PELAKSANAAN IBADAH HAJI INDONESIA
PADA MASA KOLONIAL BELANDA
( Oleh : Rasiman.bakrasyid@gmail.com)
Menunaikan ibadah
haji bagi umat Islam hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi yang telah mampu
untuk melaksanakannya di baitullah.Menurut pendapat saya tentang pelaksanaan
ibadah haji Indonesia pada masa
Pemerintah Kolonial Belanda adalah karena didasari atas keimanan umat islam di
Indonesia yang cukup besar meskipun bangsa Indonesia waktu itu dalam kondisi terjajah, dalam arti masih
berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda .
Menurut Amin Abdullah 1996 : 202 bahwa sejarah
kolonialisme-imperialisme itu dimulai pada abad ke-16 hingga pertengahan abad
ke-20 yang telah merubah peta umat islam secara drastis.
Penjajahan
kolonial Belanda mengakibatkan kerugian bagi rakyat dan bangsa Indonesia, bukan
hanya terhadap perjalanan ibadah haji, tetapi menurut Amin Abdullah : 204 juga seluruh harta benda dan kekayaan
diboyong untuk pembangunan negeri Belanda.
Harta benda yang dimaksud itu, menurut penulis adalah seluruh aset
bangsa Indonesia baik yang berupa benda hidup atau mati seperti arsip-arsip penting bangsa bahkan para wanita
dan pria yang dianggap memberikan keuntungan
dibawa ke Belanda untuk membangun suatu tempat peradaban baru yang
dikenal dengan Amsterdam.
Dalam kondisi terjajah, kewajiban untuk menunaikan ibadah haji
sekali seumur hidup bagi orang islam masih tetap fardhu ‘ain, hal ini sebagai wujud
penyempurna rukun islam yang kelima dimana pelaksanaannya harus pergi ke
Baitullah sebagai tempat sakral dan mulia yang berkedudukan di Mekah. Kewajiban
ini diperuntukkan bagi orang islam yang sudah mampu, di dalam Al-Qur’an disebut dengan istatho’a,
yang mengandung konsekuensi bahwa ada biaya yang cukup, baik untuk biaya
pemberangkatan haji atau biaya untuk keluarga yang ditinggalkan selama
melaksanakan ibadah haji tersebut, ada kendaraan yang mengantarkan dan aman
dalam perjalanan, serta sehat jasmani dan rohani.
Pada masa kolonial
Belanda, pelaksanaan ibadah haji Indonesia
harus mengikuti peraturan yang diterbitkan oleh Kolonial, yang menurut Karel
A.Steenbrink, 1988 : 52 bahwa di Negeri Belanda perkara mengenai Indonesia
(dalam jaman kolonial) diatur (untuk sebagian besar) oleh departemen koloni,
pada tahun 1870 dibuka Konsulat di Jeddah untuk mengatur haji (dan mengadakan
kontrol) terhadap para calon jema’ah haji atau orang yang bermukim di Mekah.
Menurut Husni
Rahim, 1998 : 184 bahwa Pemerintah
kolonial Belanda memberikan data tentang jema’ah haji Nusantara dari Hindia
Belanda ( Indonesia) yang tercatat mulai tahun 1853, yaitu berjumlah 1.113
orang. Berikutnya tahun 1854 sampai tahun 1862
jumlahnya masing-masing adalah : 1.448, 1.668, 3.057, 2.381, 3.862,
2.052, 1.417, 1.989, dan 2.415. Selama 10 tahun itu terjadi empat kali
penurunan jumlah, yakni tahun 1857 dan tahun 1859, 1860 dan 1861 .
Berdasarkan data diatas, dapat penulis simpulkan bahwa jumlah jema’ah haji Indonesia pada waktu
kolonial Belanda pada tahun 1853-1862 mengalami
penurunan jumlah sebanyak 3 kali yaitu pada tahun 1857, 1859 dan 1860 dimana
tahun 1861 ada kenaikan dari tahun 1860. Jika kita lihat tahun 1853 mempunyai
angka yang terendah dari jumlah yang lain, maka tidak dapat dikatakan
mengalami penurunan karena tahun 1853 tersebut adalah tahun perdana menunaikan
haji selama kurun waktu selama 10 tahun
dari 1853-1862. Hal ini disebabkan karena adanya peraturan Pemerintah
Belanda yang memperketat terhadap jema’ah haji Indonesia yang akan pergi ke
Mekah. Peraturan Pemerintah Kolonial Belanda itu disebut dengan Beslit.
Menurut F.G.P Jaquet, 1980 : 288 dan juga lihat Deliar Noer, 1985 :
31-32 bahwa Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Beslit dengan Nomor 9
tertanggal 18 Oktober 1825 yang mewajibkan setiap jema’ah haji yang akan
berangkat ke Mekah harus membayar pas jalan (reispas) sebanyak 110 golden dan
bagi yang tidak membeli pas jalan tersebut dikenakan denda sebesar 1000 golden
serta menyertakan bukti bahwa mereka kuat dalam keuangan sehingga mampu
menjamin keperluan keluarga yang mereka tinggalkan. Di samping itu, lihat juga
pendapat J.Eisenberger, 1928 : 188 bahwa Kepala Daerah harus mengawasi tindakan
para haji serta melaporkan orang-orang yang berangkat dan kembali dari Mekah.
Disamping itu juga, menurut Ibnu Qoyim Ismail, 1997 : 53 yang
mengutip pendapat Karel A. Steenbrink bahwa sejak tahun 1825 sampai dengan
1859, berbagai ordonansi yang menyangkut perjalanan haji dan penyelenggaraannya
diatur sedemikian rupa oleh penguasa Belanda dengan tujuan membatasi dan
mempersulit perjalanan haji ke Mekah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Husni Rahim: 180, bahwa tujuan utama diterbitkannya beslit
adalah untuk mengurangi semangat naik haji dan membatasi jama’ah haji yang akan
berangkat ke Mekah.
Langkah ini dilakukan oleh kolonial Belanda bertujuan untuk
meningkatkan sikap kehati-hatian dari Duymaer Van Twist terhadap masalah haji
khususnya di daerah yang dipandang rawan
termasuk Palembang ( Syair perang Palembang dalam MO Woelders, Het
Sultannnt Palembang, 1(975 : 1811-1825).
Menurut Aqib Suminto, 1985, 12 bahwa semasa wilayah Nusantara
berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda, percaturan politik dunia islam
digeliatkan oleh gerakan Pan Islamisme yang dipelopori oleh Jamaludin Al-Afghani dimana gerakan ini
dinilai oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai gerakan politik yang membawa
rakyat kepada fanatisme.
Fanatisme beragama akan membawa pengaruh besar bagi perjuangan
Bangsa Indonesia yang notabene menganut agama islam, bagi masyarakat yang telah
dapat pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dianggap telah memiliki
pengalaman spiritul yang luar biasa yang akan berpengaruh pada suatu politik
haji.
Politik haji adalah sesuatu
yang ditakuti oleh Belanda, karena itu muncuk kekhawariran Belanda yang
didasari pada : (1) kedudukan haji, di Indonesian dihormati, (2) pemberontakan
yang telah terjadi dipelopori oleh para haji sepereti kasus-kasus haji pada “
perang Jihad) (2) Haji sifatnya Kosmopiltan dimana para jema’ah Haji dapat
bertemu dengan para jema’ah lain di dunia yang dimungkinkan meluas meluaskanya
pengaruhPan islamimisme. (Husni Rahim , 180).
Pan Islamisme, bagi Belanda adalah suatu gerakan umat islam yang
sangat ditakuti karena di dalam gerakan
itu ada ruh ajaran kebangkitan manusia yang di dalam Al-qur’an surat Ar-Ro’du
[13] : 11 disebutkan bahwa “ Allah tidak akan merubah nasib suatu
kaum sehingga kaum itu sendiri yang merubahnya “ .
Menurut Harun Nasution, 1975 : 53 bahwa Jamaluddin Al-Afghani
mendirikan ‘ Al-Urwah Al-Wusqo’ yang beranggotakan orang islam dari India,
Mesir, Siria, Afrika Utara dan lain-lain tujuannya ialah memperkuat rasa persaudaraan
Islam, membela Islam dan membawa umat Islam kepada kemajuan.
Menurut Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles, 1830 : 3 bahwa
para haji setelah pulang dari Mekah dianggap oleh masyarakat sebagai orang suci
yang mempunyai kekuatan ghaib (supranatural power) yang dikhawatirkan akan
mempengaruhi masyarakat dan menghimpun kekuatan untuk menentang orang barat
Menurut Dick Douwes dan Nico Kaptein, yang diterjemahkan oleh
Soedarso Soekarno, 1997 : 6 yang
mengutip pendapat J.C Van Leur, On the eighteenth century
as a category in Indonesia history dalam Indonesian Trade and Society,
1955 : 274 berpendapat bahwa Daendels dan juga Raffles menganggap perjalanan
ibadah haji ke Mekah sebagai bahaya politik : berdasarkan pengetahuan mereka
yang terbatas tentang islam, mereka menganggap orang-orang yang telah
menjalankan ibadah haji sebagai pendeta, sehingga pada tahun 1810 Daendels
mengeluarkan keputusan yang memerintahkan “ pendeta islam itu “
agar memperoleh paspor untuk bepergian dari satu tempat di Jawa ke tempat lain
guna menghindari gangguan.
Dengan dikeluarkannya Beslit haji nomor 9 tertanggal 18 Oktober
1825 di atas, maka misi kolonial Belanda menurut saya upaya mempersulit para jama’ah haji Indonesia
itu sangat jelas. Hal ini dapat dibuktikan bahwa jumlah jama’ah haji Indonesia
pada tahun 1857 terjadi penurunan sebanyak 676 orang jema’ah haji dari tahun
sebelumnya atau sebanyak 22 %, tahun 1859 terjadi penurunan sebanyak 1810 orang
jemaah haji atau sebanyak 46 %, serta pada tahun 1860 telah terjadi penurunan
jumlah jema’ah haji sebanyak 635 orang jema’ah haji atau sebanyak 30 %. Jika
pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu tidak mempersulit terhadap kegiatan
haji tersebut, maka jumlah haji pada tahun 1825 tidak hanya berjumlah 1.113 orang saja tetapi
dapat melebihi jumlah itu, hal ini
disebabkan karena kesadaran dan minat dalam menjalankan ajaran agama orang
Indonesia sejak lama telah didasarkan atas iman dan ihsan yang benar.
Disamping itu, diterbitkannya
beslit oleh pemerintah kolonial Belanda untuk jama’ah haji Indonesia
dikarenakan adanya rasa kekhawatiran serta ketakutan pemerintah kolonial
Belanda terhadap para jama’ah haji yang akan menghimpun kekuatan seluruh rakyat
guna menyerang Belanda ketika pulang dari Mekah, seperti gerakan pembaharuan.
Gerakan Pembaharuan, menurut Amin Abdullah disebut dengan I’datul
Islam yakni keinginan masyarakat muslim untuk mengembalikan peran dunia
islam dalam percaturan global peradaban dunia ( Amin Abdullah, 2006 : 249).
Jika penghimpunan seluruh
kekuatan rakyat terjadi, maka bahaya besar akan melanda dan mengancam pemerintah
kolonial Belanda dalam mengadakan perlawanan rakyat semesta guna menentang
Belanda yang berkat dimotori oleh para jama’ah haji tersebut.
Fenomena ini tidak dapat
dipandang remeh, bahwa para jama’ah haji
yang ada di Mekah, di sana mereka bertemu dan berkumpul dengan para tokoh
muslim dan tokoh-tokoh negarawan yang ada di dunia untuk sharing sekaligus
bertukar pikiran guna menyelesaikan problematika yang ada di negaranya
masing-masing. Orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji, akan mendapatkan
kedudukan yang lebih tinggi di masyarakatnya, sehingga mereka dihormati,
diagungkan ,didengar dan diikuti seluruh ajakannya.
Yang paling ditakutkan dan perlu diwaspadai oleh kolonial Belanda
adalah di bidang politik islam dimana Pemerintah kolonial Belanda dinasehatkan
oleh Snouck untuk tidak mentolerir segala kegiatan apa pun yang dilakukan kaum
muslimin yang dapat menyerukan Pan Islamisme untuk melawan Belanda ( Alwi
Shihab, 86) terutama para pemuda intelektual yang lama bermukim di Mekah jika
mereka pulang ke tanah airnya ( Dick Douwes, 12).
Seiring dengan perkembangan waktu, dan demi keperluan kolonial Belanda dalam penguasaan daerah
jajahan Indonesia, maka Belanda mulai memberikan berbagai kemudahan bagi
jema’ah haji Indonesia.
Rekomendasi-rekomendasi Snouck Horgrnje tidak hanya didasarkan pada
pengetahuan yang cermat tentang Islam dan penilaian khusus darinya, tetapi juga
pada pandangan (optimistis) terhadap masa depan masyarakat Indonesia yang akan
mengambil bentuk asosiasi politik dan nasional antara orang Belanda dan orang
Indonesia, yang menurutnya bahwa Belanda tidak dapat bekerja tanpa adanya suatu
kebijakan Islam, karena Islam tidak hanya mencakup hubungan manusia dan Tuhan,
tetapi juga dilengkapi dengan aturan mengenai hubungan antara orang mukmin dan
penguasa-penguasa duniawi ( Dick Douwes & Nico Kaptein, 1997 : 10 ).
Selain itu juga, menurut Dick Douwes dan Kaptein, 11-12 bahwa Snouck Horgronje, yang bergelar Abdul Ghaffar
(Lihat Alwi Shihab, 83) bahwa sebagian besar jema’ah haji hanya perlu mendapat
perhatian dari sudut pandang statistik ; ia menganggap bahwa tidak mungkin
sebagian besar mereka akan bertukar gagasan-gagasan Pan-Islam.Ia melihat
kepentingan politik ibadah haji pada kediaman yang lama di Mekah, yaitu para
mukim, orang Indonesia yang menetap di Mekah kebanyakan pemuda dan pria
setengah baya yang menonjol di bidang intelektual.
Oleh karena itu, menurut Aqib Suminto, 1985 : 12 bahwa menghadapi
hal ini, Snouck Horgronje menetapkan islam dalam arti ibadah dengan islam
sebagai politik sehingga islam menurutnya dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :
1) bidang agama murni atau ibadah, 2) bidang sosial kemasyarakatan, 3) bidang
politik.
Sebagaimana diketahui bahwa ketika Duymaer Van Twist menjadi
Gubernur Jenderal ( 1851-1856) ditetapkan kembali Beslit haji nomor 9
tertanggal 3 Mei 1852 bahwa pas jalan masih tetap diwajibkan tetapi gratis dan
denda juga dihapuskan ( Husni Rahim, 181 ).
untuk memperkuat asumsi
diatas menurut Prof. Dr. Deliar Noer, 1985 : 30 memberikan data bahwa pada
pertengahan abad yang lalu, setiap tahun sejumlah 2.000 orang dari Indonesia
melakukan ibadah haji. Jumlah ini bertambah menjadi 5.000 orang pada tahun 1886
dan tahun 1890 meningkat menjadi 7.000 orang. Jumlah rata-rata tahun 1899-1909
adalah 7.300 orang setiap tahun. Sedangkan
tahun1889, terlihat adanya penurunan jumlah yakni menjadi 3.100 orang. Adapun puncaknya
terjadi pada tahun 1896, yakni mencapai 11.700 orang
Berdasarkan arsip dari kolonial Belanda dari Verslag dan J. Vredenbregt, 1962 :
141-145 sebagai berikut :
No
|
Tahun
|
Jumlah
Jama’ah haji Indonesia pada masa kolonial Belanda
|
1
|
1860
|
1417 orang
|
2
|
1861
|
1989 orang
|
3
|
1862
|
2415 orang
|
4
|
1863
|
2317 orang
|
5
|
1864
|
4148 orang
|
6
|
1865
|
1901 orang
|
7
|
1866
|
2212 orang
|
8
|
1867
|
2445 orang
|
9
|
1868
|
3285 orang
|
10
|
1869
|
2855 orang
|
11
|
1870
|
3258 orang
|
12
|
1871
|
3504 orang
|
13
|
1872
|
5360 orang
|
14
|
1873
|
3786 orang
|
15
|
1874
|
4801 orang
|
16
|
1875
|
5655 orang
|
17
|
1876
|
5106 orang
|
18
|
1877
|
6893 orang
|
19
|
1878
|
5632 orang
|
20
|
1879
|
5438 orang
|
21
|
1880
|
10179 orang
|
22
|
1881
|
4605 orang
|
23
|
1882
|
4302 orang
|
24
|
1883
|
5.269 orang
|
25
|
1884
|
4.540 orang
|
26
|
1885
|
4.712 orang
|
27
|
1886
|
2.524 orang
|
28
|
1887
|
2.426 orang
|
29
|
1888
|
4.387 orang
|
30
|
1889
|
3.146 orang
|
31
|
1890
|
5.406 orang
|
32
|
1891
|
6.034 orang
|
33
|
1892
|
6.860 orang
|
34
|
1893
|
8.092 orang
|
35
|
1894
|
6.874 orang
|
36
|
1895
|
7.128 orang
|
37
|
1896
|
11.909 orang
|
38
|
1897
|
7.895 orang
|
39
|
1898
|
5.068 orang
|
40
|
1899
|
5.068 orang
|
41
|
1900
|
7.421 orang
|
42
|
1901
|
6.092 orang
|
43
|
1902
|
5.679 orang
|
44
|
1903
|
9.481 orang
|
45
|
1904
|
4.64 orang
|
46
|
1905
|
6.863 orang
|
47
|
1906
|
8.694 orang
|
48
|
1907
|
9.319 orang
|
49
|
1908
|
10.300 orang
|
50
|
1909
|
10.994 orang
|
Munculnya kebijakan kolonial Belanda itu karena Pemerintah Kolonial
Belanda menganggap bahwa para jema’ah haji Indonesia itu tidak mungkin akan mengadakan perlawanan
terhadap negara penjajah setelah mereka pulang dari Mekah dan juga tidak akan mungkin menyampaikan ajaran
Pan Islamisme mengingat yang berangkat untuk menunaikan haji ke Mekah itu
mayoritas rakyat biasa . Untuk kalangan
intelektual hanya sedikit yang pernah bermukim di sana sehingga untuk
mempengaruhi dan menyampaikan doktrin Pan Islam kepada rakyat Indonesia sangat
kecil.
Peningkatan jumlah jama’ah haji menurut dari data yang diberikan oleh Husni Rahim
selama 10 tahun yakni dari tahun 1853 sampai dengan tahun 1862 menurut analisa
saya hanya terjadi selama 6 kali, yaitu : pada tahun 1854 sejumlah 305 orang
jama’ah dengan persentase 21 %, tahun 1855 sejumlah 220 orang jama’ah atau 13
%, tahun 1856 sejumlah 1389 orang jama’ah atau 45 %, tahun 1858 sejumlah 1481
jama’ah atau 38 %, tahun 1861 sejumlah 572 jama’ah atau 28 %, tahun 1862 sejumlah426 jama’ah
atau 17 %.
Hal ini terbukti bahwa pasca dikeluarkan beslit baru tersebut
jumlah jama’ah haji pada tahun 1853 sampai dengan tahun 1862 berangsur-angsur
mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 1853. Peningkatan itu
terjadi dalam kurun waktu selama 50 tahun yang dimulai dari tahun 1860 – 1909 .
Di sinilah berbagai kemudahan yang diberikan Pemerintah kolonial
Belanda sebagaimana pendapat para ahli diatas tampak jelas, sebagai agent of
change bagi jama’ah haji Indonesia karena beslit kedua itu memberikan
kesempatan dan mempermudah bagi jama’ah calon haji yang akan ke Mekah guna
menunaikan ibadah hajinya.
(Maaf, bagi yang menginginkan
referensi tentang Pelaksanaan Ibadah haji di zaman kolonial Belanda bisa
menghubungi 081377524758 atau kirim ke email : rasiman.bakrasyid@gmail.com)
tolong referensinya pak
BalasHapus