Mengenai Saya

Kamis, 21 Maret 2013

Jalan Menuju Ma'rifatullah



JALAN MENUJU MA’RIFATULLAH
(oleh : Rasiman.bakrasyid@gmail.com)


I.PENDAHULUAN
            Agar keimanan dan keyakinan kita dalam beragama semakin hidup dan semakin tinggi kualitasnya, maka agama Islam telah mengajarkan kepada umatnya supaya mempergunakan akal fikiran dengan optimal guna menganalisa, meneliti semua mahluk beserta alam semesta yang telah diciptakan oleh Allah SWT, yang melalui proses tersebut akan samapat kepada ma’rifat.          
            Menurut Choirul Anam Al-Kadiri  mendefinisikan bahwa yang disebut “ Ma’rifat berarti mengenal, sehingga “ma’rifatullah berarti mengenal Allah” [1]).
            Menurut Idrus H. Alkhaf,  ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifatan, yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Wujud ma’rifat itu adalah pengalaman dan penghayatan kejiwaan. Dengan demikian, ma’rifat merupakan pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari[2]).
            Menurut Harun Nasution, ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Dalam istilah barat, ma’rifat berarti gnosis. Bagi Al-Junaid (w.381 H.-abad ke IX M), ma’rifah merupakan hal. Dalam Risalah al-Qusyairiah, ma’rifat disebut sebagai maqam.[3]).
            Menurut M. Hasyim R., ma’rifah adalah ma’rifatullah, yaitu mengenal Allah sebagai pencipta tunggal yang berhak disembah, dipuji, diagungkan merupakan dasar pertama dalam ajaran Islam[4]).
            Menurut Abd. Qodir Abu Faris, ma’rifah adalah mengenal Allah dengan cara merenung dan berfikir dengan senantiasa mentadabbur-i ayat-ayat kauniyah-melakukan eksperimen dan merenungi hakekat alam semesta[5]).
            Menurut Abdul Karim as salawy, ma’rifat adalah melihat Tuhan dengan hati mereka secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesaran-Nya tetapi tidak dengan kaifiyat, maksudnya Tuhan digambarkan seperti benda atau manusia atau yang lain dengan ketentuan bentuk dan rupa sebagai jawaban kaefa ( bagaimana Zat Tuhan itu ) ? [6]).
            Menurut Aqis Bil Qisthi, ma’rifah adalah suatu pengetahuan yang telah didasarkan atas satu keyakinan yang penuh terhadap segala sesuatu sehingga hilanglah suatu keragu-raguan[7]).
            Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ma’rifat itu adalah sebuah keyakinan bahwa mengetahui dan melihat Allah itu merupakan sebuah kenikmatan jiwa yang diperoleh melalui pengalaman bathin  yang suci hasil dari proses pengetahuan kauniyah, mengenal Asma-asma, sifat-sifat Allah dan Zat Allah, mengenal kekuasaan-Nya, mengenal kehendak-Nya,  mengenal keagungan-Nya, mengenal kebijaksanaan-Nya, yang atas hidayah-Nya akan bermuara kepada kesadaran seseorang akan status kehambaan dirinya, kesadaran seseorang akan ketidakberdayaan dirinya yang berujung pada kesadaran seseorang akan kefanaan dirinya.
            Tujuannya adalah agar manusia mampu mengetahui Dzat yang telah menciptakan manusia beserta alam dan seluruh isinya. Selagi manusia itu mau dan mampu untuk berfikir, maka diwajibkan dalam melaksanakan amal ibadah kepada Allah SWT serta mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menghidupkan akal fikiran guna mendapatkan pengetahuan-ma’rifat yang berimbas pada terbentuknya keyakinan yang sangat kokoh.
            Mengenal Allah yang dimaksud adalah Sang Kholiq Yang Maha Esa, yang hanya Dia berhak dipuji, disembah, diagungkan dan disanjung adalah yang fundamental dalam ajaran islam. Hal ini disebabkan karena sumber datangnya keimanan kepada Allah SWT perlu dipelajari sedini mungkin.
            Ma’rifatullah harus ditopang dengan usaha suka memikirkan dan merenungi ciptaan Allah yang tak terhingga dari yang sangat mikro sampai yang sangat global atau makro. Hal ini mengandung hikmah yang dalam dan menjadi petunjuk, pedoman dan bukti yang riil atas keberadaan wujud Allah SWT di dunia ini.
            Pada masa kini, kata ma’rifat lantang terdengar dari pokok-pokok pembicaraan pada bidang ilmu tasawuf ; suatu ilmu yang mengajarkan budi pekerti manusia terhadap dirinya, terhadap sesama manusia, terhadap sesama mahluk ciptaan Allah, dan yang sangat esensial adalah budi pekerti terhadap Allah SWT sebagai sang Kholiq jagad raya beserta isinya ini.
            Allah SWT menciptakan berbagai hal di alam semesta ini. Ada manusia, hewan tumbuhan, benda-benda mati, air, udara, api, gunung-gunung, meteor, planet dan lain-lain. Manusia diperintahkan untuk senantiasa merenungkan ayat-ayat Allah di atas dengan harapan agar keimanannya semakin kokoh. Manusia yang merenung pasti senantiasa berfikir bahwa segala yang ada di alam semesta adalah ciptaan Allah SWT. Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu- barang siapa mengetahui dirinya, maka akan mengetahui Robbnya. Dari sinilah proses ma’rifah berawal, yang dengannya maka keimanan kita akan bertambah.
اِنَّ فِى الَّسَموتِ وَاْلَارْ ضِ لايتِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ “Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman” [8])
                Rasa keingintahuan (ma’rifah) kepada Allah merupakan sesuatu hal yang menjadi dambaan bagi seorang sufi. Oleh karenya, ma’rifatullah adalah bagian yang menjadi sangat esensial.
            Dari hal tersebut diatas, maka penulis dapat kemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah Dasar ajaran ma’rifah itu dalam dunia sufi ?
2.      Siapa sajakah tokoh-tokoh ma’rifah itu, dan bagaimana pokok-pokok pemikirannya ?
3.      Bagaimanakah pengaruhnya bagi dunia sufisme ?

II. PEMBAHASAN
A.Dasar Ajaran Ma’rifah
1. Perjalanan Pencapaian Menuju Ma’rifah
               Suatu persinggahan menuju ma’rifat menurut Ustadz Labib MZ terbagi menjadi 4 (empat) yaitu : Pertama,  Al-Yaqzhah, artinya kegalauan hati setelah terjaga dari tidur yang sangat lelap, merupakan suatu bekal guna memulai suatu perjalanan di dalam menuju kepada persinggahannya yang mengajak ke suatu tempat di mana dia telah ditawan jika dia telah menjadi sadar.Kedua, Al-Azm, artinya suatu tekad yang sangat bulat untuk melakukan perjalanan dan siap menghadapi segala macam rintangan serta mencari penuntun yang dapat menghantarkan dirinya pada tujuan.Ketiga, Al-Fithrah, artinya pandangan hati yang tertuju kepada sesuatu yang telah dicari, meskipun Dia, itu sama sekali belum memiliki gambaran suatu jalan  yang akan menghantarkannya ke sana.Keempat, Al-Bashirah, artinya suatu cahaya yang ada di dalam hati guna untuk melihat janji dan juga ancaman, surga dan neraka yakni sesuatu apa yang telah dijanjikan oleh Allah SWT bagi para wali dan juga musuh Allah[9]).
               Menurut Imam Ruhullah al- Musawi al- Khumaini, perjalanan menuju ma’rifat itu adalah sebagai berikut :Pertama, bersuci dengan air atau tanah. Air merupakan rahasia kehidupan, merupakan pangkal ilmu untuk menyaksikan Tuhan Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri, sedangkan tanah adalah merupakan asal kejadian manusia. Kedua media tersebut mengajarkan kepada kita agar agar engkau merenung tentang dirimu dan engkau tahu siapa yang menciptakanmu, dan mengapa Dia menciptakanmu[10]). Kedua, shalat karena merupakan kendaraan (buraq) untuk naik dan wahana untuk mencapai tujuan, yakni menuju Allah. Ketiga, cermin manifestasi dan citra penyaksian keindahan Kekasih adalah tujuan. Cermin dan citra dalam makna yang ghaib mengalir pada yang tampak, jejak-jejak batin muncul pada lahir. Dalam bahasa para muhaqqiq filosof bahwa alam akal mengatur alam materi, bagi para arbab al-qulub ahli makrifat merupakan sub-ordinat bagi manifestasi nama-nama, sifat-sifat dan Dzat[11]).
                        Selain itu, untuk mencapai ma’rifah, ada 8 (Delapan) langkah yang harus diperhatikan, yaitu :
1.Meyakini kebenaran Kodrat Allah. Kodrat memiliki arti “kuasa” atau kekuasaan, sehingga kodratullah dapat diartikan sebagai kuasa atau kekuasaan Allah.Suatu kekuasaan yang hanya satu-satunya, sesuatu kekuasaan yang tunggal, suatu kekuasaan yang mutlak dan kekuasaan yang demikian hebat, tentunya hanya dimiliki oleh sesuatu yang Maha Hebat pula, yakni suatu kekuasaan yang tidak tersaingi oleh apapun dan siapa pun. Pemilik kekuasaan yang demikian hebat itulah yang patut disembah, patut diikuti, patut diimani, dan itulah Tuhan kita, yaitu Allah [12]).
اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّ اللهَ الَّذِى خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَلَمْ يَعْى بِخَلْقِهِنَّ بِقَدِرٍ عَلَى اَنْ يُّحْيىِ اْلمَوْتَ بَلى اِنَّهُ عَلَى كُلّ شَئٍ قَدِيْرٌ                                                       
Artinya : Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan Dia tidak payah menciptakannya, berkuasa pula menghidupkan yang telah mati, bahkan sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu ( QS. Al-Ahqaf [46] :33)
2.Memahami Irodat Allah. Irodat memiliki arti kehendak, sehingga Irodat Allah diartikan sebagai kehendak Allah. Apapun yang terjadi bagi makhluk di dunia adalah berkat kehendak Allah SWT.
3. Ilmu, merupakan langkah ketiga yang harus dilalui oleh seorang pencari Tuhan (salik). Manusia dituntut untuk menyadari bahwa ilmu yang ada di dunia dan di akherat, yang nyata atau yang ghaib merupakan ilmu Tuhan, manusia hanya diberi oleh Allah, kecuali hanya sedikit.
4.Hayat diartikan sebagai hidup, Maha Hidup. Keyakinan bahwa Allah ada dan hidup harus menjadi keyakinan utama bagi kaum muslim. Hidupnya Allah tak dapat disangkal lagi oleh apapun, siapapun, kapanpun. Apabila Allah tidak ada, maka tidaklah ada alam semesta ini, tidaklah ada dunia ini, tidaklah ada makhluk-makhluk penghuninya, termasuk ketiadaan saya, anda dan kaum muslim itu sendiri.
5.Sama’ artinya mendengar, suatu sifat yang wajib bagi Allah. Dia Maha Mendengar atas segala sesuatu, bukan saja terbatas pada mendengar yang memang terdengar jelas bagi manusia, tetapi Dia mendengar pula yang halus, yang tidak terdengar oleh manusia, dan yang ada di lubuk jantung manusia, yang menjangkau pembicaraan di masa lampau, sekarang dan masa mendatang.
6.Bashar, diartikan sebagai melihat. Sehingga bashar Allah diartikan sebagai penglihatan Allah. Bashar sesungguhnya adalah milik Allah, baik yang ada di dunia, akherat dan seisinya.
7.Kalam diartikan sebagai Maha berfirman. Ilmu Kalam adalah ilmu yang membicarakan atau mengandung keterangan tentang kalam Allah yang berupa firman-firman-Nya, yang kemudian tersampaikan kepada umat manusia melalui para utusan-Nya.
          8.Syariat, berasal dari kata syara’ yang diartikan memperkenalkan atau mengedepankan atau menetapkan, artinya Allah SWT telah memperkenalkan, mengedepankan dan menetapkan aturan main di dunia ini kepada makhluk-makhluk-Nya, termasuk di dalamnya adalah manusia melalui firman-firman-Nya dalam Al-qur’anul Karim.
                        Menurut Mahjudin, ma’rifah dapat diperoleh dengan 2 jalan yaitu :
1.Ada yang mengatakan, bahwa ma’rifah itu merupakan proses kelanjutan dari kondisi kejiwaan sebelumnya, misalnya taslim, fana’, baqo.
2.Ada juga yang mengatakan bahwa ma’rifah yang didapatkan oleh para peserta tasauf harus melalui fana’ dan baqo’ yang dapat diperoleh melalui Zikir dan tafakkur [13]).
                                                Ma’rifat billah merupakan suatu kelezatan bagi kaum mutashowwifin, suatu hal yang senantiasa dicari dan dikenangnya yang bersumber pada mahabbah waridho, cinta dan ridho, rindu dengan melalui tafakkur dan amalan-amalan sholeh.
            Tujuan yang akan dicapai orang-orang mutashowwifin di dalam bertaqorub ilallah adalah karena ingin mencari ma’rifatullah dan insan kamil.
                        Apa yang dilakukan oleh para sufi dalam mencari ma’rifat itu adalah merupakan suatu kebiasaan untuk menundukan jiwa dan menderma dengan perbuatan tiap-tiap hari dengan maksud menbiasakan jiwa agar taat, dan memelihara kekuatan penolak sehingga diterima ajakan baik dan ditolak ajakan yang buruk[14]).
Ma’rifat billah adalah melihat Tuhan dengan hati mereka secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesaran-Nya [15])
Selanjutnya, Sayyid Abu Bakar Al-Makky menyatakan bahwa ma’rifat kepada Allah adalah merupakan suatu cahaya yang telah dipancarkan Allah di hati hamba-Nya sehingga dengan cahaya tersebut hamba Allah tadi bisa melihat rahasia-rahasia kerajaan-kerajaan Allah di bumi dan di langit dan hamba tersebut bisa mengamat-amati sifat kekuasaan dan kekuatan Tuhan [16])
                        Abu Bakar Siddiq r.a ketika ditanya : Dengan apakah Engkau melihat Tuhanmu ? Beliau menjawab : “ Dengan sesuatu yang telah Allah perlihatkan sendiri padaku, Dia tidak bisa ditemu dengan panca indera, tidak bisa diukur dengan ukuran, dan yang dekat dengan kejauhannya dan yang jauh dari kedekatan-Nya. Dia di atas segala sesuatu dan tidak boleh dikatakan seperti sesuatu yang lain. Sungguh Maha Suci Dzat yang bersifat demikian dan tidaklah bersifat yang demikian selain Allah “ [17]).
Istilah lain dari ma’rifah adalah ru’yah, musyahadah dan liqo’. Ru’yah bisa diproleh sesudah kasyaf, sesudah terbukanya dinding yang selalu menyelimuti antara ‘ Abd ‘ dengan ‘ Kholik ‘.
                        Imam Al-Ghozali pernah menyampaikan pengalamannya untuk menguatkan pembicaraan tentang ru’yah, katanya : “ Begitu nyata sebagai saya pernah kenal Tuhan itu di dunia dengan ma’rifah hakekat yang sempurna dengan tidak berupa gambaran dan khayal, dengan tidak ada keterangan bentuk dan rupa, engkau melihat Tuhan itu demikian kelak di akherat “ [18]).
            Selanjutnya Ahmad Asy-Syirbashy dalam “ Ta’tsirut-tashawwuf fil Ghozali, beliau Imam Al-Ghozali mengatakan :
وَعِلْمُ مَكَا شَفَةٍ وَهُوَ عِلْمُ ااْلبَا طِنِ-وَهُوَ نُوْرٌ يَظْهُرِ فىِ اْلقَلْبِ الطَّاهِرِ وَيَهْدِى اِلَى مَعْرِفَةِ الْحَقِيْقَةِ بِاللهِ تعالى-وَهُوَالَّذِى يَرْتَفِعُ مَعَهُ اْلغِطَاءُحَقَّ تَتَّصِحَ جَلِيَّةَ اْلحَقِ اتِضَاحًا يَجْرِى مَجْرَى اْلعِياَنِ اَّلذِى لَايَشُكّ فِيْهِ                                                                 
“Ilmu Mukasyafah atau ilmu bathin adalah cahaya yang terang dalam hati yang bersih dan mendatangkan ma’rifat billah yang hakiki. Dia adalah suatu cahaya yang bias menghilangkan  tutup (tabir) sehingga menjadi jelaslah kenyataannya Tuhan jelas sekali sama dengan penglihatan mata  yang tidak diragu-ragukan lagi [19])”.
                                    Ma’rifat billah tetap bisa dicapai oleh seseorang bila ia sudah menjalankan syareat dan membersihkan jiwanya dari segala kotoran maksiat. Ma’rifat billah adalah tujuan utama mutashowwifin karena merupakan kelezatan yang tertinggi.
                                    Orang-orang sufi mengatakan bahwa : (1) kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup,dan ketika itu yang dilihatnya hanya Tuhan.(2) Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang ‘arif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah, (3) yang dilihat orang ‘arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah, (4) sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahan, dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang gemilang ( Harun Nasution hal. 76)
اَلْحَقّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَاِنَّمَا الْمَحْجُوْبٍ اَنْتَ عَنِ النَّظَرِ اِلَيْهِ اُخْرُجْ مِنْ اَوْصَا فِ بَشَرِيّتِكَ عَنْكُلّ وَصْفٍ مُنَا قِضٍ لِعُبُوْدِ يَّتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِالْحَقّ مُجِيْبًا وَمِنْ حَضْرَتِهِ قَرِيْبًا                                        
“ Tuhan yang haq tidaklah ia tertutup, hanya saja engkau saja terkadang tak melihat-Nya. Keluarlah engkau dari sifat-sifat kemanusiaan, dari semua sifat-sifat yang bertentangan dengan sifat penghambaanmu supaya engkau bias menjawab panggilan Tuhan yang haq serta dekat di sisi-Nya” [20]).
                                    Selanjutnya bahwa kelezatan mengenal Tuhan dan melihat keindahan ke-Tuhan-an dan melihat rahasia-rahasia hal ke-Tuhan-an adalah lebih lezat dari derajat kepemimpinan yang merupakan top dari kelezatan-kelezatan yang ada pada makhluk [21]).
                                    Ma’rifat billah selain merupakan lezat dan besar bagi kaum mutashowwifin juga menyebabkan adanya sifat malu dan mengagungkan kepada Tuhan sebagaimana tauhid menyebabkan ridho dan menerahkan diri kepada Allah SWT [22]).
Dengan demikian bahwa ma’rifat bisa dikasab dengan melalui beberapa tingkatan dan ma’rifat billah dapat dicapai dengan adanya nur yang dianugerahkan Allah kedalam jantung-hati yang bersih sesudah hamba itu terlepas dari belenggu nafsu dan kotoran ma’ashai, jadi sekali-kali tidak dicapai dengan panca indera.
Ma’rifat billah itu tercapai ketika bersatunya manusia dengan Tuhannya, yang disebut Union mystique, yang dalam bahasa jawa disebut manunggaling kawulo gusti dan dilambangkan sebagai  “curigo manjing ing warongko lan warongko manjing ing curigo ( keris masuk dalam rangka dan rangka masuk dalam keris). Tentang Union mystique ini dalam ajaran tashowwuf disebut hulul atau ittihat. Dalam keadaan ini sama seperti kita melihat besi disepuh api sehingga berwarna merah, maka dikala itu kita tidak dapat membedakan manakah besi dan manakah api, maka itulah api dan itulah besi. Praktik ajaran hulul ini sebagaimana pernah dibawakan oleh Abu Mughis Husain bin Mansyur Al-hallaj  [23]).
                        Dalam Al-Qur’anul Karim Surat Al-Baqoroh ayat 186 disebutkan yang artinya : “ Dan apabila hamba-KU bertanya kepadmu tentang AKU, maka (jawablah) bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan  permohonan orang yang mendo’a kepada-KU “.
                        Selanjutnya di dalam Hadits Qudsi, bahwa Allah SWT  berfirman “ Barang siapa memusuhi seorang wali-KU, maka Aku mengumumkan  permusuhan-KU terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-KU kepada-KU yang lebih KUsukai dari pada pegamalan segala yang KUfardhukan atasnya, kemudian hamba-KU yang senantiasa mendekatkan diri kepada-KU, dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka AKU senantisa mencintainya. Bila AKU telah cinta kepadanya, jadilah AKU pendengarannya yang dengannya ia mendengar, AKU penglihatannya yang dengannya ia melihat, AKU tangannya yang dengannya ia memukul, dan AKU kakinya yang dengannya ia berjalan. Bila ia memohon kepada-KU, AKU perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia KUlindungi” (HR.Bukhory) [24]).
2. Derajat atau tingkatan Ma’rifah
Imam Al-Ghozali dalam “Ihya’ Ulumuddin” juz 4 membentangkan buah fikirannya sampai tingkatan manusia meninggalkan dunia dan menghadap kepada amal akherat ada 5 (lima) tingkatan, yaitu :
(1)Tadzakkur, yaitu menetapkan dua pengertian dalam hati, yakni : (1) menetapkan akherat lebih utama dari dunia dengan jalan mendengarkan dari orang lain bahwa akherat adalah lebih utama didahulukan dari pada duni, (2) karena dia mengetahui bahwa yang lebih kekal, lebih utama didahulukan, dia mengerti bahwa akherat adalah lebih kekal dari dunia.
     (2)Tafakkur, mencari ma’rifat-pengertian dari kedua hal dia atas.
     (3)Tercapainya ma’rifat yang selalu dicari dan terangnya hati dengan ma’rifat
          tersebut.
      (4)Perobahan keadaan gerak-usiknya hati dari keadaan sebelumnya sebab
           tercapainya nur ma’rifat.
      (5)Patuhnya anggauta kepada hati menurut kadar perobahan yang diperbaharui oleh hati dimana hati digambarkan sebagaimana orang memukulkan batu dia atas besi maka keluarlah dari padanya cahaya yang menerangi tempat kanan kirinya sehingga mata bisa melihat padahal sebelumnya tidak bisa melihat karena dalam keadaan gelap. Setelah itu anggauta badan mau melakukan suatu perbuatan karena ada cahaya yang meneranginya [25]).
                                    Menurut Ustadz Labib MZ, bahwa derajat Ma’rifat itu terbagi menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
(1)   Ma’rifat ciri dan sifat. Kesaksian-kesaksiannya muncul di dalam ciptaan, sebab telah melihat cahaya dalam kesendirian dan kebaikan kehidupan akal guna menanamkan fikiran. Syarat-syarat keyakinan ini tidak dapat terhimpun kecuali dengan hal-hal yang melalui 3 (tiga) sendi, yakni : (1) penetapan sifat dengan dengan nama tanpa  adanya penyerupaan, (2) penafikan penyerupaan, (3) putus asa di dalam mengetahui detailnya
(2)   Ma’rifat Zat dengan menggugurkan perbedaan antara Dzat dan sifat, yang dapat dikuatkan dengan ilmu keterpaduan, menjadi jernih di medan kefanaan, menjadi sempurna dengan ilmu keabadian dan mendekati keterpaduan.
(3)   Ma’rifat yang telah tenggelam di dalam kemurnian pengenalan, yang tidak dapat dicapai dengan pembuktian, kesaksian dan wasilah yang mempunyai 3 (tiga) sendi diantaranya : (1) mempersaksikan yang dekat, (2) naik untuk meningkatkan ilmu, (3) memperhatikan kebersamaan. [26]).

3.Hakekat Ma’rifah
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan di dalam mencapai hakekat makrifat yaitu :
a)      Hakekat Ilmu. Ilmu hakekat itu datangnya dalam keadaan jelas dan bersifat mujmal, setelah dibubuhi penjelasan barulah ia menjadi jelas. Datangnya ilmu hakekat biasanya berupa ilham dari Allah SWT masuk melalui alam fikiran mengalir melewati perasaan manusia. Ilmu itu akan menjadi terang makna dan tafsirnya apabila diterima oleh para hamba Allah yang tingkatannya ma’rifah. Setelah dapat mengerti dan memahami dengan jelas kemudian direnungkan dan dianalisa dengan rasa serta berfikir dengan bersifat agama.
b) Hakekat Keramat, yaitu merupakan suatu keadaan yang sangat  luar yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada orang yang alim, itulah yang disebut dengan karomah atau keramat. Orang yang telah diberi keramat oleh Allah SWT, maka dia sudah sempurna keikhlasannya, yang karenanya dia harus istiqomah. Karena istiqomah itu adalah yang sangat diperlukan di dalam menjalankan amalan-amalan ibadah kepada Allah SWT, sehingga tercapailah cita-cita guna untuk menghadap kehadirat Allah SWT yang disebut Waliyullah.
c) Hakekat Asma Allah SWT. Pembuktian Asma Allah SWT yang lima ( Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik) yang didasarkan pada dua dasar, yaitu :
Dasar Pertama, Asma Allah SWT telah menunjukkan akan sifat-sifat kesempurnaan Asma Allah SWT, yang merupakan suatu sifat yang sangat bagus, karena itulah jika kita berdo’a senantiasa menggunakan kata-kata : Ya Allah. Untuk itu, penafikan makna Asmaul Husna adalah termasuk kufur yang sangat besar.
Dasar Kedua, Selain menunjukkan kepada Dzat dan sifat yang sesuai dengan-Nya, maka menunjukkan juga dua bukti lainnya yang mana sifatnya kandungan dan juga keharusan. Oleh karenanya, Asma Allah SWT menunjukkan secara keseluruhan Asmaul Husna dan sifat-sifat-Nya.
d) Hakekat Tawadhuk dan Takabur.  Tawadhuk itu adalah merendahkan diri, bersikap tenang, sederhana serta sungguh-sungguh di dalam menjauhi segala macam perbuatan takabbur ganas atau pun membangkang. Orang mutawadhi ialah orang yang tunduk, juga taat dalam melaksanakan yang benar serta menerima semua kebenaran dari siapapun asalnya tanpa memandang warna kulit, jabatan, keturunan, yang penting hal itu benar dan wajib untuk diikuti. Ulama membagi tawadhuk itu menjadi 3 (tiga), yaitu : (1) Tawadhuk terhadap agama, yaitu sikap yang tidak menentang dengan apa yang dinukil oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, (2) sikap yang sangat rela dengan menjadikan sesama muslim sebagai saudara selama masih menjadi hamba Allah yang taat, (3) merendahkan diri kepada yang haq yang datangnya dari Allah SWT. Hakekat tawadhuk adalah jika seseorang telah merasa bahwa dirinya adalah tawadhuk, maka orang tersebut dapat dikelompokkan dengan orang yang sombong. Hakekat kesombongan adalah salah satu dari penyakit yang paling ganas dan berbahaya, karena merasa bahwa dirinya tinggi, disegani oleh orang lain.
e) Hakekat cinta kepada Allah SWT. Cinta itu-hubb artinya suatu gejala emosi yang menggelora, yang timbul dari dalam jiwa dan hati-jantung manusia yang diliputi rasa keinginan dan hasrat yang memuncak terhadap Allah SWT. Tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah SWT adalah : (1) dalam menghadapi kematian tidak ada keraguan, (2) senantiasa untuk mengendalikan hawa nafsu dengan memusatkan segala macam perbuatan baik lahir bathin untuk mentaati perintah Allah swt, (3) ingatannya tidak terlepas dari Allah SWT, (4) rajin berkhalwat dan bersunyi selalu memohon do’a kepada Allah, (5) senantiasa mengadakan koreksi dan instropeksi atas kelalaian dan kealfaan dan mengadakan perbaikan, (6) merasa nikmat dalam beribadah, (7)terhadap kaum muslimin selalu ramah dan bersikap terhadap orang yang ingkar, (8) dalam mengerjakan ibadah bukan karena merasa takut, tapi karena sebagai seorang hamba yang merupakan kewajiban, (9) beribadah secara sembunyi-sembunyi karena takut dipuji orang, (10) hatinya senantiasa terpaut kepada Allah dan selalu ridha untuk menerima cobaan yang ditimpakan kepadanya.
f) Perjalanan dari makrifat ke hakekat, kehendak yang sangat kuat untuk mencapai makrifat tidak berarti hanya sampai pada apa yang telah dikasyafkan oleh Allah SWT kepadanya, kecuali ia hanya ingin berhenti pada suara hakekat yang memanggilnya... suara itu mengatakan : “ yang engkau cari sekarang ada di hadapanmu, jangan engkau berhenti di situ “.
g) Pada hakekatnya Allahlah yang menjadi amal seseorang, jangan engkau meminta ganti atau pahala atas amal yang telah diperbuat, cukuplah sebagai balasan Allah SWT padamu atas sesuatu amal, jika Allah SWT menerima amal tersebut.
h) Hakekat do’a. Jadikanlah do’a itu sebagai pelahiran dari sikap seorang hamba yang selalu membutuhkan Allah SWT dan sebagai pematuhan di dalam menuruti segala perintah-Nya.
4.Doktrin para tasawuf tentang ma’rifah
     Ma’rifah adalah akhir perjalanan seorang peserta tasauf-salaf, tasauf sunni Jam’u (bersatu, bukan menyatu), tasauf falsafati-ittihad(menyatu), hulul(lebur menjadi satu), wahdatul wujud (menjadi satu wujud) sedangkan tasauf kontenporer dinamakan sebagai penemuan kebahagiaan bathin yang dirasakan oleh para tasauf.
Pada tingkatan ini, Tuhan yang suci itu akan turun dari langit ke diri manusia yang suci. Dalam tasauf, diri suci itu akan dapat diperoleh jika sudah berada pada tingkatan tajalli.
Tajalli adalah penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah tajalli ini berasal dari bahasa Arab tajallaa atau yatajallaa yang artinya menyatakan diri. Konsep ini bertitik tolak dari pandangan bahwa Allah SWT dalam kesendirian-NYA (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-NYA. Oleh karena itu, dijadikan-Nya alam semesta ini, termasuk di dalamnya adanya manusia, sehingga dengan demikian alam ini merupakan cermin bagi Allah SWT. Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka Ia menampakkan dirinya dalam bentuk tajalli[27]).
Hal ini relevan dengan hadits Qudsi yang disampaikan oleh Prof.Dr.Ris’an Rusli, M.Ag pada pertemuan Mata Kuliah Studi Peradaban dan Pemikiran Islam di Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang pada tanggal 27 Februari 2013 yang berbunyi :
كُنْتُ كَنْزاً مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتَ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِى عَرَفُوْنِى
Artinya : AKU sebatang kara, maka AKU ingin diketahui(diakui), maka KUciptakan makhluk agar mengetahui-KU.
                                  Ma’rifah merupakan penampakan kebenaran Illahi setelah salik mendengarkan, melihat dan merasakan dengan kekaguman dan kebingungan (dahshah dan hayrah). Kebingungan yang dimaksudkan adalah ketika seseorang tasauf berkondisi tidak sadarkan diri karena menghadapi sesuatu yang luar biasa, sehingga salik hanya dapat berpasrah (taslim) yang menunggu limpahan rahmat dari Robbil ‘Izati. Tiada kata yang keluar dari mulutnya, melainkan kepasrahan. Ma’rifah, sangat sulit diterangkan.
                                  Salik yang sudah sampai pada tingkatan ma’rifat, maka ia telah mesra dalam bersahabat dengan Allah SWT. Oleh karena itu, Dzu Al-Nun berkata : “ dalam bersahabat dengan Allah, hanya ada kerukunan dan keselarasan. Dalam bersahabat dengan manusia, hanya ada nasehat yang tulus. Dengan diri sendiri, hanya ada pertentangan dan perselisihan. Dengan syetan, hanya ada permusuhan[28]).
Salik merupakan orang yang menjalankan suluk di dalam tarekat. Suluk adalah kegiatan dzikir yang dilanjutkan dengan tafakkur-merenung dengan bentuk riyadhah-melatih rohani untuk memperoleh tingkatan maqam dan kondisi hal pada waktu tertentu dalam kegiatan tarekat[29]).
 Hal ini dapat dilihat ketika Dhu al-Nun al-Misri ditanya oleh muridnya tentang keterangan ma’rifah yang sering dialami, ia hanya mengatakan : “ saya pernah mendapatkan ma’rifah karena Tuhan-ku, seandainya bukan karena Tuhan-ku, pasti saya tidak mendapatkannya [30]).
                                    Ma’rifah tinjauan doktrin dasar tasauf kontenporer terbagi menjadi lima (5) macam, yaitu :
1.      Peserta tasawuf harus mengerti dirinya sebagai hamba yang wajib menyembah Tuhan-nya (ya’rifu nafsahu).
2.      Peserta tasawuf harus mengerti Tuhan-nya sebagai wujud yang wajib disembah (ya’rifu Robbahu).
3.      Peserta tasawuf harus mengerti dunianya sebagai salah satu alam yang ditempati berjuang untuk mengabdikan diri kepada Tuhan, beramal untuk diri, keluarga dan masyarakatnya (ya’rifu al-Dunya).
4.      Peserta tasawuf harus mengerti bahwa kehidupan dunia tidak kekal, karena masih ada lagi kehidupan di akherat yang menuntut amalan dan pembalasan dari kehidupan dunia (ya’rifu al-akherat).
5.      Kehidupan manusia dilengkapi oleh keberadaan lingkungan hidupnya. Maka salah satu ajaran dasar Tasauf Kontenporer adalah keikutsertaan melestarikan dan memperbaiki lingkungan hidup (ya’rifu al-biah) [31]).
Sebagai manusia kita harus tahu diri, artinya kita harus mengetahui dari apa kita diciptakan dan untuk apa kita diciptakan. Sungguh Allah telah menciptakan manusia dari sari pati tanah (Adam AS-sebagai manusia pertama), pasca dinikahkannya Adam AS dengan Siti Hawa, maka Allah menjadikannya khalifah di muka bumi yang dengannya dalam proses kejadian manusia selanjutnya ada campur tangan manusia di dalamnya. Allah dalam menciptakan manusia tidak lagi langsung dari tanah, melainkan hakekat yang ada dalam tanah itu sendiri. Hal ini dapat diketahui dari berbagai makanan yang bersumber dari bumi – sumber tanah yang dikonsumsi oleh Adam AS-Siti hawa sampai dengan seluruh manusia di bumi (anak cucu Adam AS dan Siti Hawa) menghasilkan sesuatu air kehidupan yang sangat berharga tapi juga menjijikkan yang tersimpan kokoh dan dikeluarkan dari antara tulang-tulang sulbi. Melalui hubungan yang sah-pernikahan, maka air kehidupan itu-mudghoh dapat dikeluarkan secara legal sebagai awal kejadian manusia.                            
                                    Di dalam siklus keluarnya air kehidupan itu, ada suatu rasa, rasa dari  sang Kholiq, Dzat yang Maha Kasih dan Maha Penyayang yang dipancarkan kepada manusia dengan tidak berkurang sedikitpun. Dalam periode yang telah ditentukan, maka air nuthfah itu menjadi mudghoh yang terbungkus oleh daging dan ada tulang belulang dengan ditiupkannya ruh oleh Allah SWT sehingga menjadi sosok manusia baru. Lalu, apa hubungannya dengan ma’rifah ini, bahwa kita harus mengetahui dan sadar bahwa kita tercipta dari air yang tidak berguna, jika tidak diiringi kemanfaatannya yaitu untuk menyembah Allah SWT, maka kita menjadi sia-sia.
                        ‘Arofa Robbahu-mengetahui Tuhan-nya, adalah suatu konsekuensi yang harus ada bahwa : “ Tidaklah AKU ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-KU “ ( Al-qur’an al-Karim). Ini cukup jelas bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah supaya beribadah kepada Allah SWT dan memancarkan sifat-sifat Allah di dunia untuk kedamaian dan ketenteraman umat di alam semesta.
                        Ya’rifu al-Dunya-mengetahui dunia, yang sejalan dengan apa yang telah disabdakan oleh Rasul SAW bahwa : “ Dunia adalah kampung akherat-Addun ya mazroatul akherat”. Dunia adalah tempat mengabdikan diri dan berjuang untuk mencari rahmat dan ridho Allah SWT karena sabda Rasul SAW bahwa :“ Beramalah untuk urusan duniamu, seakan-akan engkau akan hidup selamanya “.Hadits tersebut sebagai sumber motivasi agar kita giat dalam berusaha dan beribadah. Ada hal penting yang harus disadari bahwa hidup di dunia adalah waktu yang sangat singkat yaitu periode seperti menunggu antara azan dan iqomah-telah disampaikan oleh Dr. Edyson Saifullah dalam perkuliahan Studi Al-qur’an di pascasarjana IAIN Raden fatah Palembang.
                        Ya’rifu al-Akherat-mengetahui akherat, menyadari bahwa ada kehidupan setelah kehidupan di dunia, yaitu alam akherat. Firman Allah SWT : “ Carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu tentang kebahagiaan hidup kampung akherat “. Akherat adalah tempat yang Kekal dan milik Allah Zat Yang Maha Kekal. Kebahagiaan hidup di akherat perlu diraih dengan berbagai upaya agar Allah SWT ridho, sehingga akan memberikan kasih sayangnya kepada manusia.
                        Ya’rifu al-Bi’ah-mengetahui bahwa kita perlu berpartisipasi di dalam melestarikan dan menjaga lingkungan hidup, caranya dengan tidak membuat kerusakan di muka bumi ini, karena Allah tidak suka dengan orang-orang yang berbuat kerusakan.               
5.Berbagai polemik tentang Ma’rifah
a. Dilihat dari segi proses turunnya
                   Ma’rifah itu mengetahui, mengenal Tuhan Yang Maha Suci. Dia hanya dapat dijangkau oleh orang-orang yang suci pula. Ketika seseorang telah sampai pada maqam ma’rifat hasil dari pensucian dirinya, maka yang terjadi adalah terbukanya tabir-hijab zat yang Maha Ghaib. Alur perjalanan turunnya ma’rifat menurut Prof. Dr. Ris’an Rusli, M.Ag itu adalah bahwa Tuhan Yang Maha Suci dengan kehendak-Nya itu turun secara hirarki menemui hamba-Nya yang suci. Pembuktiannya adalah ketika hamba yang suci itu telah mengalami syattahat, yaitu munculnya pernyataan-pernyataan ketika dalam keadaan fana’, di sanalah Tuhan telah hadir di hati sanubari manusia.
b. Dilihat dari tata urutan atau tahapan-tahapan berdasarkan temporernya
                   Menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘ulumuddin, bahwa ma’rifah itu datang sebelum mahabbah, tetapi menurut Al-kalaabadi dalam Al-Ta’arruf menyebut bahwa ma,rifah datang sesudah mahabbah. Ada pula yang berpendapat bahwa ma’rifah dan mahabbah adalah kembar dua[32]), saya lebih suka bilang bahwa ma’rifah dan mahabbah itu bak pinang dibelah dua karena keduanya lazim disebut secara bersamaan. Ma’rifah berlangsung ketika Tuhan datang menemui hamba-Nya, mahabbah terjadi ketika kecintaan hamba yang suci sampai untuk menemui Tuhan.
                        Menurut Aqis Bil Qisthi dalam Mu’min dan Muslim dalam 7 M, bahwa ma’rifah datang sesudah Muraqabah. Yang dimaksud 7 M adalah mahabbah-muatabah-muraqabah-ma’rifat-musyahadah-mujahadah-mukasyafah.

B.Tokoh-tokoh Ma’rifah dan pemikirannya        
            Para pemikir atau ilmuwan Islam  yang berkonsentrasi dalam membicarakan makrifah itu, antara lain :
1.      Imam Al-Ghazali. Nama asli beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Ia dilahirkan pada tahun450 H atau bertepatan dengan tahun 1059 M di Thus, sebuah nama daerah yang ada di Khurasan. Ia terkenal dengan nama Al-Ghazali, karena ayahnya adalah seorang pemintal tenun wol, atau juga karena ia berasal dari Desa Ghazalah. Beliau  wafat di tanah kelahirannya, yaitu kota Thus pada hari senin 14 Jumadil akhi 505 H [33]). Mulai tahun 488 H / 1095 M beliau pindah ke Damaskus. Di masjid Umawi ia beri’tikaf dan berdzikir di puncak menara sebelah barat sepanjang hari dengan hanya sedikit makan dan minum. Beliau lalu memasuki suluk sufi dengan riyadhah dan mujahadah secara terus menerus. Bagi Al-Ghazali, ma’rifah ialah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada
               Al-Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat lagi berbobot. Kualitasnya survive karena teori-teorinya hadir dari kajian dan self-experience yang merupakan buah dari suluk, riyadhah dan nujahadah secara intensif lagi berkesinambungan sampai seumur hayatnya.
             Al-Ghazali membagi perjalanan menuju makrifat ke dalam dua bagian penting, yaitu : (1) menyangkut ilmu muamalah, (2) menyangkut ilmu mukasyafah seperti yang termaktub dalam ikhya’ ulumuddin.
             Menurut Al-Ghazali, perjalanan menuju makrifat pada hakikatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati secara terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah, yaitu tahapan tertinggi kaum sufi setelah menjalankan suluk. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa serta penempaan moral atau akhlak yang terpuji, baik di sisi manusia maupun Tuhan [34]).
2.Suhrawardi Al-maqtul. Nama lengkapnya Syaikh Syihab al-Din Abu al-Futuh Yahya ibnu Habasy ibn Amirak al_sahrawardi yang lahir di sahraward, negeri Iran Barat tidak jauh dari Zanjan pada tahun 549 H / 1153 M. Beliau wafat pada tahun 587 H / 1191 yang terbunuh atas perintah Shalahuddin al_ayyubi. Bahwa ada kerinduan kuat jiwa langit untuk menerima penerangan dari sumber segala cahaya. Pendapatnya bahwa alam terbagi atas : (1) alam akal-akal, (2) alam jiwa-jiwa, (3) alam bentuk, (4) alam Mistsal yaitu suatu kelepasan manusia menuju kesempurnaan.
3.Zun al-Nun al-Misri. Beliau lahir di suatu negeri yang terletak diantara Sudan dan Mesir dengan tahun kelahiran tak diketahui dengan jelas, dan wafat pada tahun 860 M. Ma’rifat menurut Zun al-Nun al-Misri adalah “  sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari “. Selanjutnya ada tiga tanda-tanda orang yang telah mendapatkan makrifah, yaitu : (1) cahaya makrifatnya tidak memadamkan kerendahan hatinya, (2) secara bathiniyah ia tidak mengakui ilmu yang menyangkal hukum lahiriyah, (3) banyaknya karunia yang diterima tidak membuatnya melanggar larangan Allah SWT.
               Menurut Prof.Dr. Harun Nasution, bahwa Zunnun al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan ada 3 (tiga) yaitu : (1) Pengetahuan awam, adalah Tuhan satu dengan perantaraan syahadat, (2) Pengetahuan Ulama, adalah Tuhan satu menurut logika akal, (3) Pengetahuan sufi adalah Tuhan Satu dengan perantaraan hati sanubari.
               Hal ini mengandung konsekuensi bahwa pengetahuan tipe pertama dan kedua belumlah merupakan pengetahuan tentang Tuhan yang hakiki, tapi pengetahuan keduanya baru sebatas ‘ilmu, belum ma’rifah. Sedangkan pengetahuan jenis yang ketigalah yang merupakan science hakiki tentang Tuhan yang sudah sampai pada apa yang dinamakan dengan Ma’rifah.
4.Abu Yazid al-Bustami. Nama lengkapnya Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami yang dilahirkan di Bustam- bagian Timur Laut Persia pada tahun 188 H / 813 M. Beliau wafat pada tahun 261 H / 875 M . Abu Yazid al-Bustami, mengusung faham Ittihad ( persatuan mistik, mystical union) yang berarti bahwa seseorang telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan karena kesadarannya telah lebur bersatu dengan eksistensi Tuhan. Sebelum terjadinya ittihad, maka terlebih dahulu harus melalui fana’ dan baqo’.
5. Jalaluddin Rumi. Nama lengkapnya adalah Mawlana Jalaluddin Muhammad dilahirkan di Balkh pada 6 Rabiul Awwal 604 H bertepatan dengan tanggal 29 September 1207 M. Ayahnya bernama Bahauddin walad[35]). Rumi mengatakan dalam bahasa Persia “ Qalib az ma hast, na ma az u “ artinya adalah bahwa bentuk itu dari kita, bukan kita dari bentuk, maksudnya bahwa materi datang dari jiwa, jiwa bukan berasal dari materi[36]).

C.Pengaruhnya bagi dunia sufisme
            Mentauladani perjalanan para sufi  guna mengetahui rahasia   makrifat Allah SWT yang mendorong manusia untuk senantiasa menjaga kesucian hati, bertaubat, berzikir,  bertashbih,  tawadhu’ , instropeksi diri dan memperbanyak berbuat kebaikan agar ilmu  bermanfaat. Guna  untuk mencapai derajat insan kamil.
            Insan Kamil adalah seseorang yang sadar tentang keakuannya yang transendental (faaiq) dan abadi, yang tak diciptakan dan bersifat abadi, mungkin setiap orang merealisasikannya, itulah tujuan dan akhir kehidupan[37]).





III.KESIMPULAN
            Ma’rifat itu merupakan sebuah keyakinan bahwa mengetahui dan melihat Allah itu merupakan sebuah kenikmatan jiwa yang diperoleh melalui pengalaman bathin  suci hasil berbagai proses pengetahuan kauniyah, mengenal Asma-asma, sifat-sifat Allah dan Zat Allah, mengenal kekuasaan-Nya, mengenal kehendak-Nya,  mengenal keagungan-Nya, mengenal kebijaksanaan-Nya, yang atas hidayah-Nya akan bermuara kepada kesadaran seseorang akan status kehambaan dirinya, kesadaran seseorang akan ketidakberdayaan dirinya yang berujung pada kesadaran seseorang akan kefanaan dirinya.
            Prosesnya adalah melalui kegiatan pensucian diri, agar Yang Maha Suci mau menemui atau ditemui oleh hamba-Nya. Jalannya adalah mengenal hakekat manusia, mengenal eksistensi Allah SWT, Pengaruhnya dalam kehidupan manusia adalah mentauladani orang-orang yang suci untuk senantisa berakhlakul karimah, baik kepada Allah atau kepada sesama ciptaan-Nya.Tujuannya adalah melihat Allah itu nikmat yang paling tinggi dan tidak ada bandingannya yang dengannya seorang hamba mendapat ketenangan jiwa sehingga dapat mencapai pada derajad insan kamil.












DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’anul Karim, 2009, Bandung : Sinar Baru Algesindo
Abu Bakar Aceh, 1970, Sejarah Filsafat Islam, Semarang : CV.Ramadhan
Abu Bakar Al-Makky, tt, Kifayatul Atqiya, tt, Bandung Pajar Nusantara
Abu Faris, Abd. Qodir, 1994, Tashowwur Islam Konsepsi Dasar Pemahaman
      Islam, Surabaya : Media Idaman Press
Abdul Karim Assalawy,  1995, Titik Persimpangan Tasawuf dan 
            Kebathinan, Pekalongan : CV Bahagia
 Ahmad Al-Aflaki, Syamsudin, 1992, Hikayat-hikayat di Seputar Jalaluddin
            Rumi, Bandung : Al-Bayan , terj.,

Al-Musawi al-Khumaini, Imam Ruhullah,  Shalat Ahli Makrifat, Bandung :
     Pustaka Hidayah, terj., 2006, hal.126

       Amin, Ahmad, 1993, Etika, Jakarta : Bulan Bintang
       Al-Ghazali, 1994, Menjalin Persaudaran, Bandung : Bayan
Al-Ghazali, tt., Ihya’ Ulumuddin, Singapora : Sulaiman Mar’i
Al-Kadiri, Choirul Anam, 2010, Delapan Langkah Mencapai Makrifat,             Jakarta:Amzah
       Al-Khaf, H., Idrus, tt,. Jalan Menuju Ma’rifat, Surabaya : Amelia
Ahmad Asyirbashy, tt., Al-Ghazaly wat-Tashawuful Islamy, Darul:Hilal
Al-Kadiri, Dahlan, tt., Siraj Al-Tholibin Juz 2,  Bayrut: Albabi alhaby
Bil Qisthi, Aqis, 2004, Mu’min & Muslim dalam Tahapan 7 M, Surabaya :
      Bintang Usaha
Depdiknas, 2003, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ikrar Mandiri Abadi
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 2003, Jakarta : PT. Ichtiar Baru
Ibn Ibad, tt., Syarah Hikam, Semarang : Al-Munawar
Hasyim, M., R., 1993, Jalan Menuju Ma’rifah untuk lebih mengenal dan
      mendekatkan diri hati nurani kepada-Nya, Jakarta : lincah Store,
Iqbal,Muhammad, Sir, tt.,  Asraari Khudi, Uraian/terjemahan Bahrun
Rangkuti & Arif Husain, Jakarta : Pustaka Islam
Karim, as Salawy,1995, Titik Persimpangan Tasawuf dan Kebathinan,
      Pekalongan : CV. Bahagia
 Labib, Ustadz, MZ., 2002, Hakekat Makrifat, Surabaya, Giri Utama
Mahsudin, 2010, Akhlak Tasawuf,  Jakarta : Radar Jaya Offset
 Nasution, Harun 1990,  Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan               Bintang
Syeih Muhammad Dahlan, tt., Siradjut Tholibin, Mustopa: Al-baby
Teguh Pramono, 2012, 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa,              Yogyakarta : Diva Press





[1] Choirul Anam Al-Kadiri, Delapan Langkah Mencapai Ma’rifatullah,    Jakarta,  Amzah, 2010, hal.vi                
[2] Idrus H. Al-Khaf, Jalan Menuju Ma’rifat, Surabaya : Amelia, hal.10
[3] Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1990, hal.75
[4] M. Hasyim R., Jalan Menuju Ma’rifah untuk lebih mengenal dan mendekatkan hati nurani kepada-Nya, Jakarta : lincah store, 1993, hal. x
[5] Abd. Qodir Abu Faris, Tashowwur Islam-Konsepsi dasar ajaran Islam,  Surabaya : Media Idaman Press, 1994, hal.15
[6] Abdul Karim as salawy, Titik Persimpangan Tasawuf dan Kebathinan, Pekalongan : CV. Bahagia, 1995, Hal.77
[7] Aqis Bil Qisthi, Mu’min & Muslim dalam Tahapan 7 M, Surabaya : Bintang Usaha, 2004,  hal.152
[8] Alqur’anul Karim , surat Al-Jatsiyah [45] : 3
[9] Ustadz Labib MZ, Hakekat Makrifat, Surabaya : Giri Utama, 2002Hal.7-8
[10] Imam Ruhullah al-Musawi al-Khumaini, Shalat Ahli Makrifat, Bandung : Pustaka Hidayah, terj., 2006, hal.126
[11] Ibid. hal.73
[12] Choirul Anam Al-Kadiri, Opcit., hal. 1-2                           
[13] Drs. Mahjuddin, M.Pd.I, op.cit.,  hal.241-242
[14] Ahmad Amin, Etika, Jakarta : Bulan Bintang, hal.66
[15] Drs. Abdul Karim as Salawy, Titik Persimpangan Tasawuf dan Kebathinan,Pekalongan,  CV.Bahagia, 1995,          hal.77
[16] Sayyid Abu Bakar Al-Makky, Kifayatul Atqiya, Bandung : Pajar Nusantara, tt, hal. 111
[17] Sayyid Abu Bakar Al-Makky, Ibid
[18] H. Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Semarang: CV. Ramadhani, 1970, hal. 121-122
[19] Ahmad Asy Syirbashy, Al-Ghozaly wat-Tashawwuful islamy, Darul : Hilal, tt, hal. 197
[20] Ibn Ibad, Syarah Hikam, (Semarang : Al-Munawar, tt, hal.29
[21] Al-Ghozali, Ikhya Ulumuddin Juz IV, opcit, hal.300
[22] Syeikh Muhammad Dahlan,  Sirodjut Thalibin, Juz II ( Mustopa : Al-babi Alhaby, tt.,hal.209
[23] Drs. Abdul Karim as Salawy, Tasawuf dan Kebathinan, opcit, hal.102-103
[24] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT.Ichtiar Baru  Van Hoeve, 2003, hal.76
[25] Al-Ghozali, Ikhya’ Ulumuddin Juz IV, ( Singapura : Sulaiman Mar’i, tt, hal. 413
[26] Ustadz Labib MZ, op.cit.,  hal. 64-66

[27] Depdiknas, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ikrar Mandiri Abadi, 2003. Hal.40
[28] Imam Al-Ghazali, Menjalin Persaudaraan, Bandung : Al-Bayan, terj., 1994, hal.43
[29] Drs. Mahjuddin, M.Pd.I, Akhlak Tasawuf II, Jakarta : Radar Jaya Offset, 2010, hal. 207
[30] Dahlan al-Kadiri, Siraj al-Talibin, Juz II, (Bayrut Dar-alFikr,tt) hal.100
[31] ) Drs. Mahjuddin, M.Pd.I, Akhlak Tasawuf II, Ibid., hal. 259

[32] Harun Nasution,  hal.75
[33] Teguh Pramono, M.Pd.I, 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa ( Inspirasi para muslim yang dicatat dengan tinta emas sejarah), Yogyakarta, Diva Press,  2012, hal. 246-248
[34] Ibid. hal .248

[35] Syamsuddin Ahmad Al-Aflaki, Hikayat-hikayat di Seputar Jalaluddin Rumi, Bandung : Al-Bayan , terj., 1992, hal. 35
[36] Syamsuddin Ahmad Al-Aflaki, ibid., hal. 13
[37] Sir. Muhammad Iqbal, Asraari Khudi, Uraian/terjemahan Bahrun Rangkuti & Arif Husain, Jakarta : Pustaka Islam, tt., hal.50

Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila