmu-ilmu agama, kebudayaan dan peradaban (Abdullah Nashih Ulwan, 301).
Berkaitan dengan ini, maka orang tua harus mengajari
anak dengan pelajaran-pelajaran yang senantiasa membawa kemashlahatan,
menumbuhkan kesadaran berfikir, dan pemeliharaan kesehatan rasio. Pada tahap pengembangan rasio anak, bahwa ia
diajak untuk mempergunakan akalnya dalam memikirkan hal-hal yang baik atau yang
tidak baik dengan harapan bahwa anak-anak dapat bertingkah laku meninggalkan
perilaku yang jelek dan membiasakan berperilaku yang terpuji, karena menurut Alex
Sobur bahwa pada dasarnya anak-anak masih selalu membutuhkan penilaian
terhadap tingkah lakunya, kalau ia mendengar pengakuan bahwa apa yang dilakukan
itu benar, ia merasa mantap dan menjadi gembira ( Alex Sobur, 59), ini
berarti bahwa pemberian reward bagi anak sangat penting. Reward
yang sederhana dapat berupa Pemberian balasan yang sifatnya siprituil dengan
cara memujinya di depan teman-teman, apalagi memberikannya hadiah
kepada anak akan sangat berpengaruh
dalam meningkatkan prestasi anak dalam berbuat kebaikan.
e)
Tanggung
Jawab Pendidikan Kejiwaan
Pendidikan kejiwaan adalah pendidikan
yang dimaksudkan untuk mendidik anak semenjak mulai mengerti supaya bersikap
berani terbuka, mandiri, suka menolong, bias mengendalikan amarah, dan senang
kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak (Abdullah
Nashih Ulwan, 363).
Hal di atas sangat penting bagi anak
mengingat posisi jiwa anak pada masa ini yang masih labil, sehingga membutuhkan
suatu motivasi tertentu agar jiwa anak dapat terbentuk dengan matang.
2) Pola Pembinaan Rasa Keagamaan pada diri anak
Orang tua (ayah) merupakan
factor lingkungan yang sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian si
anak. Berdasarkan temuan psikoanalisa, disimpulkan bahwa : perasaan keagamaan
anak tumbuh dari pandangan anak terhadap sikap dan tingkah laku bapak sebagai father
image(Jalaluddin, 1995: 51). Dalam konteks ini, figur seorang ayah
mempunyai posisi yang istimewa di dalam jiwa anak, oleh karena itu ayah harus
menjadi pribadi yang baik bagi anak-anaknya. Bukan hanya sosok yang cerdas,
berwibawa, sumber curhat bagi anak, tetapi ayah harus mempunyai kemampuan lebih
serta kepiawaiannya di dalam mencari nafkah untuk menghasilkan rezeki yang
halal bagi keluarganya. Jika demikian, maka secara otomatis seorang ayah telah
mengadakan pembinaan dalam rangka menumbuhkan rasa keagaan bagi anak-anak dan
keluarga tercinta.
Dalam rangka pembinaan rasa
keagamaan anak, menurut Abdullah Nasi Ulwan dalam Nazarudin Rahman bahwa ada
lima metode penting yang dipergunakan oleh orang tua untuk menumbuhkan rasa
keagamaan pada diri anak, yaitu : pertama: Pembinaan dengan keteladanan,
kedua : Pembinaan dengan kebiasaan, ketiga : Pembinaan dengan
nasehat, keempat: Pembinaan dengan perhatian, kelima : Pembinaan
dengan hukuman (Nazarudin Rahman, 70)
3)
Tahapan-tahapan perkembangan Pendidikan Anak
Boomingnya pendidikan di era
global ini, tidak terlepas dari jasa-jasa pendahulu di bidang pendidikan kita yang lebih dahulu berkiprah di dunia pendidikan, sehingga melalui pengetahuan dari mereka kita
dapat mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi di dalam perkembangan dan
pertumbuhan anak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sosial
pada pendidikan anak adalah meliputi : keluarga, guru muslim, teladan yang
baik, ibadah-ibadah fardhu (Sayyid Muhammad Az-za’Balawi, 2007 : 159). Diantara
teori-teori perkembangan pendidikan anak adalah:
Pertama,
Teori konstruktivisme Piaget, (Suparno,
2001:5) bahwa yang mendasari pengetahuan
dibentuk oleh murid atau orang yang sedang belajar. Pengetahuan tidak diterima
begitu saja dari guru, namun murid sendirilah yang harus mengkoordinasikan,
memikirkan, dan membentuk pengetahuan. Tanpa kegiatan aktif membentuk pengetahuan
dalam pikirannya seseorang tidak akan tahu sesuatu. Sejalan dengan itu, menurut
Davidoff bahwa teori Piaget
menjelaskan tentang pengertian seseorang mengalami perkembangan dari lahir
sampai menjadi dewasa. Dalam tahap-tahap perkembangannya masing-masing memiliki
keunikan tersendiri. Piaget membedakanya dalam empat tahap perkembangan
kognitif seseorang antara lain tahap sensorimotor pada usia 0-2 tahun,
tahap praoperasional usia 2-7 tahun, tahap operasi konkrit
pada usia 7-11 tahun dan tahap operasi formal setelah usia 11 tahun keatas. Perkemabngan
tahap-tahap tersebut berurutan karena setiap tahap memerlukan tahap sebelumnya.
Awal dan perkembangan tahap-tahap tersebut dapat berbeda untuk setiap
pribadi (Davidoff, 1988 :371)
Kedua,
Teori Bowlby, (Singgih
D. Gunarsa, 1987 : 171-176 ) mengatakan bahwa pendidikan anak dibagi menjadi
empat tahapan, yaitu :
a)
Masa I (0-3
bulan). Pada masa pertama ini, bayi memperlihatkan bermacam-macam jawaban dengan memberikan respon senyuman dan ocehan serta adanya reflek
menggenggam, reflek memeluk
atau mendekap (reflek Moro) untuk semua orang di dekatnya.
b)
Masa II (3
-6 bulan). Pada masa ini, senyuman, ocehan bayi bukan diperlihatkan kepada semua orang yang mendekatinya,
melainkan diberikan kepada orang yang
sudah dikenalnya.
c)
Masa III (6
bulan-3 tahun). Pada masa ini, anak sudah mempertahankan
hubungan dengan tokoh tertentu, misalnya anak anak
akan kecewa atau menangis jika tokoh yang diidolakan meninggalkannya.
d)
Masa IV ( 3
tahun-akhir masa kanak-kanak). Pada masa ini, anak sudah dapat membentuk kerja sama.
Ketiga,
Teori Charlot Byhler (Abdul Muis Kabry, 1964 : 42) bahwa perkembangan
pendidikan anak terbagi menjadi beberapa fase, yaitu :
a)
Fase I (0-6 tahun) dinamakan Scola Materna (sekolah Ibu).
b)
Fase II (6-12 tahun) dinamakan Scola Vermacula (sekolah Bahasa Ibu).
c)
Fase III (12-18) dinamakan Scola Latina (sekolah Latin)
d)
Fase IV (18-24) dinamakan Academis atau akademi.
Dengan mengetahui beberapa
tahapan atau fase pada perkembangan jiwa anak, diharapkan bahwa dalam upaya
pembiasaan akhlak yang baik (akhlaqul karimah) tidak terjadi
penyimpangan, atau mal praktik yang akan berpengaruh terhadap masa depan
anak sebagai generasi penerus bangsa.
3.Mewujudkan Kepribadian Muslim di dalam Masyarakat
Di dalam mewujudkan
kepribadian Muslim di dalam masyarakat, hal yang fondasional yang perlu
dilakukan dalam rangka menumbuhkembang kepribadian manusia adalah sebagai
berikut :
Pertama :
Dengan mengamalkan
ajaran agama, karena agama adalah pengendali, pengontrol, dan pengawas nafsu
dan hati (Abu Al-Hasan Ali Al-Bashri Al-mawardi, 2002 : 97). Dengan
kondisi ini, maka agama dijadikan dasar kebahagiaan bermasyarakat di “dunia” yang esensial, berpengaruh dan kokoh,
sehingga Allah swt dan Rasul-Nya adalah sandaran dalam berperilaku di
masyarakat. Dalam mengamalkan agama ini, anak harus ditanamkan prinsip dasar
kejiwaan yang mulia, meliputi taqwa, persaudaraan, kasih sayang, mengutamakan
orang lain, pemaaf, dan keberanian akan pembelaan terhadap kebenaran (Abdullah
Nashih Ulwan, 436).
Kedua :
Memprioritaskan
pergaulan dengan sesama Muslim, caranya adalah dengan memperlakukan teman
sesama muslim sebagai saudara kandung, sesama muslim yang seiman harus mawas
diri, dilarang untuk mengejak dengan berbagai sebutan atau gelar yang buruk,
menjauhkan diri dari prasangka buruk terhadap sesama muslim, dan dilarang menggunjing
sesama muslim (Jalaluddin, 2009 : 381). Selain itu juga, bahwa dalam bergaul
hendaknya senantiasa memelihra kesetiaan yang tulus, ketahuilah bahwa kesetiaan tidak berarti
selalu mengabulkan permintaan saudara dalam apa yang bertentangan dengan kebenaran
dalam masalah agama, tetapi kesetiaan itu adalah sangat berhati-hati terhadap
perpisahan dan secara naluriah merasa malu pada berbagai penyebabnya (Imam
Al-Ghazali, 1994 :63). Hal ini mengandung maksud, bahwa kesetiaan yang tulus
itu adalah tidak akan mencerai beraikan persaudaraan yang dilandasi kecintaan
dan ketaatan kepada Allah.
Ketiga:
Beramal shaleh dengan
fikiran yang cerdas dan punya banyak ilmu. Menurut Syahminan (1995 : 37-38)
bahwa untuk membina agar manusia mempunyai fikiran cerdas dan punya banyak
ilmu, Islam memberikan petunjuk sebagai berikut :
a.
Islam
memrintahkan untuk menuntut ilmu
b.
Islam
melarang mengerjakan sesuatu yang belum dimengerti
c.
Agar
mengerti segala yang akan dikerjakan itu, maka Islam memerintahkan untuk
meneliti segala sesuatu yang ada di alam ini
d.
Islam
menyatakan bahwa amal yang akan diterima Allah adalah amal yang dikerjakan
dengan pengertian
e.
Islam
menghendaki agar ilmu itu diaplikasikan di dalam segala lapangan kehidupan
manusia
f.
Islam
mencela orang-orang yang bodoh.
Keempat:
Menerima kritik dengan
lapang dada, ini sebuah konsep bahwa jangan anggap semua kritik yang diarahkan
kepadamu sebagai suatu bentuk permusuhan, ambillah manfaat yang ada di
dalamnya, tanpa harus melihat maksud dari si pengkritik, sebab sebenarnya anda
memang membutuhkan kritikan dari pada pujian (Aidh al-Qarni, 2006 : 93).
Kelima :
Mempunyai hobby yang
bermanfaat, ternyata kegemaran atau hobby terhadap sesuatu mampu menghilangkan
rasa cemas dan stress dari berbagai himpitan hidup, di samping itu juga bahwa
hobby memiliki manfaat yang luas dalam menggapai kesuksesan hidup (Iqbal Hamdy,
2005 : 97).
Keenam :
Toleransi, karena
Allah swt tidak melarang umat Islam berhubungan sosial dengan umat non-Islam
selama mereka tidak memusuhi Islam. Karena itu, jangan sampai umat Islam
menjadi risih dengan keberadaan umat lain lalu menjadikan mereka musuh. Jika
mereka tidak memerangi, jadikanlah mereka sebagai teman (Fathul Anas, 2010 :
122).
Ketujuh :
Menumbuhkembangkan
Kemandirian Remaja, caranya dengan menciptakan partisipasi dan keterlibatan
remaja dalam keluarga, menciptakan keterbukaan, menciptakan kebebasan untuk
mengeksplorasi lingkungan, menerima secara positif tanpa syarat, empati
terhadap remaja, menciptakan kehangatan hubungan dengan remaja (Muhammad
Al-Mighwar, 2011 : 214-2150). Yang dimaksud menerima secara positif tanpa
syarat adalah menerima kelemahan atau kekurangan remaja dengan tidak
membeda-bedakan antara remaja satu dengan yang lainnya dan menghargai potensi
remaja dalam bentuk kegiatan produktif.
C. Kesimpulan
Fitrah manusia
itu dapat dilihat bagaimana kepribadian seorang muslim itu terbentuk, sehingga
produktivitas di dalam masyarakat senantiasa membawa kemanfaatan, baik itu
kepribadian sebagai seorang muslim individu, keluarga atau masyarakat.
Untuk membentuk kepribadian muslim sebagai
individu, dapat dilakukan melalui kegiatan penanaman nilai-nilai agama sebagai
sistem nilai di dalam kehidupan pribadi muslim, pengetahuan terhadap potensi
dirinya dan membangun kualitas diri dengan akhlaqul karimah.
Membangun kepribadian
muslim di dalam keluarga dilakukan dengan mengetahui dan mempelajari tentang
bagaimana pandangan Al-Qur’an tentang etika dalam keluarga, dan bagaimana cara
mendidik anak dalam keluarga.
Mewujudkan kepribadian
muslim dalam masyarakat dilakukan melalui upaya pengamalan agama, bergaul
dengan sesama muslim (prioritas), beramal shaleh, menerima kritik, mempunyai
hobby yang bermanfaat, toleransi dan menumbuhkembangkan kemandirian remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemah, 2012, Aljamil Al-Qur’an
Tajwid warna, Terjemah Per Kata, Terjemah
Inggris, Jakarta : PT. Cipta Bagus
Ali
Al-Bashri Al-mawardi, Abu Al-Hasan 2002, terj., Etika Agama dan dunia,
Bandung
: Pustaka Setia
Al-Mighwar,
Muhammad, 2011, Psikologi Remaja, Bandung : Pustaka Setia
Al-Toumy al-Syaibany, Omar Mohammad, 1979,
terj., Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta
: Bulan Bintang
Amin,
Ahmad, 1975, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta : Bulan Bintang
Amin,
Rusli, 2006, Kiat-kiat Sukses Sebuah Pendekatan Qur’ani untuk Membangun Kualitas Diri dan Kehidupan,
Jakarta : Al-Mawardi Prima
Anas,
fathul, 2010, The Miracle Of Quranic Motivation, Jakarta : Citra Risalah
Asraf, Ali, 1996, terj., Horison Baru
Pendidikan Islam, N. Massachusetts : Pustaka Firdaus
Bahreisy, Salim, 1986, Riadhus shalihin,
Bandung : PT. Al-Ma’arif
Barnadib, Imam, 1994, Filsafat Pendidikan Sistem dan
Metode, Yogyakarta : Abdi Offset
D.
Gunarsa, Singgih, 1987, Dasar dan Teori Perkembangan Anak,
Jakarta:Gunung Mulia
Departemen Agama RI, 1989, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Semarang : PT. Thoha Putra
Effendy, Mochtar, 1997, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam,
Palembang : Al- Muhtar
Faz, Ahmad Thoha, 2007, Titik Ba’ :
Paradigma Revolusioner dam Kehidupan Pembelajaran,
Bandung : Mizan
Ghozali, Al, tt., Ihya’ Ulumuddin,
Singapura : Sulaiman Mar’i
--------,
1994, terj., Menjalin Persaudaraan, Bandung : Al-Bayan
--------, 2011,terj., Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Yogyakarta : Bintang Cemerlang,
Hadits-hadits Nabawi
Hamdy,
Iqbal, 2005, Menggapai Hidup yang Bermakna, Jakarta : Republika
Imarah, Muhammad, Islam dan Keadaan
Sosial, Jakarta : Gema Insani
Jalaluddin, 1995, Mempersiapkan anak
Shaleh, Tela’ah Pendidikan Terhadap Sunnah Rasulullah SAW, Jakarta : Raja Grafindo
--------,
2009, Fiqih Remaja (Bacaan Populer Remaja Muslim), Jakarta : Kalam Mulia
--------., 2011, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta :
Kalam Mulia
Jalaluddin & Abdullah Idi, 2011, Filsafat
Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Kabry,
Abdul Muis, 1964, Membina Naluri Beragama, Bandung : PT. Al-Ma’arif
Karim, Abdul, Titik Persimpangan tasawuf
dan Kebathinan, Pekalongan : CV. Batang
Kemenag RI, 2012, Tafsir Al-Qur’an Tematik
(Etika Berkeluarga, bermasyarakat dan berpolitik),
Jakarta : Direktorat URAIS dan Pembinaan Syari’ah
--------,
2012, Tafsir Al-Qur’an Tematik (Kedudukan dan Peran Perempuan), Jakarta : Direktorat Urais dan
Pembinaan syari’ah
--------,
2012, Tafsir Ilmi Penciptaan Manusia Dalam perspektif Al-Qur’an Dan sains,
Jakarta : Kemenag RI
Lengrand, Paul, 1983, Pengantar
Pendidikan Sepanjang Hayat, Jakarta : Gunung Agung
Muthahhari, Murtadha, 1998, Fitrah,
terj. Afif Muhammad, Jakarta : Lentera Basritama
--------, 2011, Dasar-dasar Epistemologi
Pendidikan Islam, Jakarta : Sadra
Press
Nashih Ulwan, Abdullah, 2007, Pendidikan
Anak Dalam Islam Jilid I, terj., Jakarta : Pustaka
amani
Nata,
Abuddin, 2001, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu
Olivia, Femi, 2012, Klinik Belajar Otak
Kanan, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Qarni,
Al, Aidh, Menakjubkan !Potret Hidup insan Beriman, Solo : Aqwam
Rahman, Nazarudin, 2010, Spiritual
Building-Pembinaan Rasa Keagamaan Anak Menurut
Islam, Yogyakarta : Felicha
Saleh Abdullah, Abdurrahman, 1994, Teori-teori
Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an,
Jakarta : Rineka Cipta
Sobur, Alex, 1991, Komunikasi Orang Tua
dan Anak, Bandung : Angkasa
Syafiie, Inu Kencana, Pengantar Filsafat,
Bandung : PT. Refika Aditama
Syahban, J., 2009, Energi Ketuhanan
Untuk Berbisnis, Yogyakarta :DIVA Press
Zaini, Syahminan, 1986, Mengapa Manusia
Harus Beragama, Jakarta : Kalam Mulia
--------,
1995, Kehidupan Sosial Seorang Muslim, Jakrta : Kalam Mulia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar