Mengenai Saya

Rabu, 20 Maret 2013

Haji Zaman Kolonial Belanda



PELAKSANAAN IBADAH HAJI INDONESIA
PADA MASA KOLONIAL BELANDA

            Menunaikan ibadah haji bagi umat Islam hanya diwajibkan  sekali seumur hidup bagi yang telah mampu untuk melaksanakannya di baitullah.Menurut pendapat saya tentang pelaksanaan ibadah haji  Indonesia pada masa Pemerintah Kolonial Belanda adalah karena didasari atas keimanan umat islam di Indonesia yang cukup besar meskipun bangsa Indonesia  waktu itu  dalam kondisi terjajah, dalam arti masih berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda .
Menurut Amin Abdullah 1996 : 202 bahwa sejarah kolonialisme-imperialisme itu dimulai pada abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20 yang telah merubah peta umat islam secara drastis.
            Penjajahan kolonial Belanda mengakibatkan kerugian bagi rakyat dan bangsa Indonesia, bukan hanya terhadap perjalanan ibadah haji, tetapi menurut Amin Abdullah : 204  juga seluruh harta benda dan kekayaan diboyong untuk pembangunan negeri Belanda.
Harta benda yang dimaksud itu, menurut penulis adalah seluruh aset bangsa Indonesia baik yang berupa benda hidup atau mati seperti  arsip-arsip penting bangsa bahkan para wanita dan pria yang dianggap memberikan keuntungan  dibawa ke Belanda untuk membangun suatu tempat peradaban baru yang dikenal dengan Amsterdam.
Dalam kondisi terjajah, kewajiban untuk menunaikan ibadah haji sekali seumur hidup bagi orang islam masih tetap fardhu ‘ain, hal ini sebagai wujud penyempurna rukun islam yang kelima dimana pelaksanaannya harus pergi ke Baitullah sebagai tempat sakral dan mulia yang berkedudukan di Mekah. Kewajiban ini diperuntukkan bagi orang islam yang sudah mampu,  di dalam Al-Qur’an disebut dengan istatho’a, yang mengandung konsekuensi bahwa ada biaya yang cukup, baik untuk biaya pemberangkatan haji atau biaya untuk keluarga yang ditinggalkan selama melaksanakan ibadah haji tersebut, ada kendaraan yang mengantarkan dan aman dalam perjalanan, serta sehat jasmani dan rohani.
Pada masa  kolonial Belanda,  pelaksanaan ibadah haji Indonesia harus mengikuti peraturan yang diterbitkan oleh Kolonial, yang menurut Karel A.Steenbrink, 1988 : 52 bahwa di Negeri Belanda perkara mengenai Indonesia (dalam jaman kolonial) diatur (untuk sebagian besar) oleh departemen koloni, pada tahun 1870 dibuka Konsulat di Jeddah untuk mengatur haji (dan mengadakan kontrol) terhadap para calon jema’ah haji atau orang yang bermukim di Mekah.
            Menurut Husni Rahim, 1998 : 184  bahwa Pemerintah kolonial Belanda memberikan data tentang jema’ah haji Nusantara dari Hindia Belanda ( Indonesia) yang tercatat mulai tahun 1853, yaitu berjumlah 1.113 orang. Berikutnya tahun 1854 sampai tahun 1862  jumlahnya masing-masing adalah : 1.448, 1.668, 3.057, 2.381, 3.862, 2.052, 1.417, 1.989, dan 2.415. Selama 10 tahun itu terjadi empat kali penurunan jumlah, yakni tahun 1857 dan tahun 1859, 1860 dan 1861 . 
Berdasarkan data diatas, dapat penulis simpulkan  bahwa jumlah jema’ah haji Indonesia pada waktu kolonial Belanda  pada tahun 1853-1862 mengalami penurunan jumlah sebanyak 3 kali yaitu pada tahun 1857, 1859 dan 1860 dimana tahun 1861 ada kenaikan dari tahun 1860. Jika kita lihat tahun 1853 mempunyai angka yang terendah dari jumlah yang lain, maka tidak dapat dikatakan mengalami penurunan karena tahun 1853 tersebut adalah tahun perdana menunaikan haji  selama kurun waktu selama 10 tahun dari 1853-1862. Hal ini disebabkan karena adanya peraturan Pemerintah Belanda yang memperketat terhadap jema’ah haji Indonesia yang akan pergi ke Mekah. Peraturan Pemerintah Kolonial Belanda itu disebut dengan Beslit.
Menurut F.G.P Jaquet, 1980 : 288 dan juga lihat Deliar Noer, 1985 : 31-32 bahwa Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Beslit dengan Nomor 9 tertanggal 18 Oktober 1825 yang mewajibkan setiap jema’ah haji yang akan berangkat ke Mekah harus membayar pas jalan (reispas) sebanyak 110 golden dan bagi yang tidak membeli pas jalan tersebut dikenakan denda sebesar 1000 golden serta menyertakan bukti bahwa mereka kuat dalam keuangan sehingga mampu menjamin keperluan keluarga yang mereka tinggalkan. Di samping itu, lihat juga pendapat J.Eisenberger, 1928 : 188 bahwa Kepala Daerah harus mengawasi tindakan para haji serta melaporkan orang-orang yang berangkat dan kembali dari Mekah.
Disamping itu juga, menurut Ibnu Qoyim Ismail, 1997 : 53 yang mengutip pendapat Karel A. Steenbrink bahwa sejak tahun 1825 sampai dengan 1859, berbagai ordonansi yang menyangkut perjalanan haji dan penyelenggaraannya diatur sedemikian rupa oleh penguasa Belanda dengan tujuan membatasi dan mempersulit perjalanan haji ke Mekah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Husni Rahim: 180,   bahwa tujuan utama diterbitkannya beslit adalah untuk mengurangi semangat naik haji dan membatasi jama’ah haji yang akan berangkat ke Mekah.
Langkah ini dilakukan oleh kolonial Belanda bertujuan untuk meningkatkan sikap kehati-hatian dari Duymaer Van Twist terhadap masalah haji khususnya di daerah yang dipandang rawan  termasuk Palembang ( Syair perang Palembang dalam MO Woelders, Het Sultannnt Palembang, 1(975 : 1811-1825).
Menurut Aqib Suminto, 1985, 12 bahwa semasa wilayah Nusantara berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda, percaturan politik dunia islam digeliatkan oleh gerakan Pan Islamisme yang dipelopori oleh  Jamaludin Al-Afghani dimana gerakan ini dinilai oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai gerakan politik yang membawa rakyat kepada fanatisme.
Fanatisme beragama akan membawa pengaruh besar bagi perjuangan Bangsa Indonesia yang notabene menganut agama islam, bagi masyarakat yang telah dapat pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dianggap telah memiliki pengalaman spiritul yang luar biasa yang akan berpengaruh pada suatu politik haji.
 Politik haji adalah sesuatu yang ditakuti oleh Belanda, karena itu muncuk kekhawariran Belanda yang didasari pada : (1) kedudukan haji, di Indonesian dihormati, (2) pemberontakan yang telah terjadi dipelopori oleh para haji sepereti kasus-kasus haji pada “ perang Jihad) (2) Haji sifatnya Kosmopiltan dimana para jema’ah Haji dapat bertemu dengan para jema’ah lain di dunia yang dimungkinkan meluas meluaskanya pengaruhPan islamimisme. (Husni Rahim , 180).
Pan Islamisme, bagi Belanda adalah suatu gerakan umat islam yang sangat ditakuti  karena di dalam gerakan itu ada ruh ajaran kebangkitan manusia yang di dalam Al-qur’an surat Ar-Ro’du [13] : 11 disebutkan bahwa “ Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang merubahnya “ .
Menurut Harun Nasution, 1975 : 53 bahwa Jamaluddin Al-Afghani mendirikan ‘ Al-Urwah Al-Wusqo’ yang beranggotakan orang islam dari India, Mesir, Siria, Afrika Utara dan lain-lain tujuannya ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat Islam kepada kemajuan.
Menurut Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles, 1830 : 3 bahwa para haji setelah pulang dari Mekah dianggap oleh masyarakat sebagai orang suci yang mempunyai kekuatan ghaib (supranatural power) yang dikhawatirkan akan mempengaruhi masyarakat dan menghimpun kekuatan untuk menentang orang barat
Menurut Dick Douwes dan Nico Kaptein, yang diterjemahkan oleh Soedarso Soekarno, 1997 :  6 yang mengutip pendapat J.C Van Leur, On the eighteenth  century  as a category in Indonesia history dalam Indonesian Trade and Society, 1955 : 274 berpendapat bahwa Daendels dan juga Raffles menganggap perjalanan ibadah haji ke Mekah sebagai bahaya politik : berdasarkan pengetahuan mereka yang terbatas tentang islam, mereka menganggap orang-orang yang telah menjalankan ibadah haji sebagai pendeta, sehingga pada tahun 1810 Daendels mengeluarkan keputusan yang memerintahkan “ pendeta islam itu “ agar memperoleh paspor untuk bepergian dari satu tempat di Jawa ke tempat lain guna menghindari gangguan.
Dengan dikeluarkannya Beslit haji nomor 9 tertanggal 18 Oktober 1825 di atas, maka misi kolonial Belanda menurut saya  upaya mempersulit para jama’ah haji Indonesia itu sangat jelas. Hal ini dapat dibuktikan bahwa jumlah jama’ah haji Indonesia pada tahun 1857 terjadi penurunan sebanyak 676 orang jema’ah haji dari tahun sebelumnya atau sebanyak 22 %, tahun 1859 terjadi penurunan sebanyak 1810 orang jemaah haji atau sebanyak 46 %, serta pada tahun 1860 telah terjadi penurunan jumlah jema’ah haji sebanyak 635 orang jema’ah haji atau sebanyak 30 %. Jika pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu tidak mempersulit terhadap kegiatan haji tersebut, maka jumlah haji pada tahun 1825  tidak hanya berjumlah 1.113 orang saja tetapi dapat melebihi jumlah  itu, hal ini disebabkan karena kesadaran dan minat dalam menjalankan ajaran agama orang Indonesia sejak lama telah didasarkan atas iman dan ihsan yang benar.
Disamping itu,  diterbitkannya beslit oleh pemerintah kolonial Belanda untuk jama’ah haji Indonesia dikarenakan adanya rasa kekhawatiran serta ketakutan pemerintah kolonial Belanda terhadap para jama’ah haji yang akan menghimpun kekuatan seluruh rakyat guna menyerang Belanda ketika pulang dari Mekah, seperti gerakan pembaharuan.
Gerakan Pembaharuan, menurut Amin Abdullah disebut dengan I’datul Islam yakni keinginan masyarakat muslim untuk mengembalikan peran dunia islam dalam percaturan global peradaban dunia ( Amin Abdullah, 2006 : 249).
 Jika penghimpunan seluruh kekuatan rakyat terjadi, maka bahaya besar akan melanda dan mengancam pemerintah kolonial Belanda dalam mengadakan perlawanan rakyat semesta guna menentang Belanda yang berkat dimotori oleh para jama’ah haji tersebut.
Fenomena  ini tidak dapat dipandang  remeh, bahwa para jama’ah haji yang ada di Mekah, di sana mereka bertemu dan berkumpul dengan para tokoh muslim dan tokoh-tokoh negarawan yang ada di dunia untuk sharing sekaligus bertukar pikiran guna menyelesaikan problematika yang ada di negaranya masing-masing. Orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji, akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi di masyarakatnya, sehingga mereka dihormati, diagungkan ,didengar dan diikuti seluruh ajakannya.     
Yang paling ditakutkan dan perlu diwaspadai oleh kolonial Belanda adalah di bidang politik islam dimana Pemerintah kolonial Belanda dinasehatkan oleh Snouck untuk tidak mentolerir segala kegiatan apa pun yang dilakukan kaum muslimin yang dapat menyerukan Pan Islamisme untuk melawan Belanda ( Alwi Shihab, 86) terutama para pemuda intelektual yang lama bermukim di Mekah jika mereka pulang ke tanah airnya ( Dick Douwes, 12).
Seiring dengan perkembangan waktu, dan demi keperluan  kolonial Belanda dalam penguasaan daerah jajahan Indonesia, maka Belanda mulai memberikan berbagai kemudahan bagi jema’ah haji Indonesia.
Rekomendasi-rekomendasi Snouck Horgrnje tidak hanya didasarkan pada pengetahuan yang cermat tentang Islam dan penilaian khusus darinya, tetapi juga pada pandangan (optimistis) terhadap masa depan masyarakat Indonesia yang akan mengambil bentuk asosiasi politik dan nasional antara orang Belanda dan orang Indonesia, yang menurutnya bahwa Belanda tidak dapat bekerja tanpa adanya suatu kebijakan Islam, karena Islam tidak hanya mencakup hubungan manusia dan Tuhan, tetapi juga dilengkapi dengan aturan mengenai hubungan antara orang mukmin dan penguasa-penguasa duniawi ( Dick Douwes & Nico Kaptein, 1997 : 10 ).
Selain itu juga, menurut Dick Douwes dan Kaptein, 11-12 bahwa  Snouck Horgronje, yang bergelar Abdul Ghaffar (Lihat Alwi Shihab, 83) bahwa sebagian besar jema’ah haji hanya perlu mendapat perhatian dari sudut pandang statistik ; ia menganggap bahwa tidak mungkin sebagian besar mereka akan bertukar gagasan-gagasan Pan-Islam.Ia melihat kepentingan politik ibadah haji pada kediaman yang lama di Mekah, yaitu para mukim, orang Indonesia yang menetap di Mekah kebanyakan pemuda dan pria setengah baya yang menonjol di bidang intelektual.
Oleh karena itu, menurut Aqib Suminto, 1985 : 12 bahwa menghadapi hal ini, Snouck Horgronje menetapkan islam dalam arti ibadah dengan islam sebagai politik sehingga islam menurutnya dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : 1) bidang agama murni atau ibadah, 2) bidang sosial kemasyarakatan, 3) bidang politik.
Sebagaimana diketahui bahwa ketika Duymaer Van Twist menjadi Gubernur Jenderal ( 1851-1856) ditetapkan kembali Beslit haji nomor 9 tertanggal 3 Mei 1852 bahwa pas jalan masih tetap diwajibkan tetapi gratis dan denda juga dihapuskan ( Husni Rahim, 181 ).
 untuk memperkuat asumsi diatas menurut Prof. Dr. Deliar Noer, 1985 : 30 memberikan data bahwa pada pertengahan abad yang lalu, setiap tahun sejumlah 2.000 orang dari Indonesia melakukan ibadah haji. Jumlah ini bertambah menjadi 5.000 orang pada tahun 1886 dan tahun 1890 meningkat menjadi 7.000 orang. Jumlah rata-rata tahun 1899-1909 adalah 7.300 orang setiap tahun. Sedangkan  tahun1889, terlihat adanya penurunan jumlah  yakni menjadi 3.100 orang. Adapun puncaknya terjadi pada tahun 1896, yakni mencapai 11.700 orang
Berdasarkan arsip dari kolonial Belanda  dari Verslag dan J. Vredenbregt, 1962 : 141-145 sebagai berikut :
No
Tahun
Jumlah Jama’ah haji Indonesia pada masa kolonial Belanda
1
1860
1417 orang
2
1861
1989 orang
3
1862
2415 orang
4
1863
2317 orang
5
1864
4148 orang
6
1865
1901 orang
7
1866
2212 orang
8
1867
2445 orang
9
1868
3285 orang
10
1869
2855 orang
11
1870
3258 orang
12
1871
3504 orang
13
1872
5360 orang
14
1873
3786 orang
15
1874
4801 orang
16
1875
5655 orang
17
1876
5106 orang
18
1877
6893 orang
19
1878
5632 orang
20
1879
5438 orang
21
1880
10179 orang
22
1881
4605 orang
23
1882
4302 orang
24
1883
5.269 orang
25
1884
4.540 orang
26
1885
4.712 orang
27
1886
2.524 orang
28
1887
2.426 orang
29
1888
4.387 orang
30
1889
3.146 orang
31
1890
5.406 orang
32
1891
6.034 orang
33
1892
6.860 orang
34
1893
8.092 orang
35
1894
6.874 orang
36
1895
7.128 orang
37
1896
11.909 orang
38
1897
7.895 orang
39
1898
5.068 orang
40
1899
5.068 orang
41
1900
7.421 orang
42
1901
6.092 orang
43
1902
5.679 orang
44
1903
9.481 orang
45
1904
4.64 orang
46
1905
6.863 orang
47
1906
8.694 orang
48
1907
9.319 orang
49
1908
10.300 orang
50
1909
10.994 orang

Munculnya kebijakan kolonial Belanda itu karena Pemerintah Kolonial Belanda menganggap bahwa para jema’ah haji Indonesia  itu tidak mungkin akan mengadakan perlawanan terhadap negara penjajah setelah mereka pulang dari Mekah dan  juga tidak akan mungkin menyampaikan ajaran Pan Islamisme mengingat yang berangkat untuk menunaikan haji ke Mekah itu mayoritas rakyat biasa . Untuk  kalangan intelektual hanya sedikit yang pernah bermukim di sana sehingga untuk mempengaruhi dan menyampaikan doktrin Pan Islam kepada rakyat Indonesia sangat kecil.
Peningkatan jumlah jama’ah haji menurut  dari data yang diberikan oleh Husni Rahim selama 10 tahun yakni dari tahun 1853 sampai dengan tahun 1862 menurut analisa saya hanya terjadi selama 6 kali, yaitu : pada tahun 1854 sejumlah 305 orang jama’ah dengan persentase 21 %, tahun 1855 sejumlah 220 orang jama’ah atau 13 %, tahun 1856 sejumlah 1389 orang jama’ah atau 45 %, tahun 1858 sejumlah 1481 jama’ah atau 38 %, tahun 1861 sejumlah 572 jama’ah  atau 28 %, tahun 1862 sejumlah426 jama’ah atau 17 %.
Hal ini terbukti bahwa pasca dikeluarkan beslit baru tersebut jumlah jama’ah haji pada tahun 1853 sampai dengan tahun 1862 berangsur-angsur mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 1853. Peningkatan itu terjadi dalam kurun waktu selama 50 tahun yang dimulai dari tahun 1860 – 1909 .
Di sinilah berbagai kemudahan yang diberikan Pemerintah kolonial Belanda sebagaimana pendapat para ahli diatas tampak jelas, sebagai agent of change bagi jama’ah haji Indonesia karena beslit kedua itu memberikan kesempatan dan mempermudah bagi jama’ah calon haji yang akan ke Mekah guna menunaikan ibadah hajinya.
(Maaf, bagi yang menginginkan referensi tentang Pelaksanaan Ibadah haji di zaman kolonial Belanda bisa menghubungi 081377524758 atau kirim ke email : rasiman.bakrasyid@gmail.com)



1 komentar:

Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila