JALAN
MENUJU MA’RIFATULLAH
(oleh
: Rasiman.bakrasyid@gmail.com)
I.PENDAHULUAN
Agar keimanan dan
keyakinan kita dalam beragama semakin hidup dan semakin tinggi kualitasnya,
maka agama Islam telah mengajarkan kepada umatnya supaya mempergunakan akal
fikiran dengan optimal guna menganalisa, meneliti semua mahluk beserta alam
semesta yang telah diciptakan oleh Allah SWT, yang melalui proses tersebut akan
samapat kepada ma’rifat.
Menurut Choirul
Anam Al-Kadiri mendefinisikan bahwa yang
disebut “ Ma’rifat berarti mengenal, sehingga “ma’rifatullah
berarti mengenal Allah” [1]).
Menurut Idrus H.
Alkhaf, ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifatan,
yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Wujud ma’rifat itu adalah pengalaman
dan penghayatan kejiwaan. Dengan demikian, ma’rifat merupakan pengetahuan
mengenai Tuhan melalui hati sanubari[2]).
Menurut Harun
Nasution, ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari
dapat melihat Tuhan. Dalam istilah barat, ma’rifat berarti gnosis. Bagi
Al-Junaid (w.381 H.-abad ke IX M), ma’rifah merupakan hal. Dalam Risalah
al-Qusyairiah, ma’rifat disebut sebagai maqam.[3]).
Menurut M. Hasyim
R., ma’rifah adalah ma’rifatullah, yaitu mengenal Allah sebagai pencipta
tunggal yang berhak disembah, dipuji, diagungkan merupakan dasar pertama dalam
ajaran Islam[4]).
Menurut Abd. Qodir
Abu Faris, ma’rifah adalah mengenal Allah dengan cara merenung dan berfikir dengan
senantiasa mentadabbur-i ayat-ayat kauniyah-melakukan eksperimen dan
merenungi hakekat alam semesta[5]).
Menurut Abdul
Karim as salawy, ma’rifat adalah melihat Tuhan dengan hati mereka secara jelas
dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesaran-Nya tetapi tidak dengan kaifiyat,
maksudnya Tuhan digambarkan seperti benda atau manusia atau yang lain dengan
ketentuan bentuk dan rupa sebagai jawaban kaefa ( bagaimana Zat Tuhan
itu ) ? [6]).
Menurut Aqis Bil
Qisthi, ma’rifah adalah suatu pengetahuan yang telah didasarkan atas satu
keyakinan yang penuh terhadap segala sesuatu sehingga hilanglah suatu
keragu-raguan[7]).
Dari berbagai
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ma’rifat itu adalah sebuah keyakinan
bahwa mengetahui dan melihat Allah itu merupakan sebuah kenikmatan jiwa yang
diperoleh melalui pengalaman bathin yang
suci hasil dari proses pengetahuan kauniyah, mengenal Asma-asma,
sifat-sifat Allah dan Zat Allah, mengenal kekuasaan-Nya, mengenal
kehendak-Nya, mengenal keagungan-Nya,
mengenal kebijaksanaan-Nya, yang atas hidayah-Nya akan bermuara kepada
kesadaran seseorang akan status kehambaan dirinya, kesadaran seseorang akan
ketidakberdayaan dirinya yang berujung pada kesadaran seseorang akan kefanaan
dirinya.
Tujuannya adalah
agar manusia mampu mengetahui Dzat yang telah menciptakan manusia beserta alam
dan seluruh isinya. Selagi manusia itu mau dan mampu untuk berfikir, maka
diwajibkan dalam melaksanakan amal ibadah kepada Allah SWT serta mengembangkan
ilmu pengetahuan dengan menghidupkan akal fikiran guna mendapatkan
pengetahuan-ma’rifat yang berimbas pada terbentuknya keyakinan yang sangat kokoh.
Mengenal Allah yang dimaksud adalah Sang Kholiq Yang Maha Esa, yang hanya Dia berhak dipuji,
disembah, diagungkan dan disanjung adalah yang fundamental dalam ajaran islam.
Hal ini disebabkan karena sumber datangnya keimanan kepada Allah SWT perlu
dipelajari sedini mungkin.
Ma’rifatullah
harus ditopang dengan usaha suka memikirkan dan merenungi ciptaan Allah yang
tak terhingga dari yang sangat mikro sampai yang sangat global atau makro. Hal
ini mengandung hikmah yang dalam dan menjadi petunjuk, pedoman dan bukti yang
riil atas keberadaan wujud Allah SWT di dunia ini.
Pada masa kini,
kata ma’rifat lantang terdengar dari pokok-pokok pembicaraan pada bidang ilmu
tasawuf ; suatu ilmu yang mengajarkan budi pekerti manusia terhadap dirinya,
terhadap sesama manusia, terhadap sesama mahluk ciptaan Allah, dan yang sangat
esensial adalah budi pekerti terhadap Allah SWT sebagai sang Kholiq jagad raya
beserta isinya ini.
Allah SWT
menciptakan berbagai hal di alam semesta ini. Ada manusia, hewan tumbuhan,
benda-benda mati, air, udara, api, gunung-gunung, meteor, planet dan lain-lain.
Manusia diperintahkan untuk senantiasa merenungkan ayat-ayat Allah di atas
dengan harapan agar keimanannya semakin kokoh. Manusia yang merenung pasti
senantiasa berfikir bahwa segala yang ada di alam semesta adalah ciptaan Allah
SWT. Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu- barang siapa
mengetahui dirinya, maka akan mengetahui Robbnya. Dari sinilah proses ma’rifah
berawal, yang dengannya maka keimanan kita akan bertambah.
اِنَّ
فِى الَّسَموتِ وَاْلَارْ ضِ لايتِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ “Sesungguhnya
pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) untuk
orang-orang yang beriman” [8])
Rasa keingintahuan (ma’rifah) kepada Allah
merupakan sesuatu hal yang menjadi dambaan bagi seorang sufi. Oleh karenya,
ma’rifatullah adalah bagian yang menjadi sangat esensial.
Dari
hal tersebut diatas, maka penulis dapat kemukakan beberapa permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah Dasar ajaran ma’rifah itu dalam dunia sufi ?
2. Siapa sajakah tokoh-tokoh ma’rifah itu, dan bagaimana pokok-pokok
pemikirannya ?
3. Bagaimanakah pengaruhnya bagi dunia sufisme ?
II. PEMBAHASAN
A.Dasar
Ajaran Ma’rifah
1. Perjalanan Pencapaian Menuju Ma’rifah
Suatu persinggahan menuju ma’rifat menurut Ustadz Labib
MZ terbagi menjadi 4 (empat) yaitu : Pertama, Al-Yaqzhah, artinya kegalauan hati setelah
terjaga dari tidur yang sangat lelap, merupakan suatu bekal guna memulai suatu
perjalanan di dalam menuju kepada persinggahannya yang mengajak ke suatu tempat
di mana dia telah ditawan jika dia telah menjadi sadar.Kedua, Al-Azm,
artinya suatu tekad yang sangat bulat untuk melakukan perjalanan dan siap
menghadapi segala macam rintangan serta mencari penuntun yang dapat
menghantarkan dirinya pada tujuan.Ketiga, Al-Fithrah, artinya
pandangan hati yang tertuju kepada sesuatu yang telah dicari, meskipun Dia, itu
sama sekali belum memiliki gambaran suatu jalan
yang akan menghantarkannya ke sana.Keempat, Al-Bashirah, artinya
suatu cahaya yang ada di dalam hati guna untuk melihat janji dan juga ancaman,
surga dan neraka yakni sesuatu apa yang telah dijanjikan oleh Allah SWT bagi
para wali dan juga musuh Allah[9]).
Menurut Imam
Ruhullah al- Musawi al- Khumaini, perjalanan menuju ma’rifat itu adalah sebagai
berikut :Pertama, bersuci dengan air atau tanah. Air merupakan rahasia
kehidupan, merupakan pangkal ilmu untuk menyaksikan Tuhan Yang Maha Hidup lagi
Maha Berdiri, sedangkan tanah adalah merupakan asal kejadian manusia. Kedua
media tersebut mengajarkan kepada kita agar agar engkau merenung tentang dirimu
dan engkau tahu siapa yang menciptakanmu, dan mengapa Dia menciptakanmu[10]).
Kedua, shalat karena merupakan kendaraan (buraq) untuk naik dan
wahana untuk mencapai tujuan, yakni menuju Allah. Ketiga, cermin manifestasi
dan citra penyaksian keindahan Kekasih adalah tujuan. Cermin dan citra
dalam makna yang ghaib mengalir pada yang tampak, jejak-jejak batin muncul pada
lahir. Dalam bahasa para muhaqqiq filosof bahwa alam akal mengatur alam
materi, bagi para arbab al-qulub ahli makrifat merupakan sub-ordinat bagi
manifestasi nama-nama, sifat-sifat dan Dzat[11]).
Selain
itu, untuk mencapai ma’rifah, ada 8 (Delapan) langkah yang harus diperhatikan,
yaitu :
1.Meyakini
kebenaran Kodrat Allah. Kodrat memiliki arti “kuasa” atau kekuasaan, sehingga
kodratullah dapat diartikan sebagai kuasa atau kekuasaan Allah.Suatu kekuasaan
yang hanya satu-satunya, sesuatu kekuasaan yang tunggal, suatu kekuasaan yang
mutlak dan kekuasaan yang demikian hebat, tentunya hanya dimiliki oleh sesuatu
yang Maha Hebat pula, yakni suatu kekuasaan yang tidak tersaingi oleh apapun
dan siapa pun. Pemilik kekuasaan yang demikian hebat itulah yang patut
disembah, patut diikuti, patut diimani, dan itulah Tuhan kita, yaitu Allah [12]).
اَوَلَمْ
يَرَوْا اَنَّ اللهَ الَّذِى خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَلَمْ يَعْى بِخَلْقِهِنَّ
بِقَدِرٍ عَلَى اَنْ يُّحْيىِ اْلمَوْتَ بَلى اِنَّهُ عَلَى كُلّ شَئٍ
قَدِيْرٌ
Artinya : Dan apakah mereka tidak
memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan Dia tidak
payah menciptakannya, berkuasa pula menghidupkan yang telah mati, bahkan
sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu ( QS. Al-Ahqaf [46] :33)
2.Memahami Irodat Allah. Irodat memiliki arti
kehendak, sehingga Irodat Allah diartikan sebagai kehendak Allah. Apapun yang
terjadi bagi makhluk di dunia adalah berkat kehendak Allah SWT.
3. Ilmu,
merupakan langkah ketiga yang harus dilalui oleh seorang pencari Tuhan (salik).
Manusia dituntut untuk menyadari bahwa ilmu yang ada di dunia dan di akherat,
yang nyata atau yang ghaib merupakan ilmu Tuhan, manusia hanya diberi oleh
Allah, kecuali hanya sedikit.
4.Hayat
diartikan sebagai hidup, Maha Hidup. Keyakinan bahwa Allah ada dan hidup harus
menjadi keyakinan utama bagi kaum muslim. Hidupnya Allah tak dapat disangkal
lagi oleh apapun, siapapun, kapanpun. Apabila Allah tidak ada, maka tidaklah
ada alam semesta ini, tidaklah ada dunia ini, tidaklah ada makhluk-makhluk
penghuninya, termasuk ketiadaan saya, anda dan kaum muslim itu sendiri.
5.Sama’ artinya
mendengar, suatu sifat yang wajib bagi Allah. Dia Maha Mendengar atas segala
sesuatu, bukan saja terbatas pada mendengar yang memang terdengar jelas bagi
manusia, tetapi Dia mendengar pula yang halus, yang tidak terdengar oleh
manusia, dan yang ada di lubuk jantung manusia, yang menjangkau pembicaraan di masa
lampau, sekarang dan masa mendatang.
6.Bashar,
diartikan sebagai melihat. Sehingga bashar Allah diartikan sebagai penglihatan
Allah. Bashar sesungguhnya adalah milik Allah, baik yang ada di dunia, akherat
dan seisinya.
7.Kalam
diartikan sebagai Maha berfirman. Ilmu Kalam adalah ilmu yang membicarakan atau
mengandung keterangan tentang kalam Allah yang berupa firman-firman-Nya, yang
kemudian tersampaikan kepada umat manusia melalui para utusan-Nya.
8.Syariat, berasal dari kata syara’
yang diartikan memperkenalkan atau mengedepankan atau menetapkan, artinya Allah
SWT telah memperkenalkan, mengedepankan dan menetapkan aturan main di dunia ini
kepada makhluk-makhluk-Nya, termasuk di dalamnya adalah manusia melalui
firman-firman-Nya dalam Al-qur’anul Karim.
Menurut Mahjudin, ma’rifah dapat
diperoleh dengan 2 jalan yaitu :
1.Ada yang mengatakan, bahwa ma’rifah itu merupakan proses
kelanjutan dari kondisi kejiwaan sebelumnya, misalnya taslim, fana’, baqo.
2.Ada juga yang mengatakan bahwa ma’rifah yang didapatkan oleh para
peserta tasauf harus melalui fana’ dan baqo’ yang dapat diperoleh melalui Zikir
dan tafakkur [13]).
Ma’rifat billah merupakan
suatu kelezatan bagi kaum mutashowwifin, suatu hal yang senantiasa dicari dan
dikenangnya yang bersumber pada mahabbah waridho, cinta dan ridho, rindu dengan
melalui tafakkur dan amalan-amalan sholeh.
Tujuan yang akan dicapai orang-orang mutashowwifin di dalam
bertaqorub ilallah adalah karena ingin mencari ma’rifatullah dan
insan kamil.
Apa yang dilakukan oleh para sufi
dalam mencari ma’rifat itu adalah merupakan suatu kebiasaan untuk menundukan
jiwa dan menderma dengan perbuatan tiap-tiap hari dengan maksud menbiasakan
jiwa agar taat, dan memelihara kekuatan penolak sehingga diterima ajakan baik
dan ditolak ajakan yang buruk[14]).
Ma’rifat billah adalah melihat Tuhan dengan hati mereka secara jelas dan nyata
dengan segala kenikmatan dan kebesaran-Nya [15])
Selanjutnya,
Sayyid Abu Bakar Al-Makky menyatakan bahwa ma’rifat kepada Allah adalah
merupakan suatu cahaya yang telah dipancarkan Allah di hati hamba-Nya sehingga
dengan cahaya tersebut hamba Allah tadi bisa melihat rahasia-rahasia
kerajaan-kerajaan Allah di bumi dan di langit dan hamba tersebut bisa
mengamat-amati sifat kekuasaan dan kekuatan Tuhan [16])
Abu Bakar Siddiq r.a ketika ditanya
: Dengan apakah Engkau melihat Tuhanmu ? Beliau menjawab : “ Dengan sesuatu
yang telah Allah perlihatkan sendiri padaku, Dia tidak bisa ditemu dengan panca
indera, tidak bisa diukur dengan ukuran, dan yang dekat dengan kejauhannya dan
yang jauh dari kedekatan-Nya. Dia di atas segala sesuatu dan tidak boleh
dikatakan seperti sesuatu yang lain. Sungguh Maha Suci Dzat yang bersifat
demikian dan tidaklah bersifat yang demikian selain Allah “ [17]).
Istilah lain
dari ma’rifah adalah ru’yah, musyahadah dan liqo’. Ru’yah bisa diproleh
sesudah kasyaf, sesudah terbukanya dinding yang selalu menyelimuti antara ‘ Abd
‘ dengan ‘ Kholik ‘.
Imam Al-Ghozali pernah menyampaikan
pengalamannya untuk menguatkan pembicaraan tentang ru’yah, katanya : “ Begitu
nyata sebagai saya pernah kenal Tuhan itu di dunia dengan ma’rifah hakekat yang
sempurna dengan tidak berupa gambaran dan khayal, dengan tidak ada keterangan
bentuk dan rupa, engkau melihat Tuhan itu demikian kelak di akherat “ [18]).
Selanjutnya Ahmad Asy-Syirbashy
dalam “ Ta’tsirut-tashawwuf fil Ghozali, beliau Imam Al-Ghozali
mengatakan :
وَعِلْمُ
مَكَا شَفَةٍ وَهُوَ عِلْمُ ااْلبَا طِنِ-وَهُوَ نُوْرٌ يَظْهُرِ فىِ اْلقَلْبِ
الطَّاهِرِ وَيَهْدِى اِلَى مَعْرِفَةِ الْحَقِيْقَةِ بِاللهِ تعالى-وَهُوَالَّذِى
يَرْتَفِعُ مَعَهُ اْلغِطَاءُحَقَّ تَتَّصِحَ جَلِيَّةَ اْلحَقِ اتِضَاحًا يَجْرِى مَجْرَى اْلعِياَنِ اَّلذِى
لَايَشُكّ فِيْهِ
“Ilmu
Mukasyafah atau ilmu bathin adalah cahaya yang terang dalam hati yang bersih
dan mendatangkan ma’rifat billah yang hakiki. Dia adalah suatu cahaya yang bias
menghilangkan tutup (tabir) sehingga
menjadi jelaslah kenyataannya Tuhan jelas sekali sama dengan penglihatan
mata yang tidak diragu-ragukan lagi [19])”.
Ma’rifat billah tetap bisa dicapai oleh seseorang
bila ia sudah menjalankan syareat dan membersihkan jiwanya dari segala kotoran
maksiat. Ma’rifat billah adalah tujuan utama mutashowwifin karena merupakan
kelezatan yang tertinggi.
Orang-orang
sufi mengatakan bahwa : (1) kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari
manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup,dan ketika itu yang dilihatnya
hanya Tuhan.(2) Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang ‘arif melihat ke cermin
itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah, (3) yang dilihat orang ‘arif baik
sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah, (4) sekiranya ma’rifah
mengambil bentuk materi, semua yang melihat padanya akan mati karena tak tahan
melihat kecantikan serta keindahan, dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping
cahaya keindahan yang gilang gemilang ( Harun Nasution hal. 76)
اَلْحَقّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ
وَاِنَّمَا الْمَحْجُوْبٍ اَنْتَ عَنِ النَّظَرِ اِلَيْهِ اُخْرُجْ مِنْ اَوْصَا فِ
بَشَرِيّتِكَ عَنْكُلّ
وَصْفٍ مُنَا قِضٍ لِعُبُوْدِ يَّتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِالْحَقّ مُجِيْبًا وَمِنْ
حَضْرَتِهِ قَرِيْبًا
“ Tuhan yang
haq tidaklah ia tertutup, hanya saja engkau saja terkadang tak melihat-Nya. Keluarlah engkau dari sifat-sifat kemanusiaan, dari semua
sifat-sifat yang bertentangan dengan sifat penghambaanmu supaya engkau bias
menjawab panggilan Tuhan yang haq serta dekat di sisi-Nya” [20]).
Selanjutnya
bahwa kelezatan mengenal Tuhan dan melihat keindahan ke-Tuhan-an dan melihat
rahasia-rahasia hal ke-Tuhan-an adalah lebih lezat dari derajat kepemimpinan
yang merupakan top dari kelezatan-kelezatan yang ada pada makhluk [21]).
Ma’rifat
billah selain merupakan lezat dan besar bagi kaum mutashowwifin juga
menyebabkan adanya sifat malu dan mengagungkan kepada Tuhan sebagaimana tauhid
menyebabkan ridho dan menerahkan diri kepada Allah SWT [22]).
Dengan demikian
bahwa ma’rifat bisa dikasab dengan melalui beberapa tingkatan dan ma’rifat
billah dapat dicapai dengan adanya nur yang dianugerahkan Allah kedalam
jantung-hati yang bersih sesudah hamba itu terlepas dari belenggu nafsu dan
kotoran ma’ashai, jadi sekali-kali tidak dicapai dengan panca indera.
Ma’rifat billah
itu tercapai ketika bersatunya manusia dengan Tuhannya, yang disebut Union
mystique, yang dalam bahasa jawa disebut manunggaling kawulo gusti dan
dilambangkan sebagai “curigo manjing ing
warongko lan warongko manjing ing curigo ( keris masuk dalam rangka dan rangka
masuk dalam keris). Tentang Union mystique ini dalam ajaran tashowwuf disebut hulul atau
ittihat. Dalam keadaan ini sama seperti kita melihat besi disepuh api sehingga
berwarna merah, maka dikala itu kita tidak dapat membedakan manakah besi dan
manakah api, maka itulah api dan itulah besi. Praktik ajaran hulul ini
sebagaimana pernah dibawakan oleh Abu Mughis Husain bin Mansyur Al-hallaj [23]).
Dalam
Al-Qur’anul Karim Surat Al-Baqoroh ayat 186 disebutkan yang artinya : “ Dan
apabila hamba-KU bertanya kepadmu tentang AKU, maka (jawablah) bahwasannya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang mendo’a kepada-KU “.
Selanjutnya
di dalam Hadits Qudsi, bahwa Allah SWT
berfirman “ Barang siapa memusuhi seorang wali-KU, maka Aku
mengumumkan permusuhan-KU terhadapnya.
Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-KU kepada-KU yang lebih KUsukai dari
pada pegamalan segala yang KUfardhukan atasnya, kemudian hamba-KU yang
senantiasa mendekatkan diri kepada-KU, dengan melaksanakan amal-amal sunnah,
maka AKU senantisa mencintainya. Bila AKU telah cinta kepadanya, jadilah AKU
pendengarannya yang dengannya ia mendengar, AKU penglihatannya yang dengannya ia
melihat, AKU tangannya yang dengannya ia memukul, dan AKU kakinya yang
dengannya ia berjalan. Bila ia memohon kepada-KU, AKU perkenankan
permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia KUlindungi” (HR.Bukhory) [24]).
2. Derajat atau tingkatan Ma’rifah
Imam Al-Ghozali
dalam “Ihya’ Ulumuddin” juz 4 membentangkan buah fikirannya sampai
tingkatan manusia meninggalkan dunia dan menghadap kepada amal akherat ada 5
(lima) tingkatan, yaitu :
(1)Tadzakkur, yaitu menetapkan dua pengertian dalam hati, yakni :
(1) menetapkan akherat lebih utama dari dunia dengan jalan mendengarkan dari
orang lain bahwa akherat adalah lebih utama didahulukan dari pada duni, (2)
karena dia mengetahui bahwa yang lebih kekal, lebih utama didahulukan, dia
mengerti bahwa akherat adalah lebih kekal dari dunia.
(2)Tafakkur, mencari
ma’rifat-pengertian dari kedua hal dia atas.
(3)Tercapainya ma’rifat
yang selalu dicari dan terangnya hati dengan ma’rifat
tersebut.
(4)Perobahan keadaan
gerak-usiknya hati dari keadaan sebelumnya sebab
tercapainya nur
ma’rifat.
(5)Patuhnya anggauta kepada hati menurut
kadar perobahan yang diperbaharui oleh hati dimana hati digambarkan sebagaimana
orang memukulkan batu dia atas besi maka keluarlah dari padanya cahaya yang
menerangi tempat kanan kirinya sehingga mata bisa melihat padahal sebelumnya
tidak bisa melihat karena dalam keadaan gelap. Setelah itu anggauta badan mau
melakukan suatu perbuatan karena ada cahaya yang meneranginya [25]).
Menurut
Ustadz Labib MZ, bahwa derajat Ma’rifat itu terbagi menjadi 3 (tiga) tingkatan,
yaitu:
(1)
Ma’rifat
ciri dan sifat. Kesaksian-kesaksiannya muncul di dalam ciptaan, sebab telah
melihat cahaya dalam kesendirian dan kebaikan kehidupan akal guna menanamkan
fikiran. Syarat-syarat keyakinan ini tidak dapat terhimpun kecuali dengan
hal-hal yang melalui 3 (tiga) sendi, yakni : (1) penetapan sifat dengan dengan
nama tanpa adanya penyerupaan, (2)
penafikan penyerupaan, (3) putus asa di dalam mengetahui detailnya
(2)
Ma’rifat
Zat dengan menggugurkan perbedaan antara Dzat dan sifat, yang dapat dikuatkan
dengan ilmu keterpaduan, menjadi jernih di medan kefanaan, menjadi sempurna
dengan ilmu keabadian dan mendekati keterpaduan.
(3)
Ma’rifat
yang telah tenggelam di dalam kemurnian pengenalan, yang tidak dapat dicapai
dengan pembuktian, kesaksian dan wasilah yang mempunyai 3 (tiga) sendi
diantaranya : (1) mempersaksikan yang dekat, (2) naik untuk meningkatkan ilmu,
(3) memperhatikan kebersamaan. [26]).
3.Hakekat Ma’rifah
Beberapa faktor
yang perlu diperhatikan di dalam mencapai hakekat makrifat yaitu :
a)
Hakekat
Ilmu. Ilmu hakekat itu datangnya dalam keadaan jelas dan bersifat
mujmal, setelah dibubuhi penjelasan barulah ia menjadi jelas. Datangnya ilmu
hakekat biasanya berupa ilham dari Allah SWT masuk melalui alam fikiran
mengalir melewati perasaan manusia. Ilmu itu akan menjadi terang makna dan
tafsirnya apabila diterima oleh para hamba Allah yang tingkatannya ma’rifah.
Setelah dapat mengerti dan memahami dengan jelas kemudian direnungkan dan
dianalisa dengan rasa serta berfikir dengan bersifat agama.
b) Hakekat Keramat, yaitu merupakan suatu keadaan yang
sangat luar yang telah diberikan oleh
Allah SWT kepada orang yang alim, itulah yang disebut dengan karomah atau
keramat. Orang yang telah diberi keramat oleh Allah SWT, maka dia sudah sempurna
keikhlasannya, yang karenanya dia harus istiqomah. Karena istiqomah
itu adalah yang sangat diperlukan di dalam menjalankan amalan-amalan ibadah
kepada Allah SWT, sehingga tercapailah cita-cita guna untuk menghadap kehadirat
Allah SWT yang disebut Waliyullah.
c) Hakekat Asma Allah SWT. Pembuktian Asma Allah SWT yang
lima ( Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik) yang didasarkan pada dua
dasar, yaitu :
Dasar Pertama,
Asma Allah SWT telah menunjukkan akan sifat-sifat kesempurnaan Asma Allah SWT,
yang merupakan suatu sifat yang sangat bagus, karena itulah jika kita berdo’a
senantiasa menggunakan kata-kata : Ya Allah. Untuk itu, penafikan makna Asmaul
Husna adalah termasuk kufur yang sangat besar.
Dasar Kedua, Selain
menunjukkan kepada Dzat dan sifat yang sesuai dengan-Nya, maka menunjukkan juga
dua bukti lainnya yang mana sifatnya kandungan dan juga keharusan.
Oleh karenanya, Asma Allah SWT menunjukkan secara keseluruhan Asmaul Husna dan
sifat-sifat-Nya.
d) Hakekat Tawadhuk dan Takabur. Tawadhuk itu adalah merendahkan diri,
bersikap tenang, sederhana serta sungguh-sungguh di dalam menjauhi segala macam
perbuatan takabbur ganas atau pun membangkang. Orang mutawadhi ialah orang yang
tunduk, juga taat dalam melaksanakan yang benar serta menerima semua kebenaran
dari siapapun asalnya tanpa memandang warna kulit, jabatan, keturunan, yang
penting hal itu benar dan wajib untuk diikuti. Ulama membagi tawadhuk itu
menjadi 3 (tiga), yaitu : (1) Tawadhuk terhadap agama, yaitu sikap yang tidak
menentang dengan apa yang dinukil oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, (2) sikap yang
sangat rela dengan menjadikan sesama muslim sebagai saudara selama masih
menjadi hamba Allah yang taat, (3) merendahkan diri kepada yang haq yang
datangnya dari Allah SWT. Hakekat tawadhuk adalah jika seseorang telah
merasa bahwa dirinya adalah tawadhuk, maka orang tersebut dapat dikelompokkan
dengan orang yang sombong. Hakekat kesombongan adalah salah satu dari
penyakit yang paling ganas dan berbahaya, karena merasa bahwa dirinya tinggi,
disegani oleh orang lain.
e) Hakekat cinta kepada Allah SWT.
Cinta itu-hubb artinya suatu gejala emosi yang menggelora, yang timbul dari
dalam jiwa dan hati-jantung manusia yang diliputi rasa keinginan dan hasrat
yang memuncak terhadap Allah SWT. Tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah SWT
adalah : (1) dalam menghadapi kematian tidak ada keraguan, (2) senantiasa untuk
mengendalikan hawa nafsu dengan memusatkan segala macam perbuatan baik lahir
bathin untuk mentaati perintah Allah swt, (3) ingatannya tidak terlepas dari
Allah SWT, (4) rajin berkhalwat dan bersunyi selalu memohon do’a kepada Allah,
(5) senantiasa mengadakan koreksi dan instropeksi atas kelalaian dan kealfaan
dan mengadakan perbaikan, (6) merasa nikmat dalam beribadah, (7)terhadap kaum
muslimin selalu ramah dan bersikap terhadap orang yang ingkar, (8) dalam
mengerjakan ibadah bukan karena merasa takut, tapi karena sebagai seorang hamba
yang merupakan kewajiban, (9) beribadah secara sembunyi-sembunyi karena takut
dipuji orang, (10) hatinya senantiasa terpaut kepada Allah dan selalu ridha
untuk menerima cobaan yang ditimpakan kepadanya.
f) Perjalanan dari makrifat ke hakekat, kehendak yang sangat kuat
untuk mencapai makrifat tidak berarti hanya sampai pada apa yang telah
dikasyafkan oleh Allah SWT kepadanya, kecuali ia hanya ingin berhenti pada
suara hakekat yang memanggilnya... suara itu mengatakan : “ yang engkau cari
sekarang ada di hadapanmu, jangan engkau berhenti di situ “.
g) Pada hakekatnya Allahlah yang menjadi amal seseorang, jangan
engkau meminta ganti atau pahala atas amal yang telah diperbuat, cukuplah
sebagai balasan Allah SWT padamu atas sesuatu amal, jika Allah SWT menerima
amal tersebut.
h) Hakekat do’a. Jadikanlah do’a itu sebagai pelahiran dari sikap
seorang hamba yang selalu membutuhkan Allah SWT dan sebagai pematuhan di dalam
menuruti segala perintah-Nya.
4.Doktrin para tasawuf tentang ma’rifah
Ma’rifah
adalah akhir perjalanan seorang peserta tasauf-salaf, tasauf sunni Jam’u
(bersatu, bukan menyatu), tasauf falsafati-ittihad(menyatu), hulul(lebur
menjadi satu), wahdatul wujud (menjadi satu wujud) sedangkan tasauf kontenporer
dinamakan sebagai penemuan kebahagiaan bathin yang dirasakan oleh para tasauf.
Pada tingkatan
ini, Tuhan yang suci itu akan turun dari langit ke diri manusia yang suci.
Dalam tasauf, diri suci itu akan dapat diperoleh jika sudah berada pada
tingkatan tajalli.
Tajalli adalah
penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat
terbatas. Istilah tajalli ini berasal dari bahasa Arab tajallaa atau yatajallaa
yang artinya menyatakan diri. Konsep ini bertitik tolak dari pandangan bahwa
Allah SWT dalam kesendirian-NYA (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di
luar diri-NYA. Oleh karena itu, dijadikan-Nya alam semesta ini, termasuk di
dalamnya adanya manusia, sehingga dengan demikian alam ini merupakan cermin
bagi Allah SWT. Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka Ia menampakkan dirinya
dalam bentuk tajalli[27]).
Hal ini relevan
dengan hadits Qudsi yang disampaikan oleh Prof.Dr.Ris’an Rusli,
M.Ag pada pertemuan Mata Kuliah Studi Peradaban dan Pemikiran Islam di
Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang pada tanggal 27
Februari 2013 yang berbunyi :
كُنْتُ كَنْزاً مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتَ
اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِى عَرَفُوْنِى
Artinya : AKU sebatang kara, maka AKU ingin diketahui(diakui), maka
KUciptakan makhluk agar mengetahui-KU.
Ma’rifah
merupakan penampakan kebenaran Illahi setelah salik mendengarkan, melihat dan
merasakan dengan kekaguman dan kebingungan (dahshah dan hayrah).
Kebingungan yang dimaksudkan adalah ketika seseorang tasauf berkondisi tidak
sadarkan diri karena menghadapi sesuatu yang luar biasa, sehingga salik hanya
dapat berpasrah (taslim) yang menunggu limpahan rahmat dari Robbil ‘Izati.
Tiada kata yang keluar dari mulutnya, melainkan kepasrahan. Ma’rifah, sangat
sulit diterangkan.
Salik yang sudah sampai pada tingkatan
ma’rifat, maka ia telah mesra dalam bersahabat dengan Allah SWT. Oleh karena
itu, Dzu Al-Nun berkata : “ dalam bersahabat dengan Allah, hanya ada kerukunan
dan keselarasan. Dalam bersahabat dengan manusia, hanya ada nasehat yang tulus.
Dengan diri sendiri, hanya ada pertentangan dan perselisihan. Dengan syetan,
hanya ada permusuhan[28]).
Salik merupakan orang yang menjalankan suluk di dalam tarekat. Suluk
adalah kegiatan dzikir yang dilanjutkan dengan tafakkur-merenung dengan bentuk
riyadhah-melatih rohani untuk memperoleh tingkatan maqam dan kondisi hal pada
waktu tertentu dalam kegiatan tarekat[29]).
Hal
ini dapat dilihat ketika Dhu
al-Nun al-Misri ditanya oleh muridnya tentang keterangan ma’rifah yang sering
dialami, ia hanya mengatakan : “ saya pernah mendapatkan ma’rifah karena
Tuhan-ku, seandainya bukan karena Tuhan-ku, pasti saya tidak mendapatkannya [30]).
Ma’rifah
tinjauan doktrin dasar tasauf kontenporer terbagi menjadi lima (5) macam, yaitu
:
1.
Peserta
tasawuf harus mengerti dirinya sebagai hamba yang wajib menyembah Tuhan-nya (ya’rifu
nafsahu).
2.
Peserta
tasawuf harus mengerti Tuhan-nya sebagai wujud yang wajib disembah (ya’rifu
Robbahu).
3.
Peserta
tasawuf harus mengerti dunianya sebagai salah satu alam yang ditempati berjuang
untuk mengabdikan diri kepada Tuhan, beramal untuk diri, keluarga dan
masyarakatnya (ya’rifu al-Dunya).
4.
Peserta
tasawuf harus mengerti bahwa kehidupan dunia tidak kekal, karena masih ada lagi
kehidupan di akherat yang menuntut amalan dan pembalasan dari kehidupan dunia (ya’rifu
al-akherat).
5.
Kehidupan
manusia dilengkapi oleh keberadaan lingkungan hidupnya. Maka salah satu ajaran
dasar Tasauf Kontenporer adalah keikutsertaan melestarikan dan memperbaiki
lingkungan hidup (ya’rifu al-biah) [31]).
Sebagai manusia
kita harus tahu diri, artinya kita harus mengetahui dari apa kita diciptakan
dan untuk apa kita diciptakan. Sungguh Allah telah menciptakan manusia dari
sari pati tanah (Adam AS-sebagai manusia pertama), pasca dinikahkannya Adam AS
dengan Siti Hawa, maka Allah menjadikannya khalifah di muka bumi yang dengannya
dalam proses kejadian manusia selanjutnya ada campur tangan manusia di
dalamnya. Allah dalam menciptakan manusia tidak lagi langsung dari tanah,
melainkan hakekat yang ada dalam tanah itu sendiri. Hal ini dapat diketahui
dari berbagai makanan yang bersumber dari bumi – sumber tanah yang dikonsumsi
oleh Adam AS-Siti hawa sampai dengan seluruh manusia di bumi (anak cucu Adam AS
dan Siti Hawa) menghasilkan sesuatu air kehidupan yang sangat berharga tapi
juga menjijikkan yang tersimpan kokoh dan dikeluarkan dari antara tulang-tulang
sulbi. Melalui hubungan yang sah-pernikahan, maka air kehidupan itu-mudghoh
dapat dikeluarkan secara legal sebagai awal kejadian manusia.
Di dalam
siklus keluarnya air kehidupan itu, ada suatu rasa, rasa dari sang Kholiq, Dzat yang Maha Kasih dan Maha
Penyayang yang dipancarkan kepada manusia dengan tidak berkurang sedikitpun.
Dalam periode yang telah ditentukan, maka air nuthfah itu menjadi mudghoh
yang terbungkus oleh daging dan ada tulang belulang dengan ditiupkannya ruh
oleh Allah SWT sehingga menjadi sosok manusia baru. Lalu, apa hubungannya
dengan ma’rifah ini, bahwa kita harus mengetahui dan sadar bahwa kita tercipta
dari air yang tidak berguna, jika tidak diiringi kemanfaatannya yaitu untuk
menyembah Allah SWT, maka kita menjadi sia-sia.
‘Arofa
Robbahu-mengetahui Tuhan-nya, adalah suatu konsekuensi yang harus ada bahwa : “
Tidaklah AKU ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-KU “ ( Al-qur’an
al-Karim). Ini cukup jelas bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah supaya
beribadah kepada Allah SWT dan memancarkan sifat-sifat Allah di dunia untuk
kedamaian dan ketenteraman umat di alam semesta.
Ya’rifu
al-Dunya-mengetahui dunia, yang sejalan dengan apa yang telah disabdakan oleh
Rasul SAW bahwa : “ Dunia adalah kampung akherat-Addun ya mazroatul akherat”.
Dunia adalah tempat mengabdikan diri dan berjuang untuk mencari rahmat dan
ridho Allah SWT karena sabda Rasul SAW bahwa :“ Beramalah untuk urusan duniamu,
seakan-akan engkau akan hidup selamanya “.Hadits tersebut sebagai sumber motivasi
agar kita giat dalam berusaha dan beribadah. Ada hal penting yang harus
disadari bahwa hidup di dunia adalah waktu yang sangat singkat yaitu periode
seperti menunggu antara azan dan iqomah-telah disampaikan oleh Dr. Edyson
Saifullah dalam perkuliahan Studi Al-qur’an di pascasarjana IAIN Raden fatah
Palembang.
Ya’rifu
al-Akherat-mengetahui akherat, menyadari bahwa ada kehidupan setelah kehidupan
di dunia, yaitu alam akherat. Firman Allah SWT : “ Carilah apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu tentang kebahagiaan hidup kampung akherat
“. Akherat adalah tempat yang Kekal dan milik Allah Zat Yang Maha Kekal.
Kebahagiaan hidup di akherat perlu diraih dengan berbagai upaya agar Allah SWT
ridho, sehingga akan memberikan kasih sayangnya kepada manusia.
Ya’rifu al-Bi’ah-mengetahui bahwa
kita perlu berpartisipasi di dalam melestarikan dan menjaga lingkungan hidup,
caranya dengan tidak membuat kerusakan di muka bumi ini, karena Allah tidak
suka dengan orang-orang yang berbuat kerusakan.
5.Berbagai polemik tentang Ma’rifah
a. Dilihat dari segi proses turunnya
Ma’rifah itu mengetahui,
mengenal Tuhan Yang Maha Suci. Dia hanya dapat dijangkau oleh orang-orang yang
suci pula. Ketika seseorang telah sampai pada maqam ma’rifat hasil dari
pensucian dirinya, maka yang terjadi adalah terbukanya tabir-hijab zat yang
Maha Ghaib. Alur perjalanan turunnya ma’rifat menurut Prof. Dr. Ris’an Rusli,
M.Ag itu adalah bahwa Tuhan Yang Maha Suci dengan kehendak-Nya itu turun secara
hirarki menemui hamba-Nya yang suci. Pembuktiannya adalah ketika hamba yang
suci itu telah mengalami syattahat, yaitu munculnya
pernyataan-pernyataan ketika dalam keadaan fana’, di sanalah Tuhan telah
hadir di hati sanubari manusia.
b. Dilihat dari
tata urutan atau tahapan-tahapan berdasarkan temporernya
Menurut Imam Al-Ghazali dalam
Ihya’ ‘ulumuddin, bahwa ma’rifah itu datang sebelum mahabbah, tetapi
menurut Al-kalaabadi dalam Al-Ta’arruf menyebut bahwa ma,rifah datang
sesudah mahabbah. Ada pula yang berpendapat bahwa ma’rifah dan mahabbah adalah
kembar dua[32]),
saya lebih suka bilang bahwa ma’rifah dan mahabbah itu bak pinang dibelah
dua karena keduanya lazim disebut secara bersamaan. Ma’rifah
berlangsung ketika Tuhan datang menemui hamba-Nya, mahabbah terjadi
ketika kecintaan hamba yang suci sampai untuk menemui Tuhan.
Menurut Aqis Bil Qisthi
dalam Mu’min dan Muslim dalam 7 M, bahwa ma’rifah datang sesudah
Muraqabah. Yang dimaksud 7 M adalah
mahabbah-muatabah-muraqabah-ma’rifat-musyahadah-mujahadah-mukasyafah.
B.Tokoh-tokoh Ma’rifah dan pemikirannya
Para
pemikir atau ilmuwan Islam yang
berkonsentrasi dalam membicarakan makrifah itu, antara lain :
1.
Imam Al-Ghazali.
Nama asli beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Ia
dilahirkan pada tahun450 H atau bertepatan dengan tahun 1059 M di Thus, sebuah
nama daerah yang ada di Khurasan. Ia terkenal dengan nama Al-Ghazali, karena
ayahnya adalah seorang pemintal tenun wol, atau juga karena ia berasal dari
Desa Ghazalah. Beliau wafat di tanah
kelahirannya, yaitu kota Thus pada hari senin 14 Jumadil akhi 505 H [33]).
Mulai tahun 488 H / 1095 M beliau pindah ke Damaskus. Di masjid Umawi ia
beri’tikaf dan berdzikir di puncak menara sebelah barat sepanjang hari dengan
hanya sedikit makan dan minum. Beliau lalu memasuki suluk sufi dengan riyadhah
dan mujahadah secara terus menerus. Bagi Al-Ghazali, ma’rifah ialah
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan
tentang segala yang ada
Al-Ghazali menghimpun akidah,
syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat lagi berbobot. Kualitasnya
survive karena teori-teorinya hadir dari kajian dan self-experience yang
merupakan buah dari suluk, riyadhah dan nujahadah secara intensif lagi
berkesinambungan sampai seumur hayatnya.
Al-Ghazali membagi perjalanan menuju makrifat
ke dalam dua bagian penting, yaitu : (1) menyangkut ilmu muamalah, (2)
menyangkut ilmu mukasyafah seperti yang termaktub dalam ikhya’ ulumuddin.
Menurut Al-Ghazali, perjalanan menuju makrifat
pada hakikatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati secara terus
menerus sehingga mampu mencapai musyahadah, yaitu tahapan tertinggi kaum
sufi setelah menjalankan suluk. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya
pelatihan jiwa serta penempaan moral atau akhlak yang terpuji, baik di sisi
manusia maupun Tuhan [34]).
2.Suhrawardi
Al-maqtul. Nama
lengkapnya Syaikh Syihab al-Din Abu al-Futuh Yahya ibnu Habasy ibn Amirak
al_sahrawardi yang lahir di sahraward, negeri Iran Barat tidak jauh dari Zanjan
pada tahun 549 H / 1153 M. Beliau wafat pada tahun 587 H / 1191 yang terbunuh
atas perintah Shalahuddin al_ayyubi. Bahwa ada kerinduan kuat jiwa langit untuk
menerima penerangan dari sumber segala cahaya. Pendapatnya bahwa alam terbagi
atas : (1) alam akal-akal, (2) alam jiwa-jiwa, (3) alam bentuk, (4) alam
Mistsal yaitu suatu kelepasan manusia menuju kesempurnaan.
3.Zun al-Nun al-Misri.
Beliau lahir di suatu negeri yang terletak diantara Sudan dan Mesir dengan
tahun kelahiran tak diketahui dengan jelas, dan wafat pada tahun 860 M.
Ma’rifat menurut Zun al-Nun al-Misri adalah “
sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari “. Selanjutnya ada tiga
tanda-tanda orang yang telah mendapatkan makrifah, yaitu : (1) cahaya
makrifatnya tidak memadamkan kerendahan hatinya, (2) secara bathiniyah ia tidak
mengakui ilmu yang menyangkal hukum lahiriyah, (3) banyaknya karunia yang
diterima tidak membuatnya melanggar larangan Allah SWT.
Menurut Prof.Dr. Harun Nasution, bahwa Zunnun al-Misri
membagi pengetahuan tentang Tuhan ada 3 (tiga) yaitu : (1) Pengetahuan awam,
adalah Tuhan satu dengan perantaraan syahadat, (2) Pengetahuan Ulama, adalah
Tuhan satu menurut logika akal, (3) Pengetahuan sufi adalah Tuhan Satu dengan
perantaraan hati sanubari.
Hal ini mengandung konsekuensi bahwa pengetahuan tipe
pertama dan kedua belumlah merupakan pengetahuan tentang Tuhan yang hakiki,
tapi pengetahuan keduanya baru sebatas ‘ilmu, belum ma’rifah. Sedangkan
pengetahuan jenis yang ketigalah yang merupakan science hakiki tentang Tuhan
yang sudah sampai pada apa yang dinamakan dengan Ma’rifah.
4.Abu Yazid al-Bustami.
Nama lengkapnya Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami yang dilahirkan di
Bustam- bagian Timur Laut Persia pada tahun 188 H / 813 M. Beliau wafat pada
tahun 261 H / 875 M . Abu Yazid al-Bustami, mengusung faham Ittihad (
persatuan mistik, mystical union) yang berarti bahwa seseorang telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan karena kesadarannya telah lebur bersatu dengan
eksistensi Tuhan. Sebelum terjadinya ittihad, maka terlebih dahulu harus
melalui fana’ dan baqo’.
5. Jalaluddin
Rumi. Nama lengkapnya adalah Mawlana Jalaluddin Muhammad dilahirkan di
Balkh pada 6 Rabiul Awwal 604 H bertepatan dengan tanggal 29 September 1207 M.
Ayahnya bernama Bahauddin walad[35]).
Rumi mengatakan dalam bahasa Persia “ Qalib az ma hast, na ma az u
“ artinya adalah bahwa bentuk itu dari kita, bukan kita dari bentuk,
maksudnya bahwa materi datang dari jiwa, jiwa bukan berasal dari materi[36]).
C.Pengaruhnya bagi dunia sufisme
Mentauladani perjalanan
para sufi guna mengetahui rahasia makrifat Allah SWT yang mendorong manusia
untuk senantiasa menjaga kesucian hati, bertaubat, berzikir, bertashbih,
tawadhu’ , instropeksi diri dan memperbanyak berbuat kebaikan agar
ilmu bermanfaat. Guna untuk mencapai derajat insan kamil.
Insan Kamil adalah
seseorang yang sadar tentang keakuannya yang transendental (faaiq) dan abadi,
yang tak diciptakan dan bersifat abadi, mungkin setiap orang merealisasikannya,
itulah tujuan dan akhir kehidupan[37]).
III.KESIMPULAN
Ma’rifat itu merupakan
sebuah keyakinan bahwa mengetahui dan melihat Allah itu merupakan sebuah
kenikmatan jiwa yang diperoleh melalui pengalaman bathin suci hasil berbagai proses pengetahuan
kauniyah, mengenal Asma-asma, sifat-sifat Allah dan Zat Allah, mengenal
kekuasaan-Nya, mengenal kehendak-Nya,
mengenal keagungan-Nya, mengenal kebijaksanaan-Nya, yang atas
hidayah-Nya akan bermuara kepada kesadaran seseorang akan status kehambaan
dirinya, kesadaran seseorang akan ketidakberdayaan dirinya yang berujung pada
kesadaran seseorang akan kefanaan dirinya.
Prosesnya adalah
melalui kegiatan pensucian diri, agar Yang Maha Suci mau menemui atau ditemui
oleh hamba-Nya. Jalannya adalah mengenal hakekat manusia, mengenal eksistensi
Allah SWT, Pengaruhnya dalam kehidupan manusia adalah mentauladani orang-orang
yang suci untuk senantisa berakhlakul karimah, baik kepada Allah atau kepada
sesama ciptaan-Nya.Tujuannya adalah melihat Allah itu nikmat yang paling tinggi
dan tidak ada bandingannya yang dengannya seorang hamba mendapat ketenangan
jiwa sehingga dapat mencapai pada derajad insan kamil.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’anul Karim,
2009, Bandung : Sinar Baru Algesindo
Abu Bakar Aceh, 1970, Sejarah Filsafat Islam, Semarang :
CV.Ramadhan
Abu Bakar Al-Makky, tt, Kifayatul Atqiya, tt, Bandung Pajar
Nusantara
Abu Faris, Abd. Qodir, 1994, Tashowwur Islam Konsepsi Dasar
Pemahaman
Islam,
Surabaya : Media Idaman Press
Abdul Karim Assalawy, 1995, Titik
Persimpangan Tasawuf dan
Kebathinan,
Pekalongan : CV Bahagia
Ahmad Al-Aflaki, Syamsudin, 1992, Hikayat-hikayat
di Seputar Jalaluddin
Rumi,
Bandung : Al-Bayan , terj.,
Al-Musawi
al-Khumaini, Imam Ruhullah, Shalat
Ahli Makrifat, Bandung :
Pustaka Hidayah, terj., 2006, hal.126
Amin, Ahmad, 1993, Etika,
Jakarta : Bulan Bintang
Al-Ghazali, 1994, Menjalin
Persaudaran, Bandung : Bayan
Al-Ghazali, tt., Ihya’ Ulumuddin, Singapora : Sulaiman Mar’i
Al-Kadiri, Choirul Anam, 2010, Delapan Langkah Mencapai Makrifat,
Jakarta:Amzah
Al-Khaf, H., Idrus, tt,. Jalan Menuju
Ma’rifat, Surabaya : Amelia
Ahmad Asyirbashy, tt., Al-Ghazaly wat-Tashawuful Islamy,
Darul:Hilal
Al-Kadiri, Dahlan, tt., Siraj Al-Tholibin Juz 2, Bayrut: Albabi alhaby
Bil Qisthi, Aqis, 2004, Mu’min & Muslim dalam Tahapan 7 M,
Surabaya :
Bintang Usaha
Depdiknas,
2003, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ikrar Mandiri Abadi
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
2003, Jakarta : PT. Ichtiar Baru
Ibn Ibad, tt., Syarah Hikam, Semarang : Al-Munawar
Hasyim, M., R., 1993, Jalan Menuju Ma’rifah untuk lebih mengenal
dan
mendekatkan diri hati
nurani kepada-Nya, Jakarta : lincah Store,
Iqbal,Muhammad, Sir, tt., Asraari
Khudi, Uraian/terjemahan Bahrun
Rangkuti & Arif Husain, Jakarta : Pustaka Islam
Karim, as Salawy,1995, Titik Persimpangan Tasawuf dan
Kebathinan,
Pekalongan
: CV. Bahagia
Labib, Ustadz, MZ., 2002, Hakekat
Makrifat, Surabaya, Giri Utama
Mahsudin, 2010, Akhlak Tasawuf, Jakarta : Radar Jaya Offset
Nasution, Harun 1990, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang
Syeih Muhammad Dahlan, tt., Siradjut Tholibin, Mustopa:
Al-baby
Teguh Pramono, 2012, 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa, Yogyakarta
: Diva Press
[1] Choirul Anam Al-Kadiri, Delapan Langkah Mencapai
Ma’rifatullah, Jakarta, Amzah, 2010, hal.vi
[2] Idrus H.
Al-Khaf, Jalan Menuju Ma’rifat, Surabaya : Amelia, hal.10
[3] Harun
Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1990,
hal.75
[4] M.
Hasyim R., Jalan Menuju Ma’rifah untuk lebih mengenal dan mendekatkan hati
nurani kepada-Nya, Jakarta : lincah store, 1993, hal. x
[5] Abd.
Qodir Abu Faris, Tashowwur Islam-Konsepsi dasar ajaran Islam, Surabaya : Media Idaman Press, 1994, hal.15
[6] Abdul
Karim as salawy, Titik Persimpangan Tasawuf dan Kebathinan, Pekalongan :
CV. Bahagia, 1995, Hal.77
[7] Aqis Bil
Qisthi, Mu’min & Muslim dalam Tahapan 7 M, Surabaya : Bintang Usaha,
2004, hal.152
[8] Alqur’anul Karim , surat Al-Jatsiyah [45] : 3
[9] Ustadz Labib
MZ, Hakekat Makrifat, Surabaya : Giri Utama, 2002Hal.7-8
[10] Imam
Ruhullah al-Musawi al-Khumaini, Shalat Ahli Makrifat, Bandung : Pustaka
Hidayah, terj., 2006, hal.126
[11] Ibid.
hal.73
[14] Ahmad Amin, Etika, Jakarta : Bulan
Bintang, hal.66
[15] Drs. Abdul Karim as Salawy, Titik
Persimpangan Tasawuf dan Kebathinan,Pekalongan, CV.Bahagia, 1995, hal.77
[16] Sayyid Abu
Bakar Al-Makky, Kifayatul Atqiya, Bandung : Pajar Nusantara, tt, hal. 111
[17] Sayyid Abu
Bakar Al-Makky, Ibid
[18] H. Abu Bakar
Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Semarang: CV. Ramadhani, 1970, hal.
121-122
[19] Ahmad Asy Syirbashy, Al-Ghozaly wat-Tashawwuful islamy,
Darul : Hilal, tt, hal. 197
[20] Ibn Ibad, Syarah Hikam, (Semarang :
Al-Munawar, tt, hal.29
[21] Al-Ghozali, Ikhya Ulumuddin Juz IV,
opcit, hal.300
[24] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, Jakarta : PT.Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2003, hal.76
[25] Al-Ghozali,
Ikhya’ Ulumuddin Juz IV, ( Singapura : Sulaiman Mar’i, tt, hal. 413
[27]
Depdiknas, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ikrar Mandiri Abadi, 2003. Hal.40
[28] Imam Al-Ghazali, Menjalin
Persaudaraan, Bandung : Al-Bayan, terj., 1994, hal.43
[29] Drs. Mahjuddin, M.Pd.I, Akhlak
Tasawuf II, Jakarta : Radar Jaya Offset, 2010, hal. 207
[30] Dahlan
al-Kadiri, Siraj al-Talibin, Juz II, (Bayrut Dar-alFikr,tt) hal.100
[32] Harun
Nasution, hal.75
[33] Teguh
Pramono, M.Pd.I, 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa ( Inspirasi para
muslim yang dicatat dengan tinta emas sejarah), Yogyakarta, Diva Press, 2012, hal. 246-248
[35]
Syamsuddin Ahmad Al-Aflaki, Hikayat-hikayat di Seputar Jalaluddin Rumi, Bandung
: Al-Bayan , terj., 1992, hal. 35
[36]
Syamsuddin Ahmad Al-Aflaki, ibid., hal. 13
[37] Sir.
Muhammad Iqbal, Asraari Khudi, Uraian/terjemahan Bahrun Rangkuti & Arif
Husain, Jakarta : Pustaka Islam, tt., hal.50